Rabu, 15 Juli 2015

Kooperativisme dan Koeksistensi

Kooperativisme dan Koeksistensi

Sri-Edi Swasono  ;  Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
                                                           KOMPAS, 15 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

The American Economic Association, melalui Prof Howard Ellis selaku editor, menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economics jilid I (1949). Jilid II terbit  tiga tahun kemudian, dengan editor Prof Bernard Haley (1952). Kedua buku ini bagi saya sangat monumental. Tokoh-tokoh besar ekonom kontemporer (saat itu) mengisi kedua buku itu antara lain Boulding, Galbraith, Arrow, Scitovsky, Lange, Dahl, Lindblom, Nurkse, Leontief, Samuelson, Abramovitz, Papandreou, Buchanan, Baran, Bator, dan Friedman. Sebagian di antara mereka adalah penerima Nobel. Nama-nama ini tentulah menggetarkan para ilmuwan ekonomi.

Enam dekade yang lalu mereka telah makin meragukan bahkan ada yang menentang pasar bebas (laissez-faire). Mereka mengemukakan kegagalan-kegagalan pasar (market-failures), baik teoretikal maupun empirik, yang tidak bersambung ke societal welfare dan social optimum sebagaimana dirindukan ilmu ekonomi. Tentu Prof Friedman dan beberapa tokoh tetap mempertahankan pasar bebas dan invisible hand-nya Adam Smith.

Perluas mekanisme kerja sama

Di luar kedua buku itu, Prof Robinson (1962) mengkritisi pasar-bebas: ".para penganut mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini menguntungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia."

Pemenang-pemenang Nobel Ekonomi, seperti Sen, Stiglitz, Phelps, Krugman, Akerlof, dan juga tokoh-tokoh ekonom kontemporer saat ini, seperti Heilbroner, Kuttner, Frank, Thurow, dan Soros tandas menolak pasar bebas. Lebih-lebih Prof Heilbroner (1994), yang menyatakan: ".pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral ."

Dasar pasar bebas adalah paham individualisme dan liberalisme, yang mengutamakan kepentingan pribadi. Sementara persaingan bebas adalah mekanismenya pasar bebas.

Inilah ilmu ekonomi belahan "kompetitivisme". Belahan dikotomis lain ilmu ekonomi adalah "kooperativisme", yang berdasar paham kebersamaan atau mutualisme  yang mengutamakan kepentingan bersama, saling bekerja sama dan mendahulukan kepentingan bersama seluruh masyarakat.

Ekonom-ekonom kontemporer masa kini di atas makin menekankan perlunya membatasi mekanisme persaingan bebas dan memperluas mekanisme kerja sama. Dalam mengganasnya globalisasi, Krugman (2001) sempat menyatakan: ".bahwa obsesi dengan daya saing akan membawa konflik perdagangan, bahkan mungkin perang dagang dunia . obsesi dengan daya saing adalah salah dan sekaligus berbahaya."

Kata kunci: kerja sama

Sesungguhnya dunia sudah jemu saling bersaing, capai saling bertarung. Sejak lama dunia menyadari perlunya mengakhiri persengketaan, peperangan, dan meneriakkan perlunya kerukunan dan bekerja sama, menuntut solidaritas global.

Ketika Perang Dunia I berkecamuk serta berakhir dengan porak poranda Eropa, dunia sempat berhenti. Dunia berputar kembali digerakkan oleh kerja sama, dimotori Liga Bangsa-Bangsa.

Ketika dunia lengah lagi, pecah Perang Dunia II. Dengan dijatuhkannya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, dunia mandek. Lagi-lagi motor penggerak dunia adalah kerja sama melalui kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya PBB berperan kuat untuk membatasi persaingan, persengketaan dan peperangan, memunculkan diri sebagai lembaga kerja sama, dan perdamaian global.

Apabila saat ini globalisasi ekonomi menampilkan diri dalam wujud persaingan, dengan melontarkan diktum-diktum ilusif the end of nation states, the borderless world, dan the end of history, sembari memelihara pasar bebas atau laissez-faire, ini merupakan perwujudan ambivalensi global. Ulah kapitalisme dan imperialisme global telah menodai globalisme mulia yang memimpikan solidaritas mondial dan koeksistensi damai. Sejarah kerja sama telah menandai penyelamatan peradaban manusia.

Dunia makin jemu melihat yang kuat menggusuri yang lemah, tegas-tegas menolak jargon the winner-take-all (Frank & Cook, 1996), yang Lester Thurow (2000), dekan di MIT, mengecamnya: ".dalam sistem kapitalisme pihak yang menang tidak perlu bermusyawarah dengan pihak yang kalah. pihak yang menang dengan bengis akan meminggirkan pihak yang kalah keluar pasar."

Jemu bersaing

Liga Bangsa-Bangsa, kemudian PBB, demikian pula berbagai fora dan organisasi internasional, seperti The Red Cross, Nuclear Disarmament (1958), "not to an arms race but to a peace race" (1951), Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok (GNB), Selatan-Selatan, dan fora ekonomi, seperti OKI, OECD, AFTA, NAFTA, WTO, APEC, bahkan ASEAN dengan MEA-nya, kesemuanya merupakan wujud tuntutan global nyata untuk bekerja sama. Itu semua sebagai wujud kejemuan untuk bersaing, bertarung, dan berperang. Bukankah runtuhnya Tembok Berlin, 9 November 1989, merupakan kelanjutan dari tuntutan-tuntutan kerja sama, yang memunculkan kembali impian lama the brotherhood of men atau "alle Menschen werden Bruder"-nya puisi Von Schiller, yang kemudian menyatukan negara-negara Eropa menjadi Uni Eropa, yang bersatu dalam kerja sama.

ASEAN dan MEA-nya adalah forum kerja sama. Dalam kerja sama tidak boleh ada yang dirugikan. Makna kerja sama adalah bersinergis untuk saling menguntungkan. Kerja sama yang merugikan salah satu atau seluruh pihak haruslah distop dan ditolak. Kerja sama bicara tentang traktat dan aliansi. Kerja sama bukan ajang jual beli kedaulatan. Jangan memersepsikan MEA dari insting bersaing.

Dalam fora kerja sama yang lebih tepat digunakan bukanlah perkataan "daya saing" (competitive advantage), tetapi adalah "daya kerja sama" (co-operative advantage). Persaingan dan kerja­sama, keduanya merupakan realita, untuk merukunkan keduanya diciptakan perkataan "co-opetition", artinya mengatur persaingan melalui kerja sama yang baik.

Dengan kata lain "persaingan" perlu direduksi menjadi "perlombaan", suatu "concours" ataupun "contest", yang kalah berlomba tetap dipelihara, bahkan diberdayakan. Di dalam negeri, ekonomi Indonesia harus digerakkan dengan kerja sama meningkatkan efisiensi untuk menghadapi kekuatan ekonomi luar negeri.

Usaha dan pemilikan bersama

Kita bersyukur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, yang arahnya merangkul pasar bebas dan kapitalistik, akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Di depan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi saya sempat menyebutnya sebagai UU borjuis. Dengan demikian, kita kembali ke UU No 25/1992, di sini ada kebenaran strategis. Di sana ditegaskan bahwa "koperasi adalah bagian integral dari perekonomian nasional".

Jadi, apabila Pasal 33 UUD 1945 menyatakan: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan", maka seluruh wadah perekonomian (koperasi, BUMN, swasta) masing-masing dan antarketiganya harus merupakan suatu "usaha bersama" nasional, yang mengemban roh kooperativisme. Di sini ada pemilikan bersama dan tanggung jawab bersama sebagai wujud kebersamaan nasional.       

Sebelum kemerdekaan, Mohammad Hatta (1934) dan Radjiman Wedyodiningrat (1944) juga telah menegaskan penolakannya terhadap pasar bebas dan persaingan bebas-nya Adam Smith. Jangan sampai kita terperosok ke dalam teori- teori ruang kelas yang usang nonkonstitusional, yang skenario pelumpuhan.

Selamat Hari Koperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar