Rabu, 15 Juli 2015

Sekolah Unggul dan Penyakit Kambuhan Tahun Ajaran Baru

Sekolah Unggul dan

Penyakit Kambuhan Tahun Ajaran Baru

Indira Permanasari ;  Wartawan Kompas
                                                           KOMPAS, 14 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jelang tahun ajaran baru, sejumlah sekolah mulai "diserbu" para orangtua murid yang mencari sekolah terbaik bagi putra-putri mereka. Bangku-bangku sekolah yang difavoritkan masyarakat yang dikenal sebagai "sekolah unggulan" menjadi rebutan. Lantas, apakah yang dimaksud dengan sekolah unggul itu?

Selama bertahun-tahun, sejumlah sekolah, terutama sekolah negeri tertentu, menjadi incaran. Cap sekolah favorit atau sekolah unggulan dilekatkan pada sekolah-sekolah itu oleh masyarakat. Di sejumlah daerah, termasuk di ibu kota DKI Jakarta, demi keadilan dan transparansi, pemerintah daerah menerapkan sistem penerimaan mahasiswa baru secara daring untuk sekolah negeri. Sistem komputer akan "menghitung" dengan mempertimbangkan pilihan siswa, nilai, dan daya tampung di sekolah itu. Pada umumnya, siswa dengan nilai-nilai ujian nasional tertinggi kemudian berkumpul di sekolah-sekolah favorit tersebut.

Di tengah situasi kompetitif itu, terdapat orang-orang yang mengambil jalan pintas dengan berbuat curang. Kecurangan ada yang dilakukan oleh orangtua, pihak sekolah, ataupun oknum lain. Maka, setiap tahun ajaran baru tiba, kambuh pula penyakit penyuapan, penjualan kursi, sampai penyusupan calon murid dengan imbalan tertentu.

Untuk tahun ini, secara umum, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan sejumlah modus kecurangan, yakni upaya menyusupkan siswa ke sekolah incaran, pada umumnya sekolah negeri, termasuk sekolah unggulan. Modus lain ialah menghadirkan oknum yang mengaku sebagai lembaga swadaya masyarakat, wartawan, hingga dari Program Indonesia Pintar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Nama pejabat dicatut dan oknum datang dengan surat berkop Kemdikbud untuk memaksa agar sekolah menerima "calon siswa" yang mereka bawa.

Ada juga modus pemalsuan kartu keluarga di daerah yang menerapkan sistem zonasi, yakni murid harus mendaftar ke sekolah sesuai dengan domisilinya (rayonisasi). Demi anak masuk sekolah incaran, ada yang sengaja membuat kartu keluarga palsu. Pada kasus lain, inspektorat jenderal menemukan sekolah-sekolah yang sengaja menyusupkan siswa meskipun kuota sudah penuh (Kompas, 10 Juli 2015).

Beragam motivasi orangtua atau wali murid mengincar sekolah tertentu, terutama sekolah negeri yang difavoritkan. Salah satu motivasi ialah terpenuhinya harapan bahwa anak terjamin pendidikannya ke depan, termasuk ketika akan masuk perguruan tinggi (Kompas, 23 April 2015).

Di sejumlah sekolah negeri, persentase tembus ke perguruan tinggi negeri terbilang besar. Walau masih harus dilihat lebih dalam lagi, apakah daya tembus perguruan tinggi negeri yang kompetitif itu karena murid yang masuk ke sekolah itu pada dasarnya sudah memiliki kemampuan akademis tinggi, proses belajar bermutu, atau berkat bantuan pelatihan di bimbingan belajar. Motivasi lain, almamater dari sekolah yang difavoritkan dipandang penting dalam mencari pekerjaan kelak.

Sekolah unggul

Lantas, apa yang sebetulnya dimaksud dengan sekolah unggul? Pemerintah pernah membuat "strata" sekolah dan mengenalkan istilah sekolah unggulan, mulai dari unggulan lokal sampai nasional. Istilah sekolah unggulan antara lain diperkenalkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada 1994. Waktu itu, Wardiman Djojonegoro menegaskan, pendirian sekolah-sekolah unggul di daerah dimaksudkan untuk mempercepat transfer ilmu pengetahuan dan kesempatan yang sama kepada anak didik di setiap daerah dalam bidang pendidikan berkualitas (Kompas, 2 Mei 1994).

Departemen Pendidikan Nasional, saat itu, dalam pengembangan sekolah unggul membuat sejumlah kriteria sekolah unggulan, seperti, input diseleksi secara ketat sesuai dengan kriteria dan prosedur tertentu. Tidak hanya nilai rapor dan Ebtanas, tetapi juga rangkaian tes prestasi dan psikotes untuk mengukur intelegensia. Kriteria lain ialah sarana belajar menunjang; lingkungan belajar kondusif; guru dan tenaga kependidikan unggul, baik dalam penguasaan kurikulum, metode mengajar, maupun komitmen; kurikulum diperkaya; kurun waktu lebih lama dari sekolah lain; serta proses belajar berkualitas. Sekolah tidak hanya memberi manfaat bagi peserta didik, tetapi juga memiliki resonansi sosial terhadap lingkungan sekitar; adanya pembinaan kemampuan kepemimpinan; dan kegiatan tambahan di luar kurikulum, seperti remedial dan pengayaan.

Namun, pengertian sekolah unggul juga terbuka interpretasinya. Sekolah unggul dapat pula dimaknai sebagai sekolah yang efektif yang ditandai antara lain dengan kepemimpinan profesional; visi dan misi bersama; lingkungan belajar; konsentrasi pada proses pembelajaran; pengajaran bermakna; adanya harapan yang tinggi; pengayaan yang positif; organisasi pembelajar; dan adanya kemitraan dengan orangtua. Intinya, sekolah mampu memberikan nilai tambah kepada siswanya (Harris dan Bennet, 2001). Sekolah mampu memenuhi bahkan melebih harapan atau standar.

Ke depannya, "model" sekolah unggulan yang didorong pemerintah pada pertengahan 1990-an itu menuai kritik karena menciptakan diskriminasi. Pemerintah semestinya menciptakan pendidikan berkualitas secara merata bagi semua anak bangsa. Istilah unggulan atau standar internasional atau strata lainnya tidak lagi digunakan di lingkungan birokrasi pendidikan.

Setidaknya, dari fenomena berebutan masuk ke sekolah-sekolah yang difavoritkan itu, terlihat bahwa tuntutan masyarakat akan pendidikan dan sekolah semakin tinggi di dunia yang kian kompetitif. Di tengah kesadaran dan tuntutan itu, pemerintah diharapkan untuk berperan besar dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan secara lebih merata. Ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan (termasuk sekolah), pada akhirnya memunculkan rasa ketidakadilan dan putus asa bagi masyarakat. Apalagi, ketika sekolah masih dipandang masyarakat sebagai tangga naik status sosial dan ekonomi.

Selain itu, dilihat dari kriteria-kriteria sekolah unggul di atas, setidaknya dapat dikaji lagi sejauh mana sekolah-sekolah yang difavoritkan masyarakat dan menjadi rebutan itu memang memenuhi kriteria sebagai sekolah unggul. Jangan-jangan masyarakat hanya terpaku pada kabar dari mulut ke mulut terkait dengan persentase lulusan sekolah itu yang tembus ke perguruan tinggi negeri favorit atau sekadar cap "unggulan" yang melekat selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar