Sabtu, 11 Juli 2015

Kehebohan Pelantikan Bos Intelijen

Kehebohan Pelantikan Bos Intelijen

   Erwan Widyarto  ;  Mantan Wartawan Jawa Pos
                                                         JAWA POS, 10 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PELANTIKAN Letnan Jenderal (pur) Sutiyoso sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) telah dilakukan Rabu (8/7), bersamaan dengan pelantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai panglima TNI. Sejumlah kehebohan menyertai pelantikan Sutiyoso ketimbang pelantikan Gatot Nurmantyo.

Kehebohan pertama, pelantikan Sutiyoso sebagai kepala BIN dinilai sebagai bentuk balas budi atas dukungan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) terhadap pasangan Jokowi-JK dalam pemilihan presiden yang lalu. Sehingga penunjukan Sutiyoso yang juga ketua umum PKPI sebagai calon tunggal dituding sebagai bagi-bagi kue kekuasaan semata. Namun, hal ini langsung ditepis oleh Sutiyoso dengan menyebut track record-nya sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia militer, khususnya intelijen. Dan, kehebohan pertama ini pun mereda begitu Sutiyoso menyerahkan jabatan ketua umum PKPI ke Bupati Kutai Timur Isran Noor (Jawa Pos, 21 Juni 2015).

Kehebohan kedua, saat dilantik sebagai kepala BIN, pria yang akrab disapa Bang Yos ini masih tercatat sebagai komisaris di Lippo Karawaci bersama Soerjadi Soedirja dan Adrianus Mooy. Lippo adalah bendera kelompok bisnis James Riady. Nama yang sempat ramai dikaitkan dengan pencapresan Jokowi meski kemudian tuduhan ini dibantah. Kehebohan ketiga, undangan pelantikan kepala BIN yang dikeluarkan Sekretariat Negara keliru memanjangkan singkatan BIN. Dalam foto undangan yang beredar cepat secara viral di media sosial, tertulis kepanjangan BIN adalah Badan Intelijen Nasional.

Seperti biasa, bantahan segera beredar. Foto undangan yang salah itu dituding sebagai ulah seseorang dengan memanfaatkan perangkat olah digital Photoshop. Seolah-olah, tidak ada kesalahan di dalam undangan resmi kenegaraan tersebut.

Namun, kehebohan menjadi reda. Duduk persoalan menjadi terang ketika beredar siaran pers dari Djarot Sri Sulistyo, deputi bidang protokol, pers, dan media Sekretariat Presiden.

Dalam penjelasannya itu, Djarot dengan lugas mengakui bahwa ada kesalahan teknis penulisan pada undangan. Ditegaskannya, Kementerian Sekretariat Negara setelah menyadari adanya kesalahan teknis penulisan pada undangan pelantikan kepala BIN dan panglima TNI secepatnya menarik dan menggantinya dengan penulisan yang benar.

’’Penulisan yang benar adalah Kepala Badan Intelijen Negara, sesuai dengan undangan yang telah kami kirimkan kembali pada tamu/ pejabat yang diundang,’’ tulis siaran pers tersebut.

Dengan jantan, Kementerian Sekretariat Negara pun memohon maaf atas hal tersebut. Kementerian Sekretariat Negara pun berjanji akan berupaya secara maksimal untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas layanan administrasi di lingkungan lembaga kepresidenan.

Dalam ingatan kita, pelantikan kepala BIN tidak pernah seheboh penggantian Marciano Norman oleh Sutiyoso sekarang ini. Ketika Letjen TNI Marciano Norman menggantikan posisi Jenderal Pol (pur) Sutanto pada 19 Oktober 2011, pemberitaannya tidak seheboh saat ini. Padahal, bisa saja pemberitaan menjadi heboh, misal dengan menyorot kekayaan Marciano Norman berupa batu mulia senilai Rp 2,42 miliar sebagaimana yang dilaporkan pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

Lalu, apa sebenarnya hikmah yang bisa kita petik dari kehebohan pemberitaan mengenai pelantikan Sutiyoso sebagai kepala BIN ini? Pertama, kehebohan harus dimaknai tingginya perhatian dan harapan masyarakat terhadap profesionalisme BIN. Sorotan terhadap latar belakang kepala BIN yang pernah menjabat ketua umum partai politik muncul karena kekhawatiran ”keberpihakan” BIN terhadap kelompok tertentu.

Ini harus dimaknai bahwa masyarakat tidak menginginkan BIN dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Artinya, BIN harus benarbenar profesional. Janji Sutiyoso yang akan membangun BIN menjadi institusi yang lebih modern dalam menjaga negara dengan membangun intelijen yang tangguh dan profesional harus benarbenar dibuktikan.

Kedua, kehebohan pelantikan Sutiyoso harus dimaknai pula sebagai keberhasilan brand awareness. Bahkan, dengan mengedepankan cara berpikir positif, kesalahan pengetikan kepanjangan BIN pada undangan pelantikan merupakan ”pencitraan” gratis. Dengan kehebohan salah kepanjangan itu, masyarakat jadi tahu kepanjangan BIN yang benar. Jadi, tidak perlu sosialisasi lagi mengenai apa kepanjangan BIN.

Kehebohan bisa jadi juga relevan dengan sosok Sutiyoso yang dikenal sebagai orang yang suka bicara ceplas-ceplos. Oleh karena itu, setelah menjadi kepala BIN, pria kelahiran Semarang ini dihadapkan pada tantangan untuk mengubah sikap seperti itu. Sikap ceplas-ceplos, blakblakan, tentu berseberangan dengan naluri alamiah intelijen.

Masyarakat tentu berharap jangan sampai informasi yang rahasia menjadi terbuka gara-gara keceplosan bicara. Kecuali kalau memang ingin meneguhkan guyonan seputar intelijen Melayu yang selalu mengaku bahwa dirinya adalah seorang intel.

Selamat bertugas Bang Yos. Banyak pekerjaan menanti di depan Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar