Sabtu, 11 Juli 2015

Revolusi Desa

Revolusi Desa

   Budiman Sudjatmiko  ;  Dewan Pengarah Badan Prakarsa
Pemberdayaan Desa dan Kawasan (BP2DK); Fraksi PDI-P DPR
                                                           KOMPAS, 10 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Saya ingin dana yang diterima desa bisa menjadi modal pembangunan desa serta uang itu bisa berputar, berkembang, dan kembali ke desa dan kawasan perdesaan. Jangan lari ke mana-mana.” Itu adalah kata-kata yang pernah disampaikan Joko Widodo kepada penulis di sela-sela kampanye pemilu presiden lalu.

Sebagai konsekuensi dari kata-kata itu, pemerintahan Jokowi-Kalla akhirnya meningkatkan dana desa dari Rp 9,1 triliun (dalam APBN 2015) menjadi Rp 20,8 triliun (dalam APBN-P 2015). Suatu peningkatan sangat signifikan guna mewujudkan amanat Pasal 72 UU No 6/2014 tentang Desa.Penjelasan Pasal 72 Ayat 2 memang memungkinkan jumlah dana desa dari APBN dilaksanakan bertahap, menunggu kesiapan aparat desa.

Jika pemerintah benar-benar menjalankan amanat UU Desa, setiap desa nantinya akan memperoleh rata-rata Rp 1,4 miliar dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/kota. Artinya, akan ada sekitar Rp 103,6 triliun dana yang mengalir langsung ke desa. Ini peningkatan jumlah yang sangat besar, yaitu mencapai 5 persen dari total belanja APBN (atau 1 persen dari produk domestik bruto Indonesia).

Pendapatan wilayah

Apa faedah alokasi dana desa yang begitu besar bagi perekonomian nasional? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat besarnya anggaran dan jumlah masyarakat yang terkena langsung kebijakan tersebut. Namun, sayangnya, kajian makro ekonomi terhadap kebijakan ini masih sangat minim. Untuk itu, dalam tulisan ini diusulkan sebuah telaah makro ekonomi terhadap kebijakan tersebut.

Ada perkara serius dalam sistem pengukuran ekonomi di negeri ini. UU Desa berusaha menggugat sistem tersebut. BPS, Bappenas, dan Bappeda selama ini rupanya mengukur matriks ekonomi dengan menggunakan ”pendekatan wilayah”, yaitu dengan menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Pendekatan ini mengukur nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu wilayah pada periode tertentu. Pendekatan ini memiliki bias yang sangat besar dalam mengukur kesejahteraan masyarakat.

Misalnya, ada satu perkebunan sawit di Desa Y. Pendapatan perkebunan sawit itu akan masuk dalam PDRB Desa Y. Namun, pada kenyataannya mayoritas pendapatan perkebunan sawit justru mengalir kepada pemilik modal dan pekerja kerah putih yang berdomisili di kota dan di luar negeri. Sangat kecil bagian pendapatan perkebunan sawit yang dinikmati warga Desa Y.

Menghadapi soal ini, penulis percaya, seharusnya yang dimaksudkan ”pendapatan wilayah” adalah ”total pendapatan penduduk di wilayah tersebut”, bukan ”total pendapatan pada wilayah tersebut”. Untuk itu, tulisan ini tidak menggunakan ”pendekatan wilayah”, tetapi ”pendekatan manusiadalam wilayah”. Artinya, pendapatan wilayah diukur dari total nilai barang dan jasa yang diproduksi penduduk di wilayah tersebut.

Perhitungan semacam ini dilakukan dengan metode ekstrapolasi distribusi pendapatan, yang dikembangkan Rolf Aaberge, ahli statistik dari Universitas Oslo, Norwegia. Berdasarkan perhitungan yang dikembangkan Aaberge ini, penulis menggunakan data demografi, kemiskinan, serta kesenjangan antara kota dan desa, dari BPS tahun 2014.

Dari hasil perhitungan diketahui, pendapatan penduduk desa 32,08 persen dari PDB nasional atau sekitar Rp 3.381,8 triliun. Mengingat persentase penduduk desa dan kota tahun 2014 berimbang, 50-50, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendapatan penduduk kota 2,11 kali lebih besar daripada di desa.

Inilah yang menjelaskan mengapa terjadi urbanisasi besar-besaran selama ini. Satu perkara serius yang menimbulkan persoalan sosial di kota-kota, sementara di sisi lain menyebabkan turunnya jumlah angkatan kerja pertanian di desa-desa.

Optimalisasi dana desa

Lalu, seberapa besar peningkatan kesejahteraan penduduk desa dengan adanya kebijakan dana desa? Secara umum ada tiga jenis pertumbuhan yang terjadi.

Pertama, pertumbuhan alamiah atau pertumbuhan yang terjadi secara natural tanpa dipengaruhi kebijakan belanja dari pemerintah. Mengingat persentase dana belanja langsung pemerintah ke desa sebelum adanya UU Desa sangat kecil, kita anggap saja besarannya mengikuti pertumbuhan ekonomi nasional, antara 4 dan 8 persen.

Kedua, pertumbuhan langsung atau pertumbuhan yang terjadi akibat langsung dari belanja pemerintah. Jika total dana desa sudah dioptimalkan 100 persen (sesuai dengan amanat Pasal 72 Ayat 2) hingga mencapai Rp 103,6 triliun (dari APBN dan APBD) dan nilai pendapatan penduduk desa hasil penghitungan adalah Rp 3.381,8 triliun, potensi pertumbuhan langsung adalah 3,06 persen.

Ketiga, pertumbuhan rentetan atau pertumbuhan yang terjadi akibat efek rentetan (multiplier) dari belanja pemerintah. Masuknya dana ke desa dapat memacu usaha baru di desa tersebut. Sebuah usaha baru dapat memacu timbulnya usaha baru lainnya, demikian seterusnya.

Nilai pertumbuhan rentetan yang dihasilkan sangat ditentukan tingkat produktivitas penggunaan dana desa. UU Desa memberikan sejumlah panduan untuk meningkatkan produktivitas melalui optimalisasi penggunaan dana. Di bawah ini adalah beberapa di antaranya.

Peruntukan dana harus melibatkan partisipasi masyarakat (Pasal 54). Sistem informasi desa (e-budget) harus dibangun untuk meminimalkan kebocoran anggaran (Pasal 86). Badan Usaha Milik Desa (Pasal 87-90) dan Badan Kerja Sama Antar-Desa (Pasal 92) harus didorong untuk mengembangkan antardesa guna meningkatkan skala ekonomi usaha produktif rakyat desa. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu melakukan pembinaan (Pasal 112-115), khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat serta penerapan teknologi. Jika panduan ini dilakukan dengan baik,angka pertumbuhan rentetan berpotensi lebih dari 1,5 persen atau setengah dari nilai pertumbuhan langsung.

Kombinasi pertumbuhan alamiah, langsung, dan pertumbuhan rentetan berpotensi meningkatkan pendapatan penduduk desa mendekati 10 persen per tahun. Kuncinya: optimalkan tingkat pertumbuhan rentetan dengan memanfaatkan potensi desa yang begitu besar. Apabila pertumbuhan desa dapat dipacu di atas rata-rata nasional, diharapkan tingkat kesenjangan akan berkurang secara signifikan.

Pada akhirnya optimalisasi dana desa merupakan sebuah peluru yang dapat menembak dua burung secara bersamaan: mendorong pertumbuhan sekaligus mengurangi kesenjangan secara bersamaan. Jika sudah demikian, ia bukan sekadar merupakan revolusi bagi desa, tetapi juga revolusi ekonomi Indonesia secara nasional. Desa sebagai salah satu pengungkit utama pertumbuhan sekaligus menyediakan sarana- sarana bagi pemerataannya secara terorganisasi dengan baik.

Instrumen hukum, yaitu UU Desa, yang memungkinkan turunnya anggaran dan pendampingan teknis serta pemberdayaan masyarakat telah disiapkan. Untuk mencapai tujuan-tujuan ”memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”, hanya ada tiga syarat tambahan: keberanian politik, keberanian politik, dan keberanian politik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar