Senin, 13 Juli 2015

Wajib Belajar untuk Bangsa

Wajib Belajar untuk Bangsa

   Totok Amin Soefijanto ;  Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute (PPPI); Deputi Rektor Universitas Paramadina, Jakarta
                                                     KORAN SINDO, 09 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tuhan bersama orang miskin. Ibnu Arabi menyatakan: mereka (yang berkuasa) adalah pelayan rakyat, pelindung rakyat dari kezaliman. Orang miskin dapat dikategorikan orang-orang yang tertindas, terzalimi. Pendidikan adalah jalan satu-satunya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan, bukan uang tunai atau sembako. Sebab itu, tugas wajib pemerintah sebagai pemegang kekuasaan adalah menyediakan pendidikan buat keluarga miskin.

Saat kita menjalani ibadah di bulan suci Ramadan ini, ada baiknya kita menjenguk saudara-saudara kita yang belum sempat mengenyam pendidikan dengan baik. Menurut studi Analytical & Capacity Development Partnership (ACDP) bertajuk ”Overview of The Education Sector in Indonesia 2012: Achievements and Challenges”, kita telah berhasil mendorong anak usia sekolah masuk ke sistem pendidikan lewat program Wajib Belajar.

Secara bertahap, pada 1984 Wajib Belajar 6 Tahun dan pada 1994 Wajar Belajar 9 Tahun. Semua itu pada era Orde Baru. Ada tuntutan dan sudah menjadi program pemerintahan Jokowi-JK bahwa wajib belajar ini ditingkatkan hingga 12 tahun atau lulus sekolah menengah atas (SMA).

Seberapa penting program wajib belajar ini buat keluarga miskin? Seiring dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan di semua level, biaya pendidikan juga semakin membumbung tinggi. Guru mendapat gaji dan tunjangan yang lebih baik lewat sertifikasi. Fasilitas sekolah diperbaiki dan ada yang dibangun baru. Teknologi mulai diperkenalkan ke sistem pengajaran.

Kurikulum baru diterapkan dengan pendekatan riset yang baik. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) hadir dan aktif hampir di semua provinsi. Proses rekrutmen guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan lainnya semakin profesional. Semua ikhtiar itu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Akibat itu, ongkos pendidikan semakin tak terjangkau bagi kalangan miskin.

Untunglah, negara melalui APBN wajib menyediakan 20% dari anggaran tahunan untuk pendidikan. Beberapa pemerintahan daerah bahkan mengalokasikan sampai 30%-40% dari anggarannya untuk sektor pendidikan.

Yang menjadi masalah adalah alokasi besar-besaran itu belum memberi dampak positif ke peningkatan mutu pendidikan kita. Penyebabnya: 80%-85% dari anggaran sektor pendidikan itu lari ke gaji dan tunjangan guru saja. Artinya, dana besar untuk pendidikan hanya habis untuk pengeluaran rutin dan biaya hidup.

Sedikit sekali untuk pelatihan guru, pengadaan alat praktikum, pembangunan infrastruktur sekolah, atau bentuk investasi lainnya yang tak kalah pentingnya untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. Cara pemerintah menghabiskan anggaran ini menyusahkan keluarga miskin karena kemiskinan itu searah dengan angka putus sekolah.

Menurut data ACDP, kelompok khawatir 1 (dari 5 khawatir pendapatan: 1 termiskin dan 5 terkaya) justru yang paling banyak putus sekolah: 64,4% di tingkat sekolah dasar (SD) dan 50% di tingkat SMP. Artinya, anak keluarga miskin berpeluang besar tidak lulus SD dan sekolah menengah pertama (SMP).

Informasi ini sangat menyedihkan. Sungguh ironis sejak 1994 (21 tahun yang lalu!) kita sudah mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun yang tujuannya meluluskan anak-anak kita terlepas status ekonominya dari pendidikan setingkat SMP, ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang ”tercecer” di tengah jalan pendidikan formal.

Kalau melihat lebih dalam lagi, ternyata ada 10% siswa SD tersebut yang bersekolah di madrasah dan mayoritas dari keluarga miskin dan pesantrennya berstatus swasta (ADB, 2006). Madrasah justru memiliki keberhasilan yang lebih baik daripada sekolah umum. Kalau angka putus sekolah di SD mencapai 1,61%, sedangkan madrasah ibtidaiyah hanya sekitar 0,18% atau hampir sepersepuluhnya saja (OECD, 2015).

Pemerintah perlu meningkatkan dukungan ke pesantren dan madrasah tersebut. Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) memang berhasil menaikkan jumlah anak kita yang masuk sekolah, namun kondisi ekonomi miskin keluarga menjadi ”penghalang” utama untuk mereka bertahan di sekolah.

Tak heran kalau posisi kita di dunia dalam Education for All Development Index (UNESCO, 2012) hanya mencapai peringkat 64 dari 120 negara. Kita masih kalah dibandingkan Malaysia dan Brunei meski lebih baik daripada Filipina dan Kamboja.  

Indonesia bukan negara liberal yang cenderung menyerahkan pelayanan publik ke mekanisme pasar. Kita negara berdasarkan Pancasila yang fondasinya keadilan sosial; negara memiliki kewajiban untuk memastikan setiap warga negaranya mendapatkan layanan pendidikan yang layak. Biaya tidak boleh menjadi batu sandungan untuk menjadi orang pintar dan terdidik.

Republik ini yang akan rugi bila sebagian besar rakyatnya tidak mampu menuntaskan pendidikannya sampai sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Semangat pemerintahan baru yang mendorong Wajib Belajar 12 Tahun patut didukung meski lulusan SLTA masih belum cukup untuk membuat Indonesia bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan.

Setidaknya, dengan kompetensi setingkat SMA dan SMK tersebut, kita sudah mulai membangun ”benteng terakhir” di sisi sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan global dalam 10 tahun mendatang. Kalaupun semua dana dan upaya dikerahkan untuk membantu rakyat miskin berpendidikan, kita harus waspada dengan satu penyakit kronis ini: korupsi.

Masyarakat harus terlibat aktif dalam mengawasi penggunaan dana BOS, Kartu Indonesia Pintar, dan berbagai insentif keuangan lainnya. Percuma saja kita membaca data yang manis di permukaan bila di balik itu hanyalah laporan cantik di atas kertas. Kita semua harus peduli dengan kegiatan anak kita di sekolah, bantulah guru dan kepala sekolah dengan sumbangsih pikiran dan tenaga sesuai kemampuan kita, dan aktiflah dalam kegiatan sekolah.

Negara memang berkewajiban mendidik anak-anak kita, tetapi orang tua dan masyarakat juga wajib memastikan semua dana rakyat itu digunakan semestinya. Keadilan sosial tercapai bila semuanya ikut terlibat bergotong-royong mengatasi masalah bersama. Hal ini sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara yang ingin memerdekakan pikiran rakyat kita dari penjajahan asing.

Masalah pendidikan bukan hanya milik pemerintah. Kalau anggaran dan kebijakan sudah diarahkan untuk mendidik sebanyak mungkin anak bangsa, giliran kita semua memastikan setiap sen digunakan secara amanah. Tuhan bersama mereka yang adil dan bekerja keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar