Rabu, 29 Juli 2015

Menakar Kinerja Kabinet

Menakar Kinerja Kabinet

Kuntoro Mangkusubroto ;  Ketua Dewan Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB; Pendiri Institut Deliverologi Indonesia (IDeA)
                                                           KOMPAS, 28 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah ada untuk rakyat. Pemerintah bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Maka, jika berbicara tentang kinerja pemerintah, di ujung titian sana, rakyatlah yang paling pantas dan berhak menilai: sudah klopkah janji dengan realisasi?

Barangkali kita pernah mendengar sekolah menengah atas negeri (SMAN) masuknya tanpa bayar. Namun, dari curhatan beberapa wali murid SMAN yang saya dengar, antara lain dari Baturaden, Pekalongan, Lembang, ternyata mereka harus merogoh rata-rata Rp 4 juta tanpa jelas peruntukannya sebagai pungutan apa. Duit sebesar itu tentu bukan receh bagi masyarakat kecil. Belum lagi beban ongkos logistik dan transportasi akibat masih buruknya infrastruktur hingga membuat harga telur mencapai Rp 2.000 per butir atau bahkan lebih.

Bagaimana pula saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok desa dan pulau terluar, terdepan, atau perbatasan negara? Pada segmen masyarakat yang biasa bertransaksi dengan dollar, kita dengar keluhan tingginya nilai tukar rupiah yang sudah mencapai Rp 13.300 (dua tahun lalu masih Rp 11.000) per dollar AS. Pada segmen lain, koreksi angka pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4 persen pada 2015-dari asumsi semula 5,7 persen dan bahkan di atas 7 persen jika sesuai janji kampanye-dinilai bukanlah pertanda baik dari kinerja pemerintah. Hal-hal konkret inilah yang acap dirasakan, dan lalu ditautkan oleh masyarakat sebagai (indikator) "kinerja pemerintah".

Pada sisi lain, agar di kemudian hari tak terjadi kejutan/letupan yang akan merepotkan dirinya sendiri, dari waktu ke waktu pemerintah dituntut bisa menakar dan mengukur kinerjanya secara tepercaya. Sebagai orang yang pernah berada di dalam pemerintahan, saya menyadari betul ada beberapa problem laten di pemerintahan biarpun rezim berganti-ganti. Catatan ini semata-mata amatan dan pengalaman pribadi, dari kacamata mantan "orang dalam" yang kini telah bebas serta menikmati kebebasan untuk mengamati dan berbagi. Janji itu utang Pak Jokowi terpilih sebagai presiden. Mengapa rakyat memilihnya? Karena dulu, saat kampanye, Pak Jokowi pernah menyampaikan sekumpulan janji yang memikat hati sebagian besar rakyat. Janjinya macam-macam, termasuk Nawacita. Siapa pun sosoknya, rakyat hanya tahu Pak Jokowi telah menjanjikan sesuatu dan karena janji itu beliau dipilih sebagai presiden.

Kelak, pada akhir 2019, janji itu ditagih rakyat. Kabinet Kerja, oleh karena itu, harus mengusung dan mewujudkan program-program Pak Jokowi selaku presiden. Bukan saja program yang termaktub dalam Nawacita, melainkan juga yang lebih luas dan amat relevan, misalnya perdagangan, pembayaran utang, hingga (potensi) konflik horizontal. Di atas itu semua, janji-janji kampanye adalah tulang punggung utama program strategis pemerintah: utang kepada jutaan rakyat yang mendudukkan Pak Jokowi sebagai presiden.

Konkret, jelas, dan terukur

Kontrak Kinerja Presiden tak bisa bekerja sendiri. Untuk itulah presiden memilih dan menunjuk sekumpulan putra terbaik bangsa bergabung membantunya sebagai pemimpin kementerian/lembaga (K/L). K/L, bekerja sesuai arahan presiden, dipimpin oleh menteri/setingkat menteri yang notabene orang-orangnya presiden. Jadi, tanpa terkecuali, mereka wajib menjalankan program strategis presiden. Selaku pemimpin, para menteri atau kepala lembaga harus "menggembalakan" jajaran K/L-nya, mau ke mana, apa yang akan dicapai, dengan cara apa, dan lain-lain. Alhasil, kinerja menteri menjadi sebangun-sesisian dengan kinerja presiden karena merekalah pembawa misi yang merefleksikan janji-janji presiden.

Para menteri adalah komandan kementerian. Status ini yang membuat kita agak susah membedakan antara kinerja menteri dan kementerian. Baik-buruknya kementerian, menterilah yang bertanggung jawab. Di sinilah arti penting mengapa tatkala seseorang diminta presiden menjadi menteri, perlu ada satu kesepakatan "kontrak kinerja" mengenai apa-apa saja yang harus dicapainya dan kapan. Kontrak kinerja adalah suatu kesepakatan tempat presiden menyatakan, "Saya ingin membawa bangsa ini ke arah sana. Bantulah saya, wahai menteri, sesuai bidangmu, membawanya ke arah sana." Yang dimaksud dengan "sana" adalah seperangkat tujuan yang jelas (eksplisit) dan terukur (measurable).

Karena ini amanah, kapan pun presiden bisa menanyakan atau menagih, "Wahai menteriku, apakah yang Anda lakukan sudah sesuai sasaran yang saya maksud?" Jadi, bagi menteri, kejelasan dan keterukuran itu sangat perlu. Kinerja pemimpin K/L perlu di-nyata-kan. Semisal, Mendikbud, pagi-pagi perlu menyatakan secara jelas apa maksud dan bagaimana mengejawantahkan "revolusi mental" dalam konteks dikbud? Apakah cukup dengan memberikan modul tambahan kepada para guru guna menambah muatan mata pelajaran tertentu? Berapa ribu guru yang perlu dilatih? Sampai kapan? Mekanismenya seperti apa? Untuk Menteri ESDM: berapa barrel minyak yang perlu dihasilkan? Apakah 1 juta barrel per hari? Kapan dan berapa pencapaian angka "masuk akal"-nya?

Begitu kontrak kinerja ditandatangani dan di tangan, akan menjadi jelas apa yang perlu dicapai. Para menteri tinggal menjabarkannya ke dalam aksi-aksi konkret tahunan, bahkan dwibulanan, beserta cara-cara mewujudkannya. Dengan demikian, bagi Menteri Pertanian, ia akan tahu persis apa yang perlu dicapai terkait pengadaan beras, irigasi, benih, dan sebagainya. Ini juga bisa menjawab, apakah pembagian traktor itu memang benar merupakan bagian dari tugas kementeriannya? Ukuran-ukuran semacam ini harus diterapkan ke semua menteri. Layaknya sebuah kontrak antara pemimpin dan anak buahnya, kontrak kinerja jadi acuan dasar atau basis bagi dilakukannya perubahan di tengah jalan. Sebaliknya, jikalau acuan dasarnya absen, andai sewaktu-waktu diperlukan perubahan, perubahan itu hampir pasti akan menuai kegaduhan debat kusir. Sebuah energi yang semestinya tak perlu dikeluarkan.

Semua butir kesepakatan dalam Kontrak Kinerja Menteri berangkat dari visi-misi presiden. Apa pun nama visi-misinya, yang pasti, harus clear dan dapat dijalankan (workable). Perubahan-perubahan di dalam struktur kabinet pun harus mencerminkan visi-misi presiden. Dilakukannya fisi dan fusi K/L ataupun transfusi sebuah unit dari satu K/L ke K/L lain pun secara konsisten harus merefleksikan visi-misi itu. Resonansi sinyal komunikasi yang buruk memancarkan sinyal-sinyal yang justru tak membantu dalam menjelaskan kepada rakyat mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Kurang solidnya para pembantu presiden di lingkungan Istana juga termasuk. Kalaupun teresonansi, sinyal-sinyal itu sulit diterima, menjelma noise, atau pesannya membingungkan.

Ada dan bekerja

Komunikasi adalah pernyataan-pernyataan, adapun sinyal adalah "komunikasi plus". Sinyal lebih kompleks karena di dalamnya terajut relasi banyak aspek, antara lain: pernyataan, gambar, grafik, gestur, hingga pernyataan lepas-yang seolah-olah tanpa konteks, tetapi bermakna-bagi rakyat. Sinyal yang meleset akan merepotkan dan mendistorsi kepastian hingga kepercayaan (trust). Kita perlu lebih cermat jika harus menjaminkan ukuran kinerja semata-mata pada frekuensi munculnya "aktivitas komunikasi" menteri (baca: popularitas) di media massa. Betapa tidak, media massa cenderung bias. Biasnya itu bisa akibat kepemilikan modal, lembaga konsultan yang diminta menilai, hingga afiliasi politik pemiliknya.

Apabila ini semua telah dipertimbangkan dan kemudian dapat ditangani secara baik, setidaknya modal untuk mengukur kinerja pemerintah itu sudah ada, tinggal menunjuk unit yang mengawal evaluasi kinerja pemerintah. Unit inilah yang kemudian melapor ke presiden agar, dari waktu ke waktu, presiden bisa luwes dan yakin dalam melakukan perubahan-perubahan tanpa harus keluar dari konteks teknis pemerintahan. Karena sistematis, presiden niscaya terbantu dan konfiden ketika tiba saatnya melakukan pengambilan-pengambilan keputusan.

Berangkat dari hal-hal di atas, sedikitnya terdapat empat butir yang menurut hemat saya perlu dijalankan. Pertama, "ikat" para pemimpin K/L dengan kontrak kinerja-terlepas akan ada kocok ulang atau tidak-agar manakala di kemudian hari ada perubahan, semua pihak bisa memiliki acuan sama. Kontrak kinerja dijabarkan menjadi program-program K/L dengan ukuran jelas dan terukur. Penjabarannya, ada baiknya, per tahun. Sebagai permulaan, milestone evaluasi paling dekat terpenting adalah Desember 2015. Pasalnya, pada titik itu, bilamana ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, segera dapat dilakukan pembenahan. Jadi, jabarkan dulu hingga Desember 2015; baru menyusul yang sampai Desember 2016, Desember 2017, dan seterusnya. Berdasarkan prioritas-prioritas inilah aspek perencanaan mengikutinya.

Kedua, tunjuk satu lembaga untuk mengawalnya. Namanya boleh apa saja. Karena merupakan unit-independen-di- dalam-pemerintahan yang memberi masukan kepada presiden, ia harus obyektif, pantang terbelit kepentingan apa pun, baik politik maupun lainnya. Kerjanya bukan semata "kerja konvensional" monitoring-evaluasi-melapor (kepada presiden), tetapi yang jauh lebih penting adalah melakukan perbantuan (consulting), pembenahan, serta penguraian sumbatan terhadap K/L bahkan daerah.

Ketiga, (pemimpin) K/L harus meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan sinyal-sinyal positif lebih dari sekadar kebutuhan untuk berkomunikasi. Contoh: bagaimana kita memberikan sinyal terkait sebuah produk keputusan presiden yang keliru atau sinyal terkait peneraan nomenklatur kelembagaan yang kurang tepat. Alih-alih problem teknis, hal ini sebetulnya merupakan problem mendasar organisasi, yakni penguasaan komunikasi dan psikologi massa. Keempat, perkuat sistem aduan rakyat yang sudah eksis itu, yakni LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat), dalam hal kecepatan respons dan tindak lanjutnya. Pengelola LAPOR! harus punya kemampuan melakukan penguatan kepada K/L/ daerah agar terus memperbaiki kinerja.

Kesemua empat butir itu memiliki arti penting bagi rakyat. Rakyat menjadi melek bahwa pemerintahnya tak absen. Pemerintahnya ada dan bekerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar