Rabu, 29 Juli 2015

Konvergensi Muhammadiyah-NU?

Konvergensi Muhammadiyah-NU?

Pradana Boy ZTF ;  Dosen FAI-UMM;
Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur
                                                         JAWA POS, 27 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA awal Agustus ini, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, akan menghelat muktamar. Masing-masing di Makassar dan Jombang. Perhelatan ini penting bukan hanya karena ini merupakan forum di mana pemimpin baru dua ormas Islam itu akan terpilih, tetapi juga karena di dalamnya akan terpetakan dinamika baru di dua organisasi ini.
Salah satu perkembangan yang bisa diidentifikasi berkaitan dengan pergeseran arah pendidikan dua organisasi ini. Selama ini, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi modernis yang memberikan titik tekan pada pendidikan ”sekolahan”. Sementara NU dikenal luas sebagai organisasi dengan kecenderungan tradisional yang sangat populer dengan pendidikan ”pesantren”. Namun, belakangan kategori seperti itu barangkali tidak sepenuhnya operasional. Nyatanya, setidaknya kurang lebih satu dasawarsa ini, keduanya menunjukkan arah yang berkebalikan meskipun tidak berseberangan.
Tegasnya, Muhammadiyah kini banyak memberikan perhatian pada pendidikan pesantren dalam konteks sistem pendidikan, sementara dalam diri NU kini tumbuh berbagai pendidikan tinggi (universitas) bermodel ”sekolahan”.
Dalam konteks Muhammadiyah, perhatian pada pendidikan pesantren melalui pendirian berbagai pondok pesantren Muhammadiyah yang dikenal dengan sebutan Muhammadiyah Boarding School (MBS), salah satunya, didasari oleh kesadaran akan menipisnya lapisan generasi ulama di tubuh organisasi ini, terutama jika yang dimaknai sebagai ulama adalah ulama fikih.
Mengapa penekanan ulama fikih diperlukan? Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah saat ini, sering melontarkan pemikiran bahwa jika yang dimaksudkan dengan ulama adalah ahli fikih atau ilmu-ilmu agama sejenisnya, barangkali sinyalemen kelangkaan ulama di kalangan Muhammadiyah ini benar. Namun, Din menawarkan pemahaman baru tentang makna ulama. Hendaknya, ulama tidak dimaknai secara terbatas sebagai ahli agama, tetapi juga ahli-ahli dalam bidang keilmuan yang lain.
Jika ulama dimaknai secara khusus sebagai ahli dalam ilmu-ilmu keislaman, barangkali sinyalemen ini bisa didiskusikan lebih lanjut. Hanya, tumbuhnya MBS yang belakangan menjadi tren pendidikan di Muhammadiyah secara tidak langsung merupakan respons terhadap sebuah situasi.
Di sisi lain, sangat mungkin lahirnya pendidikan-pendidikan tinggi di lingkungan NU belakangan ini juga dimotivasi oleh sebuah kesadaran akan minimnya perhatian pada pendidikan ”sekolahan.” Selain itu, sangat mungkin perkembangan baru ini juga didorong oleh perubahan sosial yang begitu deras dalam masyarakat Indonesia. Sehingga pendidikan harus selalu mengalami penyesuaian.
Karena itu, tumbuhnya pendidikanpendidikan tinggi model sekolahan di kalangan NU ini sangat mungkin justru dimaksudkan sebagai pelengkap pendidikan pesantren yang selama ini telah demikian lekat pada organisasi ini. Kemungkinan lainnya adalah bahwa dalam diri NU kini mulai tumbuh lapisan-lapisan terdidik baru yang mengalami pendidikan pesantren di satu sisi dan lalu melengkapi pengalamannya itu dengan pendidikan-pendidikan modern. Bukan hanya di tanah air, tetapi juga di berbagai belahan dunia, termasuk dunia Barat. Sehingga lapisan baru ini perlu memperoleh lahan ekspresi yang memadai.
Meskipun belum ada angka pasti yang bisa disebut, secara umum jumlah generasi muda Muhammadiyah dan NU yang mengenyam pendidikan modern di Barat boleh dibilang seimbang. Disadari atau tidak, fakta inilah yang lalu melahirkan transformasi pola dan arah pendidikan dalam konteks NU.
Maka, pada masa-masa mendatang, kenyataan ini bisa dibaca sebagai sebuah tren menuju konvergensi. Bahwa Muhammadiyah yang selama ini cenderung ”abai” dengan pendidikan pesantren mulai memberikan perhatian, sementara NU yang selama ini terkesan ”cuek” dengan pendidikan tinggi model sekolahan juga mulai bergerak ke sana. Artinya, jika pergerakan ini berjalan sebagaimana yang dicita-citakan, jarak epistemologis antara Muhammadiyah dan NU yang antara lain disebabkan oleh perbedaan model pendidikan pelan-pelan akan semakin menyempit.
Tentu saja konvergensi dalam konteks semacam itu sangat baik dan bisa memperkaya pemahaman dan corak ekspresi Islam moderat di Indonesia. Namun, ada satu hal yang perlu memperoleh penegasan: apakah benar orientasi baru Muhammadiyah ke arah pendidikan pesantren ini dibarengi dengan kemampuan Muhammadiyah untuk mengelolanya? Demikian pula, apakah benar bahwa orientasi NU ke pendidikan tinggi model sekolahan ini juga dilengkapi perangkat pengelolaan pendidikan tinggi yang memadai?
Membangun pesantren dan pendidikan tinggi ala sekolahan tidak hanya membangun gedung dan asrama, tetapi juga membangun sistem dan tradisi. Maka, pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah dua organisasi ini sudah cukup memiliki tradisi dan sistem untuk mendukung orientasi barunya ini? Jangan-jangan, Muhammadiyah berhasil membangun gedung pesantren, tetapi kemudian pesantren itu dikelola dengan cara sekolahan dan minus tradisi pesantren karena Muhammadiyah terlampau lama bermain dengan sistem sekolahan. Sementara itu, meski berhasil membangun pendidikan tinggi di berbagai tempat, NU mengelola pendidikan tinggi ala sekolahan itu dengan pola tradisi dan sistem pesantren karena tradisi dan sistem ini telah lama mengakar dalam kehidupan mereka.
Muktamar masing-masing organisasi tahun ini akan menjadi salah satu tonggak penting untuk memperoleh jawaban tersebut di masa mendatang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar