Minggu, 12 Juli 2015

Menjadi seperti Yunani

Menjadi seperti Yunani

   Anggoro Budi Nugroho  ;  Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen
(SBM) ITB, Bandung
                                                           KOMPAS, 11 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Yunani mulai digunjingkan oleh masyarakat seluruh dunia. Tiap bangsa, seisi bumi, mulai berkaca seberapa lama krisis negeri kuno yang sakit itu mulai tiba di negerinya atau dengan cara bagaimana negerinya bisa menjadi bak Yunani.

Berikut hal-hal yang dapat menjadikan Indonesia seperti Yunani sekaligus seberapa mungkin krisis tersebut tiba di Tanah Air.

Menjadi ”Yunani”

Krisis Yunani didahului oleh depresi yang memberat sejak akhir krisis kredit perumahan kelas menengah ke bawah (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada 2008. Data-data menunjukkan, konsumsi global dan pertumbuhan yang menurun akibat pola permintaan Amerika Serikat yang melemah mulai masuk ke perekonomian Yunani melalui sektor pariwisata dan investasi asing, dua kegiatan penunjang utama ekonomi Yunani.

Melemahnya investasi asing yang masuk diiringi penurunan penawaran di sektor pariwisata tersebut membuat produk domestik bruto (PDB) Yunani melambat dan berujung pada meningkatnya angka pengangguran. Peringkat daya beli terus menurun akibat penyerapan tenaga kerja yang turun tersebut, berakibat pada ketiadaan insentif bagi sektor riil dan produksi untuk berekspansi dan akhirnya menurunkan kapasitas produksi nasional.

Angka pengangguran di Yunani sejak kuartal II-2009 meningkat tajam hingga mencapai 26,6 persen pada 2014, mengakibatkan pemerintah harus turun tangan menaikkan stimulus perekonomian dengan cara membuka operasi anggaran seluas-luasnya. Angka pengangguran tersebut adalah angka yang belum pernah terjadi di AS sejak depresi besar (great depression) tahun 1930-an.

Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah angka rasio dependensi saat kita membincangkan tentang pembangunan. Angka dependensi adalah rasio nisbi antara banyaknya populasi yang berada di luar rentang usia produktif, yaitu yang dikenal sebagai klasifikasi ”angkatan kerja”.

Dengan demikian, rasio dependensi menunjukkan perbandingan antara jumlah mereka yang tidak produktif (sangat muda dan sangat tua) dan total populasi penduduk yang masih produktif bekerja. Semakin tinggi angkanya, beban usia produktifnya akan semakin berat.

Penelusuran yang dilakukan Business Risk and Finance Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (BRF SBM ITB) menunjukkan, angka rasio dependensi Yunani pada 2010-2014 meningkat 7 persen dalam kurun waktu tujuh tahun, dari 49 persen pada 2007 menjadi 52,25 persen selama 2014. Besarnya penduduk usia pensiun di negeri itu membuat ketergantungan warga Yunani pada dana pensiun yang dibayarkan oleh pemerintahnya menjadi besar.

Sayangnya, besarnya tekanan pada kebutuhan fiskal Pemerintah Yunani tersebut direspons oleh negara melalui penambahan utang/pinjaman. Per 2006, rasio utang Pemerintah Yunani terhadap PDB telah mencapai 100 persen. Sementara itu, pada akhir 2014, angka tersebut menukik sampai 177,1 persen atau setara 240 miliar euro. Utang-utang ini tersebar dalam bentuk obligasi negara ataupun dana talangan dengan bunga murah yang disimpan pada sektor perbankan Yunani.

Tingginya rasio dependensi demografi, besarnya peran anggaran pemerintah dalam struktur perekonomian, dan kurangnya diversifikasi industri adalah tiga hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran agar krisis Yunani jangan sampai terjadi di Indonesia.

Berapa lama?

Kita tentu bertanya-tanya, berapa lama krisis tersebut akan tiba di Indonesia?

Penghitungan yang dilakukan oleh tim ekonomi BRF SBM ITB menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya penyimpangan PDB sebanyak 1 hingga 1,4 kali deviasi standar agar rambatan nilai tukar mata uang euro akibat depresiasi nilai tukar pasca bail out oleh Uni Eropa, jika sungguh terjadi, satu bulan lebih cepat tiba di Indonesia.

Penolakan masyarakat Yunani terhadap opsi perbantuan dana talangan berikutnya dari Troika melalui referendum pada 7 Juli 2015 bukan solusi akhir bagi krisis Yunani. Negeri ini akan tetap berada pada skema mencari dana talangan dan bantuan pelonggaran fiskal dari pihak lain untuk menstimulasi pertumbuhan ekonominya.

Ada dua kanal yang dapat menyebabkan masuknya krisis Yunani ke dalam perekonomian domestik.Pertama, melalui neraca pembayaran. Surplus neraca pembayaran yang dipicu oleh transaksi berjalan pada Januari dan Juni lalu belum terbukti lestari di Indonesia. Dibutuhkan penyaksian yang lebih panjang agar dapat sungguh-sungguh menghela napas dan sadar bahwa perdagangan kita membaik. Lalu lintas modal masuk, yang menjadi perhatian lebih luas dari sekadar neraca perdagangan, menunjukkan bahwa Indonesia masih kerap rawan ditinggal oleh investor asing di pasar portofolio walau tingkat optimisme masih tinggi, yang ditunjukkan oleh masih meningkatnya tren indeks saham.

Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang terjadi sejak era pemerintahan rezim Susilo bambang Yudhoyono tidak dibarengi dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terbukti justru naik. Ini sinyalemen positif bahwa penilai kinerja perekonomian nasional oleh asing tidak didasarkan semata pada pengawasan terhadap nilai tukar mata uang. Ada harapan bagi tetap stabilnya neraca pembayaran.

Apabila Uni Eropa menalangi utang Pemerintah Yunani sebagai konsekuensi zona perekonomian kolektif, kontraksi perekonomian negara-negara anggota dapat terjadi akibat penurunan belanja negara dalam kalkulasi PDB. Namun, seberapa masif dampaknya bagi tiap negara-akan berbeda-beda. Yang jelas, permintaan ekspor Eropa terhadap komoditas domestik akan menurun.

Cukup aman

Hanya, kita cukup berlega karena baik Yunani maupun Eropa bukan partner dagang utama Indonesia. Sampai bulan Februari 2015, data Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa India, Singapura, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat masih menjadi negara sasaran ekspor terbesar Indonesia. Ancaman krisis Yunani terhadap PDB nasional belum terlihat memungkinkan.

Kedua, melalui nilai tukar. Depresiasi euro, seandainya terjadi, akan membuat negeri-negeri Eropa mengetatkan pengeluaran pemerintahnya dan fokus pada penjagaan agenda-agenda ekonomi domestik. Jika Uni Eropa memutuskan mem-bail-out utang Yunani, yang umumnya dipegang oleh Jerman, Perancis, dan Dana Moneter Internasional (IMF), pengetatan fiskal yang bisa berujung pada pemotongan subsidi bahan bakar minyak, listrik, dan biaya pendidikan bisa saja segera dirasakan oleh seluruh warga Eropa.

Hal ini akan menimbulkan gejolak sosial di negara-negara anggota dan berakhirnya investasi pemerintah pada proyek-proyek vital yang menyerap permintaan domestik akan tenaga kerja maupun belanja barang. Jika pemerintah negara-negara Eropa memutuskan menggunakan utang luar negeri sebagai instrumen solusi untuk mengatasi dampak turunan ini, nilai tukar euro akan terdepresiasi dan ini dapat sejenak menguntungkan Indonesia.

Namun, jika peningkatan tarif, pajak, dan bea masuk impor yang digunakan, tentu ini akan memukul permintaan Eropa terhadap barang-barang impor termasuk dari Indonesia. Melihat besarnya tekanan sosial yang akan sudah terjadi jika opsi ini diambil, tampaknya langkah terakhir ini sangat kecil kemungkinannya terjadi.

Krisis selalu terjadi ibarat virus yang selalu mencari kelemahan tubuh. Ia terjadi saat tubuh yang mempunyai kelemahan internal, terbuka lubangnya untuk dimasuki daya tahannya, dan menjadi sakit. Memang, krisis Yunani masih berada pada fase yang belum akan menunjukkan dampak apa pun terhadap perekonomian RI.

Namun, dalam waktu tidak lama lagi, jika pemerintah negeri itu telah menunjukkan langkah apa yang akan diambil untuk mengatasi krisisnya, hal tersebut akan menjadi awal kemungkinan adanya dampak bagi perekonomian negeri tercinta. Tetap waspada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar