Senin, 13 Juli 2015

Mewaspadai Produk Makanan Ilegal

Mewaspadai Produk Makanan Ilegal

Posman Sibuea ;  Guru Besar Ilmu Pangan
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan
                                                     KORAN SINDO, 11 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Meningkatnya permintaan produk pangan selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri dapat membuka peluang hadirnya produk makanan ilegal yang berbahaya bagi kesehatan. Produk makanan ini bisa yang sudah kedaluwarsa dan rusak sehingga konsumen harus teliti melihat kemasan, izin edar, dan tanggal masa berlaku produk yang dibeli. Dalam upaya mencegah beredarnya produk pangan tidak aman itu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengawasi 452 sarana distribusi pangan di Indonesia.

Dari pengawasan yang dilakukan selama 25 Mei hingga 9 Juni 2015 itu, BPOM menemukan ada 11.370 kemasan dari 483 jenis produk pangan senilai Rp453,8 juta tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dijual dan dikonsumsi. Dari makanan TMS itu ditemukan 124 item (817 kemasan) sudah rusak (penyok, berkarat), 206 item (4.510 kemasan) yang kedaluwarsa, dan 153 item (6.043 kemasan) tanpa izin edar.

Selain itu, dalam pemeriksaan sejumlah sampel makanan di Pasar Cibubur, Jakarta Timur, yang dilakukan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta ditemukan bahan berbahaya pada makanan. Bahan berbahaya seperti pewarna dan pengawet non-food grade masih ditemukan.

Makanan yang mengandung bahan berbahaya antara lain tahu, asinan, dan kerupuk. Hal yang sama juga ditemukan pada pemeriksaan produk pangan olahan di wilayah lain di sejumlah daerah di Tanah Air.

Tidak Layak Konsumsi

Pada awal April 2015, sebelum BPOM mengumumkan hasil pengawasannya, media massa telah gencar memberitakan sejumlah makanan dan minuman yang tidak layak konsumsi. Pembuatan nata de coco menggunakan pupuk urea, kikil yang diawetkan dengan formalin, es batu mengandung bakteri patogen karena bahan bakunya berasal dari air sungai dan makanan ringan berbahan baku pakan ternak.

Kejahatan di balik bisnis makanan semakin kerap muncul ke permukaan. Seandainya kita lebih rajin lagi mengelilingi sejumlah pasar tradisional, niscaya tidak sulit menemukan makanan yang menggunakan pengawet formalin, boraks, dan bahan pewarna tekstil. Bakso, mi basah, tahu, ikan, daging ayam, buah, dan sayuran adalah makanan sangat populer yang telah dicemari zat racun tersebut.

Penggunaan bahan berbahaya sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1980-an. Ia telah masuk dan bersemayam di dalam perut masyarakat konsumen sekitar tiga dekade. Namun, ironisnya belum ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kejahatan itu.

Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan langsung tewas seperti korban serpihan bom teroris, sehingga pemerintah membiarkan anak bangsa ini tetap mengonsumsi makanan beracun untuk kemudian mati secara perlahan. Penyakit yang timbul akibat makanan yang terkontaminasi (foodborne disease) penyebab utamanya adalah mikroba patogen, mencapai sekitar 80-90%.

Disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beracun yang secara alami ada dalam makanan. Bila dikelompokkan berdasarkan sumber bahan makanan, ternyata industri jasa boga (katering dan restoran) menempati peringkat atas sebagai sumber foodborne disease, yakni 77%.

Disusul makanan yang dimasak di rumah sebesar 20%, dan sisanya 3% disebabkan makanan yang diproduksi industri pangan. Meskipun kontribusi industri pangan relatif rendah, tak bisa dianggap enteng sebab jangkauan konsumennya lebih luas. Apabila produknya menimbulkan keracunan maka jumlah penderita per kasus akan lebih besar, seperti halnya kasus biskuit beracun tahun 1989.

Tragedi kejahatan di balik bisnis makanan sebagai potret buram keamanan pangan dapat terjadi mulai dari hulu hingga di hilir industri pangan (Sibuea, 2015). Korban yang timbul bercorak massal dan meminta korban nyawa manusia. Kenyataan itu makin memprihatinkan ketika peristiwa ini kerap terjadi karena kelalaian manusia yang kurang memedulikan keselamatan konsumen.

Apalagi dengan kondisi masyarakat saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, pembohongan publik dapat dengan mudah dilakukan. Untuk alasan meningkatkan sifat fungsional produk, pemakaian bahan tambahan makanan( BTM) yang tidak aman semakin tak terkendali.

Penambahan zat berbahaya seperti formalin, pewarna rhodamin B, kuning metanil, pemanis buatan siklamat atau sakarin adalahserpihan contoh yang kerap dipakai untuk makanan. Fenomena ini ibarat bom waktu. Bahaya yang ditimbulkan amat dahsyat, yakni menyebabkan kanker yang merampas nyawa orang.

Di sisi lain, proses pemanasan yang tidak sesuai, penanganan under processing, khususnya pada produk makanan kaleng berasam rendah dapat terjadi karena kurangnya pemahaman tentang thermobakteriologi yang dikembangkan Dr Stumbo, seorang ilmuwan di bidang teknologi pangan terkemuka dunia.

Hal ini dapat menstimulasi terbentuknya toksin botulin dari bakteri Clostridium botulinum yang amat berbahaya. Sebaliknya, proses pemanasan berlebihan pada penggunaan minyak goreng dan berulang-ulang akan menghasilkan kerusakan produk yang memicu munculnya senyawa karsinogenik yang tidak baik bagi konsumen.

Mengasah Hati Nurani

Pertanyaan saat ini adalah mengapa sulit memberi jaminan keamanan pangan di tengah masyarakat? Pemerintah belum bisa melakukan pengawasan melekat yang tercermin dari berbagai upaya yang dilakukan di setiap mata rantai yang diduga bisa menimbulkan masalah keamanan pangan.

Dari wilayah produksi, pengolahan, distribusi, hingga saat penyajian untuk konsumsi. Masyarakat berharap berbagai instansi terkait harus terlibat dalam memeriksa keamanan pangan dan memberdayakan petugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada penjual makanan. Selama ini pemerintah telah abai tentang satu hal.

Undangundang yang baru tentang pangan sudah dibuat, regulasi tata niaga bahan tambahan makanan diperketat, dan sertifikasi mutu produk diharuskan. Namun, semuanya bisaditerabas pelaku ekonomi demi tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Makanan berformalin yang tetap eksis dari waktu ke waktu adalah bukti nyata pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Tindak kejahatan di balik bisnis makanan yang kerap berulang ini jika hendak digali secara lebih kontemplatif, persoalannya menyangkut moralitas anak bangsa. Perdagangan produk makanan ilegal saat masyarakat merayakan Idul Fitri dan hari-hari besar keagamaan lainnya adalah serpihan representasi dari bangsa yang mengalami degradasi moral.

Negeri yang warganya santun karena taat beragama kini mulai kurang beradab dan tak peduli keselamatan orang lain karena melakukan pembunuhan secara perlahan- lahan lewat teror formalin. Ketika persoalan kejahatan di balik bisnis makanan merebak menjadi tragedi kemanusiaan yang menelan korban jiwa, pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan kerap mereduksi persoalan dengan berdalih bahwa penyebabnya adalah keracunan makanan yang dipicu cara memasak yang tidak benar.

Alasan lain disebutkan bahwa tempat memasaknya kurang higienis atau airnya sudah terkontaminasi limbah beracun. Pada masa datang agar kejahatan di balik bisnis makanan bisa berkurang secara bermakna, maka sebagai umat beragama yang religius semestinya masyarakat pedagang makanan dan korporasi patut lebih mempertimbangkan aspek moralitas ketimbang nilai keuntungan semata.

Para pemuka agama diharapkan dapat berperan aktif memperbaiki moral anak bangsa ini. Mereka tidak sekedar hadir untuk mengusung ceramah agama tetapi juga memberi teladan moralitas tentang perilaku manusia.

Sebagai sesama anak bangsa, kita hendaknya dapat mengasah hati nurani untuk berperilaku jujur dalam berbisnis di bidang pangan, bukan sekadar makhluk ekonomi yang menakar segala aktivitas dari aspek untung dan rugi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar