Sabtu, 11 Juli 2015

Publikasi di Jurnal Internasional

Publikasi di Jurnal Internasional

   Franz Magnis-Suseno  ;  Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
                                                           KOMPAS, 09 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah lama disadari bahwa Indonesia ketinggalan dalam output ilmiah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Maka, sekitar delapan tahun lalu, Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud mulai mengambil inisiatif untuk mengubah situasi itu. 

Untuk menjadi guru besar, juga untuk bisa menerima ijazah doktor, dipersyaratkan harus ada publikasi di jurnal internasional! Bukan di sembarang jurnal internasional. Jurnal itu harus memenuhi "kaidah ilmiah dan etika keilmuan", terindeks di database internasional bereputasi, harus dalam bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Tiongkok, Jerman, Jepang bagaimana?), dewan redaksi harus pakar dari empat negara, harus memiliki versi online (supaya bisa diakses Dikti, tetapi apa semua jurnal ilmiah gengsi mau bisa dibaca online?), dan lain-lain.

Spesialis-generalis

Memang, di Jerman, misalnya, reputasi akademik calon guru besar diukur dari kualitas publikasinya. Untuk melamar menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi  calon akan mengajukan publikasi-publikasinya, yang kemudian ditinjau oleh beberapa pakar dan akhirnya senat yang mengambil keputusan.

Namun, haruskah publikasi di jurnal internasional? Ambil kasus saya sendiri. Saya masih enak menjadi profesor: asal rajin mengumpulkan kum profesornya terjamin. Tahun 1994 kum saya melampaui 1.000, ya, jadi guru besar. Nah, di antara sekitar 65 publikasi saya segala macam di luar negeri (kebanyakan dalam bahasa Jerman, bahasa asli saya), yang saya temukan selama 46 tahun kegiatan akademis saya, hanya ada tiga (!) dalam majalah dengan standar ilmiah tertinggi. Dua dalam Zeitschrift fÜr philosophische Forschung, satu di Zeitschrift fÜr Missionswissenschaft und Religionswissenschaft.

Mengapa begitu sedikit? Bidang saya filsafat. Saya seorang generalis. Artinya, saya merasa cukup menguasai sejarah dan metode-metode pemikiran filosofis, dan di dua tiga bidang saya mampu menulis monografi. Namun, majalah filsafat berstandar prima di Jerman (sama di AS) tidak akan memuat tulisan tingkat generalis. Filsafat internasional adalah highly specialized. Orang, misalnya, tidak menulis tentang "filsafat moral Immanuel Kant", tetapi tentang "fungsi Zusatz tentang Faktum der Vernunft dalam deduksi Kant tentang imperatif kategoris".

Bagaimana mungkin kami yang jauh di Indonesia dan tidak terlibat dalam diskursus ekstrem spesialistik para filosof profesional di Eropa dan Amerika bisa menulis sesuatu yang mau diterima dalam jurnal-jurnal mereka? Lebih penting lagi, yang kita perlukan di Indonesia justru bukan spesialisme ekstrem itu.

Untuk mengembangkan filsafat akademik di Indonesia, kita justru memerlukan filosof generalis. Seorang filosof yang mampu mengantar para mahasiswa peminat filsafat ke dalam cara berpikir filosofis karena mempunyai wawasan yang menyangkut filsafat sebagai keseluruhan. Publikasi mereka harus generalistik! Mempersyaratkan publikasi di jurnal internasional tidak menaikkan mutu para akademisi kita, tetapi mencekiknya!

Ambil lagi filsafat. Sejauh saya tahu hanya ada dua universitas negeri besar (UI dan UGM) yang punya program studi (prodi) filsafat. Jadi, kalangan filosof Indonesia masih amat terbatas. Padahal, untuk mengembangkan filsafat bermutu, kita perlu profesor-profesor. Saya sedih dan, terus terang, marah melihat kolega-kolega muda yang bersemangat dan berbakat sudah sejak bertahun-tahun terhambat jadi guru besar. Situasi di banyak ilmu lain, terutama yang non-eksakta, kiranya tidak jauh berbeda.

Karena itu, penundaan keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) terdahulu-yang mewajibkan para calon doktor melakukan publikasi di jurnal internasional, dengan penambahan SKS di prodi magister dan doktor-oleh Menristek-Dikti baru adalah langkah bijaksana. Sebenarnya aneh juga kalau pemberian gelar doktor atau magister dibikin bergantung pada lembaga di luar perguruan tinggi yang bersangkutan, misalnya dari kesediaan redaksi suatu majalah.

Menilai kualitas akademis mahasiswa jelas tugas dan kompetensi perguruan tinggi di mana dia belajar. Buat apa perguruan tinggi diakreditasi kalau tak bisa meluluskan mahasiswanya?

Metode palu

Peningkatan produktivitas ilmiah staf akademis kita tak akan dicapai dengan metode palu. Untuk jadi guru besar cukup dipersyaratkan empat tulisan ilmiah state of the art yang dipublikasikan di Indonesia. Atau sebuah monografi yang betul-betul mengesankan (setingkat Habilitationsschrift di Jerman), yang kemudian dinilai, misalnya, oleh empat guru besar yang pakar, dua di antaranya dari luar universitas yang bersangkutan.

Hal yang memang perlu adalah agar di perguruan tinggi masing-masing diciptakan suasana, di mana para dosen dapat melakukan penelitian (pustaka): ada kantor pribadi, perpustakaan yang bagus, dan jumlah kuliah tidak berlebihan (studi penelitian apa yang mau diharapkan kalau dosen diandaikan mengajar 12 jam per minggu seperti sekarang?).

Dikti tidak salah kalau mau memotong kemungkinan penipuan, plagiat, dan korupsi dalam pemrosesan pelbagai kenaikan. Namun, apakah masuk akal menuntut bukan hanya semua ijazah, melainkan semua transkrip nilai juga harus diperlihatkan? Bagaimana kalau seorang doktor yang sudah mengajar 20 tahun, yang akhirnya bisa menjadi guru besar, sudah hilang beberapa transkrip masa S-1-nya dulu?

Apalagi tulisan! Tulisan bukti kegiatan ilmiah diharuskan diserahkan secara fisik ke Dikti (dan saya mendengar, tak pernah dikembalikan) dan kalau mau dipakai untuk kredit kenaikan pangkat malah masih harus juga diunggah: entah (dulu) langsung ke laman Dikti atau ke laman perguruan tinggi bersangkutan. Yang harus diunggah bukan hanya halaman depan, daftar isi, serta halaman pertama dan terakhir, melainkan fulltext, semua halaman, dengan pemborosan pekerjaan dan listrik (scanning!) luar biasa. Apakah Dikti menyadari bahwa proses pengunggahan itu dapat dituntut sebagai pelanggaran undang-undang hak cipta? Lucu lagi, surat-surat bukti itu harus diunggah berulang kali, ya, setiap kali dibutuhkan lagi. Bureaucracy in overkill mode?

Kiranya sudah waktunya Dikti, dalam rangka revolusi mental, melakukan konsultasi dengan dunia perguruan tinggi sendiri untuk mencari cara pembuktian prestasi ilmiah yang proporsional. Suatu peningkatan etika dosen ataupun nafsu penelitian dan publikasi lebih mudah akan tercapai dengan perbaikan kondisi-kondisi kerja serta dengan mengandalkan semangat para ilmuwan kita sendiri, terutama para ilmuwan muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar