Senin, 13 Juli 2015

Mengulang Krisis Tahun 1998?

Mengulang Krisis Tahun 1998?

   Benny Pasaribu ;  Mantan Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP
                                                     KORAN SINDO, 09 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Jokowi dengan Kabinet Kerja telah mulai meletakkan fondasi untuk membangun perekonomian Indonesia menatap masa depan yang lebih baik.
Keberanian mengurangi, bahkan menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) atas jenis premium, merupakan langkah besar untuk menyehatkan kondisi fiskal dan neraca transaksi berjalan yang selama tiga tahun terakhir mengalami defisit. Struktur APBN yang didominasi pembayaran utang dan subsidi dalam sekejap diubah menjadi lebih seimbang dengan mengalihkan subsidi BBM ke pembiayaan fisik infrastruktur.

Berbagai kebijakan ekonomi lainnya juga telah dicanangkan. Namun, banyak kalangan yang mempertanyakan outcomenya. Di antaranya apa manfaatnya bagi masyarakat sekarang ini? Kenapa kondisi ekonomi akhir-akhir ini faktanya makin terpuruk, nilai rupiah melemah, industri mulai merumahkan pekerjanya, pengangguran dan kemiskinan bertambah?

Tidak bisa dimungkiri, tanpa komunikasi yang efektif, banyak warga yang semula simpati menjadi sinis terhadap pemerintah, yang berakibat pada penurunan popularitas dan dukungan warga terhadap kepemimpinan Jokowi. Barangkali inilah yang disebut fenomena pil pahit, yang sejatinya semua kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi adalah obat/solusi, tapi sebaliknya warga merasa kepahitan sekarang ini.

Saya pelajari ada beberapa hal yang bisa menjelaskan persoalan ini antara lain: Pertama, memang Presiden Jokowi lebih fokus menghalau bottleneck pembangunan daripada melanjutkan program yang selama ini dijalankan, apalagi dengan cara business as usual. Konsep seperti ini tampak sebagian bermanfaat langsung sebagai shock therapy dalam jangka pendek. Sayangnya, operasi kejut yang dilakukan belum direspons secara baik oleh aparat terkait.

Kedua, program Presiden Jokowi juga fokus pada pembangunan yang hasilnya dapat dilihat dalam jangka menengah dan panjang seperti pembangunan infrastruktur. Semula dana APBN digunakan untuk subsidi BBM yang langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi sekarang dialihkan untuk membiayai infrastruktur.

Ketiga, penyerapan APBN yang lambat dan kecil juga menggeser manfaatnya bagi rakyat ke semester berikutnya. Keterlambatan penyerapan APBN terjadi karena dua hal: Pertama, ada perubahan nomenklatur dan struktur organisasi kementerian yang ternyata membutuhkan waktu hampir enam bulan lebih untuk penyesuaian. Kedua, ada kelambatan dalam pengisian jabatan karena harus melalui panitia seleksi yang ternyata juga membutuhkan lebih dari dua bulan.

Keempat, kondisi ekonomi global terutama krisis ekonomi di Eropa (terutama Yunani) dan pesatnya kemajuan ekonomi AS telah menekan mata uang di seluruhnegara terkait, termasuk euro dan rupiah. Lebih parah lagi, hilangnya nilai mata uang ternyata tidak otomatis mendongkrak ekspor, seiring dengan kelesuan pasar domestik di sejumlah negara tujuan ekspor kita, seperti di negara Eropa lainnya, China, India, dan sebagainya.  

Alasan saya menulis judul ini adalah banyak teman-teman saya pelaku di pasar modal, perbankan, grup media sosial, dan krim pesan singkat (SMS) yang bertanya apakah kelesuan ekonomi sekarang menuju krisis seperti pada 1998? Terus terang jawabannya tidak mudah. Tetapi, tidak cukup alasan untuk mengambil kesimpulan bahwa kelesuan ekonomi saat ini akan menuju krisis ekonomi seperti pada 1998.

Kenapa? Pertama, fundamental ekonomi memang masih kuat, pertumbuhan masih bisa 4,7%, cukup tinggi dibanding negara lain hanya di sekitar2-4%. Sementara pada 1998 ekonomi bahkan minus sekitar 14%.

Kedua, utang luar negeri kita masih pada level aman karena masih di sekitar 30% dari PDB, dibanding Yunani dan negara lain mencapai 100% lebih. Memang saya amati bahwa ada tren melemah dari sisi kemampuan bayar utang sejalan dengan penurunan nilai ekspor.

Ketiga, produksi pangan dan ketersediaan kebutuhan pokok lainnya di pasar dan toko-toko masih cukup banyak sehingga harga-harga masih terkendali, bandingkan dengan kelangkaan bahan pokok ketika krisis 1998. Impor pangan juga sangat drastis menurun sehingga tidak banyak menguras devisa negara.

Keempat, sejumlah industri memang ada yang sudah merumahkan pekerjanya bahkan gulung tikar. Tetapi, hal itu masih wajar karena dalam kondisi normal juga ada yang bangkrut, apalagi dalam kondisi pasar lagi terpuruk. Syukurlah aktivitas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masih menggeliat tumbuh, terutama yang mampu ekspor.

Kelima, pelemahan nilai rupiah memang terjadi secara spesifik terhadap dolar Amerika saja (mencapai Rp13.300 per USD1). Tetapi, kita bisa bersyukur karena ternyata nilai rupiah terhadap mata uang negara lain (di luar dolar Amerika) masih relatif stabil dan cenderung menguat misalnya terhadap euro. Kalau kita impor, bisa lebih murah dari Eropa dan ekspor bisa lebih menguntungkan ke AS dan negara pengguna dolar Amerika lainnya.

Keenam, kondisi umum perbankan kita masih cukup kuat dilihat dari sisi CAR dan NPL yang tetap terkendali. Sejumlah bank bermasalah selalu ada walau dalam keadaan normal. Bank seperti itu perlu segera ditutup oleh OJK, tanpa bailout, tentu dengan komunikasi publik yang baik dan efektif. Memang tampaknya likuiditas perbankan perlu ditingkatkan untuk menghindarkan suku bunga tinggi.

Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir karena tidak ada indikasi kuat yang mengarah pada krisis ekonomi seperti pada 1998. Kecuali jika pemerintah mengambil keputusan dalam keadaan panik.

Pertanyaan berikutnya, jika demikian halnya, mengapa banyak pengamat dan politisi merasa galau melihat kondisi lesu sekarang ini? Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah dalam beberapa bulan sudah banyak meletakkan program untuk kepentingan jangka menengah dan panjang.

Saatnya lebih fokus untuk jangka pendek melakukan mitigasi terhadap dampak pelemahan kurs dan upaya pengembangan kapasitas dan pasar domestik. Menurut saya, respons pemerintah yang paling tepat saat ini antara lain:

Pertama, soliditas dan kerja sama antar kementerian atau lembaga (K/L) perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, peran menko harus betul-betul efektif merumuskan semacam letter of intent untuk masing-masing K/L yang secara mingguan dimonitor progresnya.

Kedua, seluruh instrumen intervensi negara perlu fokus untuk memberikan tindakan afirmatif. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS perlu segera mengambil langkah-langkah antisipatif terhadap bank-bank yang kesulitan likuiditas. Tidak perlu takut efek psikologis dari penutupan bank jika diikuti dengan keterbukaan informasi dan sosialisasinya kepada masyarakat. Jika kita menutup bank pada timing yang tepat, saya yakin tidak perlu kerugian negara sampai berdarah-darah seperti saat bailout Bank Century enam tahun yang lalu.

Ketiga, sejumlah peraturan perundang-undangan, terutama PP, perppres, SKB, dan permen perlu segera dikoordinasikan perubahannya agar tidak menjadi bottleneck dan tumpang tindih peraturan dengan peraturan daerah. Pelaksanaan Nawacita membutuhkan penyempurnaan terhadap sebagian dari peraturan perundangundangan yang ada.

Keempat, APBN perlu difokuskan untuk mengatasi dampak kelesuan ekonomi di luar dana untuk infrastruktur dan kebutuhan dasar masyarakat. Usulan Dana Aspirasi DPR RI wajib dipertimbangkan ulang karena tidak sesuai dengan UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan UU tentang Keuangan Negara. UU MD3 perlu segera direvisi karena UU tersebut diduga hasil ”akalakalan DPR RI” untuk ikut menjadi bagian dari pemerintah.

Kelima, jadikan koperasi sebagai wadah pemberdayaan ekonomi rakyat dengan mendorong kerja sama antara koperasi dan PT Pupuk (Holding) sebagai penyalur pupuk dan benih; antara koperasi dan BRI sebagai penyalur kredit; dan antara koperasi dan Bulog untuk membeli pangan dari para petani.

Keenam, penggunaan dana CSR BUMN perlu didorong lebih cepat agar likuiditas beredar di lingkungan warga masyarakat dan kegiatan usaha kerakyatan dapat bergerak untuk pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan warga.

Ketujuh, khusus untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, pemerintah perlu mempertimbangkan ada kebijakan baru yang mengatur pengendalian transaksi valas, khususnya pembatasan jumlah dana withdrawing perbankan dalam bentuk dolar Amerika.

Pemerintah juga perlu mendorong masuknya dolar Amerika dari luar negeri melalui misalnya dengan mewajibkan dana hasil ekspor disimpan di perbankan domestik dengan insentif yang memadai. Kebijakan tax amnesty perlu dilakukan secara konsisten dan konsekuen walaupun menghadapi banyak pro kontranya.

Sebagai penutup, saya juga bisa memahami dan merasakan keadaan perekonomian keluarga atau kelompok masyarakat yang beberapa bulan terakhir ini makin sulit dan terpuruk. Tetapi, untuk kepentingan perjalanan sejarah bangsa ke depan, kita tidak perlu mengulangi kesalahan kolektif seperti pada awal reformasi. Tidak gampang memilih Presiden.

Setiap langkah dan aktivitas warga yang mengarah pada kegaduhan politik dan gangguan stabilitas keamanan saat ini dapat menjadi pemicu krisis ekonomi seperti pada 1998. Saya masih penuh harap, saat ini negara masih membutuhkan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk melakukan tugasnya dengan lebih percaya diri dan konsisten terhadap konstitusi, Trisakti, dan Nawacita. Kesadaran kolektif dan soliditas kita sebagai warga bangsa diperlukan ketika ekonomi bangsa sedang sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar