Rabu, 29 Juli 2015

Perihal Dasar Islam Nusantara

Perihal Dasar Islam Nusantara

Akh. Muzakki ;  Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Profesor Sosiologi Pendidikan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
                                                         JAWA POS, 27 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI AKHIR Ramadan lalu, saya ditanya seorang wartawan majalah Islam begini: Apa pentingnya NU mengusung tema Islam Nusantara dalam muktamar ke-33? Apakah tidak takut justru tema itu akan memecah belah Islam? Sebab, Islam itu kan satu. Kenapa harus ada embel-embel Nusantara segala macam?

Pertanyaan wartawan di atas sebetulnya tidak sendirian. Pertanyaan itu hanya mewakili perhatian sekian banyak individu atau kelompok tentang hakikat Islam Nusantara.

Serangkaian pertanyaan di atas sejatinya menyiratkan kegundahan tertentu atas konsep Islam Nusantara. Dasarnya macam-macam. Mulai tidak tahu, salah paham, hingga tidak mau tahu. Bagi kalangan yang mempertanyakan konsep tersebut, Islam itu ya satu. Lalu, kalau sampai dimunculkan Islam Nusantara, dikhawatirkan muncul Islam dalam berbagai varian: Islam Timur Tengah, Islam India, Islam Tiongkok, bahkan Islam Jawa, Islam Madura, dan seterusnya. Ada kekhawatiran, konsep tersebut akan memecah belah Islam.

Kepada wartawan itu, saya membuat ilustrasi sederhana. Saya memahamkannya melalui contoh makanan cepat saji (fast food) dengan ayam goreng sebagai komoditas utamanya. Saya mengambil kasus dua brand perusahaan ayam goreng terkenal asal Amerika. Dua brand tersebut telah menjelajah tanah air. Hampir semua orang pun sudah mengenal dua brand itu.

Lalu, saya tanya rekan wartawan tersebut: ’’Apa yang dijual dua brand makanan cepat saji asal Amerika itu?’’ Dia jawab: ’’ Ya, ayam goreng plus kentang goreng.’’

Saya kemudian bilang: Nah, itulah yang menjadi ciri khas dua brand makanan cepat saji asal Amerika itu. Di mana dan ke mana pun pergi, kita pasti akan mendapati counter dan stall dua brand tersebut menjual ayam goreng ( fried chicken) dan kentang goreng irisan (chips). Di negeri asalnya, Amerika, jualan dua brand tersebut ya ayam goreng dan kentang goreng irisan itu. Di Eropa, juga sama. Di Asia juga serupa, termasuk di Indonesia.

Tapi, di negeri kita ini, dua brand asal Amerika tersebut menjual ayam goreng dan kentang goreng irisan dengan disertai nasi sebagai tawaran menu. Mengapa begitu? Sebab, mereka tahu, orang Indonesia belum akan merasa makan jika belum makan nasi. Karena itu, nasi disertakan sebagai pendamping dari komoditas ayam goreng dan kentang goreng irisan.

Ini semua mereka lakukan agar jualan mereka bisa diterima masyarakat Indonesia. Caranya, menyesuaikan dagangan mereka dengan selera dan kecenderungan gaya kuliner lokal. Dengan begitu, masyarakat lokal merasa ayam goreng dan kentang goreng irisan yang menjadi jualan dua brand Amerika di atas juga menjadi kebutuhan mereka. Maka, di mana pun di negeri ini, kita bisa melihat begitu tingginya tingkat marketabilitas jualan dua brand tersebut.

Tapi, jangan pernah berharap dua brand di atas menjual nasi pecel atau nasi rawon sebagai komoditas. Sebab, mereka akan menyalahi ’’khitah’’ bisnis dan dagangannya. Identitas jualan ( trademark) mereka dari awalnya adalah fried chicken dan chips.

Meski nasi pecel atau nasi rawon sangat populer di negeri ini, dua brand asal Amerika di atas tidak akan pernah menjual dua makanan lokal itu di counter atau stall mereka. Kalau itu mereka lakukan, mereka sudah keluar dari trademark -nya sebagai industri bisnis makanan cepat saji fried chicken dan chips. Begitulah kira-kira ilustrasi sederhana tentang Islam.

Dalam teori ’’Melintasi Batas Kultural’’ (Crossing Cultural Boundaries), John R. Bowen ( Religions in Practice, 2005:164) menegaskan, dua hal penting pasti terjadi tatkala sebuah agama mengalami persebaran meluas ke berbagai belahan dunia. Pertama, penerjemahan (translating) elemen-elemen keagamaan dari sebuah bahasa dan budaya asal munculnya agama tersebut kepada sebuah bahasa dan kultur baru. Kedua, penyesuaian diri (adapting) agama dimaksud dengan lingkungan baru.

Meski begitu, (maaf) untuk kepentingan simplifikasi, kecenderungan pergerakan Islam sama halnya dengan dua brand makanan cepat saji asal Amerika di atas: melakukan proses penerjemahan dan penyesuaian. Tapi, proses ini tidak sampai membuat pemahaman dan praktik muslim di negeri mana pun kehilangan ajaran dasar (core teaching) Islam itu sendiri.

Islam Nusantara yang diusung NU dalam muktamar ke-33 pun juga tidak akan pernah keluar dari lingkaran ajaran dasar Islam. Yang dilakukan hanya untuk memperkuat kembali cara keberagamaan muslim Indonesia yang santun, toleran, damai, dan moderat penuh respect atas perbedaan sebagai model bagi peradaban dunia.

Ini semua penting di tengah buruknya representasi Islam di dunia. Kehidupan dunia global-modern yang mendambakan praktik hidup kosmopolitan penuh kesantunan, toleransi, kedamaian, moderasi, dan respect atas perbedaan tidak menemukan referensinya pada pengalaman hidup, termasuk kalangan muslim. Pasalnya, konflik dan pertumpahan darah lebih kerap mengemuka daripada praktik hidup dimaksud. Timur Tengah dan Asia Selatan contoh sebagiannya.

Maka, Islam Nusantara dihadirkan untuk memperjelas contoh konkret dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam memang tidak lahir di negeri ini. Tapi, Islam di negeri ini bisa menjadi referensi dan model bagi tatanan kehidupan dan peradaban global yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar