Selasa, 14 Juli 2015

Orang Keuangan

Orang Keuangan

Samuel Mulia ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                           KOMPAS, 12 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sewaktu ia masih hidup, saya memberi ayah predikat ”orang keuangan”. Predikat itu karena ia nyaris memandang semua keadaan berdasarkan angka dan kemampuan otaknya yang terbatas itu.

Begitu tidak masuk akalnya, ia akan membatalkan rencana. Melihat caranya mengelola kehidupan itu, saya sampai pernah berpikir, manusia yang paling takut menghadapi gejolak dunia ini, yaa... orang yang seperti ayah saya itu. Ia yang memiliki ketergantungan yang sangat pada angka.

Otak

Awalnya saya berpikir ia kikir. Lama-lama, saya melihat dia hanya kelihatan kikir. Ia dan saya memiliki perbedaan dalam melihat nilai sebuah barang. Bisa dikatakan ia jarang sekali mengutamakan kesenangan hatinya, tetapi sering memenuhi kesenangan uangnya.

Sekali waktu, ia pernah menjelaskan mengapa ia tak perlu memiliki mobil supermahal. ”Mau mahal, mau murah, sama saja. Namanya mobil, yaa... buat alat transportasi. Titik. Yang penting kamu nyampe di tujuan yang kamu inginkan, bukan?”

Beberapa tahun yang lalu saat ia pergi ke Amerika, saya menitipkan tas bermerek. Pulang dari bepergian ke Amerika itu ia mencak-mencak. ”Kamu tuh enggak waras. Masak tas kecil segini harganya sampai jutaan rupiah. Enggak ada bagus-bagusnya.” Kemudian dia wanti-wanti, kalau itu adalah tas pertama dan terakhir yang ia belikan dengan uangnya itu.

Ayah saya memang orang yang tak akan pernah bisa termakan gengsi. Mungkin karena dia melihat semua keadaan hanya berdasarkan untung, rugi, dan fungsi. Maka buatnya, gengsi itu adalah hanya sebuah kesia-siaan belaka kalau diikuti.

Saya teringat di masa kecil dahulu, ia tak segan-segannya membawa pena dengan merek sebuah pembalut wanita. Pena itu didapatnya dari bonus yang disertakan bersama kotak pembalut wanita yang dibeli istrinya.

Ketika kami menegur untuk mengganti dengan pena yang lebih baik, ia berkomentar begini, ”Ngapain beli lagi. Kan udah dapat gratis. Pena sama aja. Mau mahal atau enggak, sama-sama buat nulis.Emang selama ini kita bisa punya uang gara-gara aku nulis pakai pena emas? Kamu bisa sekolah ke luar negeri, itu yaa... karena pena plastik ini.”

Iman

Pada masa masih menjadi mahasiswa, saya sudah bekerja di sebuah perusahaan ekspor pakaian jadi. Sedikit bagian dari upah pertama sebesar dua ratus lima puluh rupiah itu saya belikan roti kesenangan ayah di salah satu toko roti terenak di kota Denpasar. Kalau tidak salah, cerita ini pernah saya tulis sebelumnya.

Ketika saya menyerahkan roti kesenangannya itu, komentar yang pertama kali keluar dari mulut yang penuh perhitungan keuangan itu begini. ”Kamu enggak usah royak-royal. Kayak orang kaya aja. Mending kamu simpan uangnya.”

Jadi yang pertama terlintas di benaknya selalu uang, selalu untung rugi. Ia sampai lupa bahwa di dunia ini ada istilah keajaiban. Mungkin orang seperti ayah saya keder kepada yang tak bisa diperhitungkan, keder kalau tak bisa melihat untung rugi dari awal. Saya sendiri tak tahu apakah menurutnya, kehadirannya di dunia ini sebuah keberuntungan atau kerugian.

Saya menulis semua ini berdasarkan apa yang saya lihat soal bagaimana ayah saya mengelola hidup dengan memberi persentase sangat besar di sisi perhitungan uang, memberi persentase besar untuk akalnya dan kemampuannya berhitung. Dan yaaa… kok kebetulan ayah saya itu bisa dikatakan otaknya tokcer apalagi soal angka.

Sebelum ia meninggal dunia, ia sempat terbaring di rumah sakit. Kondisinya saat masuk sedikit buruk dan kemudian beberapa hari kemudian menjadi sehat walafiat. Menurut perhitungannya sebagai dokter, ia akan sehat dalam satu minggu dan bisa kembali ke rumahnya. Pada kenyataannya, ia memang kembali. Kembali ke rumah Penciptanya.

Kalau saya melihat ke belakang, ayah juga banyak menghadapi kekecewaan karena di tengah kepandaiannya yang super, ia juga beberapa kali menghadapi kegagalan dalam usaha dan perhitungan dan kemampuan otaknya tidak menyelamatkannya.

Mungkin ayah saya salah berhitung. Namun buat saya, hidup itu bukan semata-mata soal yang harus dihitung. Berhitung itu diperlukan, tetapi itu bukan tempat bergantung sepenuhnya.

Berhitung tidak menjamin masa depan yang pasti. Berhitung ada batasnya dan melelahkan. Berhitung itu membuat keder, berhitung itu mengecilkan arti Yang Mahakuasa, berhitung itu membatasi Tuhan untuk bekerja sepenuhnya dalam hidup seseorang, dan lama-lama berhitung bisa menjadi Tuhan untuk hidup. Itu menurut saya yang IQ-nya jongkok banget.

Dengan kondisi IQ macam itu, saya memilih selain berhitung, untuk berani hidup juga dengan iman. Membiarkan Yang Mahakuasa terlibat di dalam perhitungan yang saya buat. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan otak, tidak dengan perhitungan angka dan kalkulator. Tetapi yang menurut pengalaman saya sungguh meringankan perjalanan, tidak mengecewakan, tidak membuat keder dan selalu menguntungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar