Rabu, 29 Juli 2015

Literasi dan Kelisanan (1)

Literasi dan Kelisanan (1)

Sofie Dewayani ;  Penulis; Penggiat Literasi; Ketua Yayasan Litara
                                                MEDIA INDONESIA, 27 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BANYAK yang tak mengetahui bahwa trilogi Pulau Buru yang terkenal itu awalnya ialah sebuah kisah tutur. Pramudya mengisahkannya kepada sesama tawanan Pulau Buru karena dia tidak diizinkan memegang kertas dan pena. Merasa terhibur dan sekaligus terinspirasi, para tawanan lalu menyebarkan kisah ini dari mulut ke mulut. Ketika akhirnya diizinkan untuk memiliki kertas dan pena, Pramudya cepat menuliskan kisah-kisah itu dari ingatannya.

Trilogi Pulau Buru menunjukkan bahwa tradisi menulis dan kelisanan itu berkelindan. Menulis dan berbicara memiliki metode yang berbeda, tetapi keduanya sama-sama menjadi media untuk mengartikulasikan gagasan. Literasi selalu berkembang dalam konteks kelisanan. Sebuah karya tulis dibuat dari gagasan yang didialogkan dengan orang lain, lalu tumbuh dan disempurnakan dengan pertukaran pemikiran. Setelah selesai ditulis, sebuah karya terus akan menjadi bahan dialog. Dalam proses memahami sebuah karya, seseorang perlu berdialog dan berbicara. Sayangnya, proses literasi yang diakrabi kelisanan, dan tradisi kelisanan yang bersumber kepada bacaan ini tidak disemai dan dipupuk di sekolah-sekolah. Literasi di sekolah menjadi kering dan tidak diminati karena tidak ditumbuhkan dalam kehangatan tradisi kelisanan. Tidak mengherankan apabila anak-anak kita tidak memiliki keterikatan emosi dengan literasi. 

Kebanyakan mereka tidak terbiasa menulis dan kurang gemar membaca.
Kegemaran membaca biasanya tumbuh dari kecintaan terhadap kisah. Sebelum mengenal bacaan, anak-anak dibesarkan dengan tutur dari orang-orang terdekat mereka. Anak-anak mencintai kisah, dan ketika mereka dapat membaca, kecintaan ini menemukan muaranya dalam buku-buku bacaan. Anak-anak yang dibesarkan dengan limpahan kisah dan buku-buku, akan tumbuh dengan memori tentang membaca yang menyenangkan. Anakanak seperti ini biasanya menjadi pembelajar sepan jang hayat.

Kebanyakan anak-anak tak begitu beruntung. Ketika memasuki sekolah, mereka harus melafalkan bacaan tanpa makna seperti “Ini ibu Budi, ini bapak Budi“ yang harus dieja sempurna.Mereka dinilai dari seberapa baik dan lancar mereka mengeja. Membaca terkonversi menjadi angka-angka nilai yang menentukan prestasi akademik mereka. Ketika mereka dapat membaca secara mandiri, mereka harus membaca soal-soal ujian dan menjawabnya dengan benar, juga buku-buku teks pelajaran yang membosankan.Buku-buku cerita yang menarik jarang mereka temukan. Seandainya buku-buku itu tersedia, mereka tak sempat membacanya karena buku-buku itu dianggap tak relevan dengan persiapan untuk ujian.Pelajaran membaca di sekolah mungkin dapat menjadikan anak mampu mengeja. Namun, ia gagal untuk menumbuhkan minat baca. Rendahnya minat baca dan kemampuan untuk memahami bacaan (seperti dilansir oleh tes PISA 2013) tampaknya terkait dengan tiga hal berikut ini.

Hilangnya tradisi

Membacakan buku kepada anak sering dianggap sebagai kegiatan praliterasi belaka. Artinya, buku dibacakan kepada anak semata untuk mengenalkan mereka kepada konsep cetak, format bacaan, alfabet, dan bahasa tulis. Ketika anak sudah bisa mengeja tulisan, mereka digegas untuk dapat membaca secara mandiri. Padahal, membacakan buku juga berfungsi untuk menghidupkan bacaan, menggugah minat anak terhadap bacaan, dan mempererat ikatan emosional anak dengan orang dewasa. Hal ini penting di era modern ketika relasi anak dengan orang dewasa (guru, orangtua, dan anggota keluarga lainnya) diuji dengan kehadiran perangkat teknologi yang sungguh menyita waktu dan perhatian.

Di kelas menulis yang saya ampu di Institut Teknologi Bandung, saya masih membacakan buku untuk mahasiswa saya. Di angket yang mereka isi di akhir semester, mahasiswa tingkat sarjana biasanya menyebutkan saat-saat dibacakan buku sebagai waktu favorit mereka. Buku-buku anak bergambar yang saya bacakan kepada mereka itu menjadi media bagi mereka untuk belajar lebih dalam tentang aspek-aspek penulisan yang kami diskusikan. Mereka juga belajar bahwa sumber belajar tidak melulu berupa buku teks kuliah saja. Untuk mahasiswa pascasarjana, saya membacakan nukilan novel, buku, atau artikel jurnal yang menarik. Nukilan-nukilan ini kemudian menjadi amunisi diskusi kami.

Ketika dibacakan, sebuah teks tidak hanya menjadi menarik, tetapi juga ia menjadi hidup dan relevan bagi kehidupan siswa. Teks yang didiskusikan mendapatkan pemaknaan secara lebih luas dan mendalam karena ia diperkaya oleh pengalaman dan penghayatan pembacanya. Karena itu, membacakan buku tidak semata dilakukan untuk mengajari membaca atau menyampaikan kisah kepada mereka yang belum bisa membaca. Melalui membacakan buku, seorang pengajar memberi contoh proses ‘membaca’ teks secara reflektif, analitis, dan kritis.

Terlalu digegas

Saat ini, anak-anak digegas untuk dapat mengeja sejak dini agar mereka dapat membaca dengan mandiri secepat mungkin. Hal ini mereduksi pengertian membaca hanya pada kegiatan mengeja dan membaca dengan fasih, belum pada memahami, menghayati, apalagi menganalisis, mengkritisi, dan merespons bacaan secara verbal dan tertulis. Siswa perlu mendapat bimbingan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Karena itu, selain membaca mandiri, mereka perlu mendapatkan bimbingan dalam membaca di jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar