Sabtu, 11 Juli 2015

Yunani dan Indonesia

Yunani dan Indonesia

   Anwar Nasution  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
                                                           KOMPAS, 10 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tingkat laju ekonomi yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, terus merosotnya harga komoditas ekspor dan daya saing industri manufaktur, melemahnya nilai tukar rupiah, membengkaknya utang luar negeri sektor swasta, serta kondisi industri perbankan yang semakin lemah menggambarkan kurang baiknya kondisi ekonomi Indonesia.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo belum menunjukkan inisiatif untuk menanggulangi kondisi ini. Sementara para pejabat pemerintah memberikan analisis yang menyesatkan, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena kondisi utang luar negeri Pemerintah Indonesia jauh lebih kecil daripada utang luar negeri Yunani.

Ada berbagai persamaan dan perbedaan yang menonjol antara krisis Yunani dewasa ini dan kerawanan yang dihadapi perekonomian Indonesia. Persamaannya antara lain dalam sistem politik dan pemerintahannya yang lemah dan korup, badan usaha milik negara (BUMN)-nya tak kompetitif sehingga hanya merupakan beban bagi masyarakat, sedangkan sistem hukumnya tak dapat melindungi hak milik individu dan memaksakan berlakunya kontrak perjanjian secara efektif dan efisien.

Tabung haji Malaysia kaya raya dan punya berbagai perkebunan sawit di Indonesia dan properti di Arab Saudi, sedangkan dana haji kita hanya jadi sumber korupsi. Administrasi perpajakannya buruk, sedangkan dunia usaha dan orang kayanya lebih suka menyimpan kekayaannya di luar negeri.

Penyebab krisis ekonomi Yunani dengan kesulitan ekonomi Indonesia dewasa ini adalah berbeda bagaikan bumi dengan langit. Krisis Yunani bermula dari pinjaman luar negeri sektor pemerintah yang dewasa ini mencapai 450 persen dari jumlah penerimaannya. Beban bunga utang saja sudah 13 persen dari penerimaannya sehingga membatasi pengeluaran lainnya. Pemerintah Yunani lama hidup lebih besar pasak daripada tiang dan menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)-nya dengan pinjaman luar negeri dengan memanfaatkan tingkat suku bunga yang rendah di pasar uang dan modal di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya.

Ketidakseimbangan

Di lain pihak, pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia lebih terkontrol dan kini rasio pinjaman terhadap produk domestik bruto sekitar 25 persen. Seperti halnya pada saat krisis 1997-1998, sumber utama kerawanan ekonomi Indonesia dewasa ini adalah pada utang luar negeri sektor korporat yang semakin membengkak. Lebih dari sepertiga likuiditas bursa obligasi dan efek-efek Jakarta bersumber dari pemasukan modal asing jangka pendek.

Barangkali sebagian daripadanya uang milik orang Indonesia yang di parkir di luar negeri. Utang luar negeri swasta tersebut dinyatakan dalam satuan mata uang asing dan berjangka pendek. Pinjaman itu digunakan untuk membelanjai investasi jangka panjang dan sebagian daripadanya hanya menghasilkan penerimaan dalam mata uang rupiah.

Oleh karena itu, terjadilah dua bentuk ketidakseimbangan yang sangat membahayakan, yakni ketidakseimbangan jangka waktu kredit dan investasi serta mata uang (maturity and currency mismatches).

Pengusaha Indonesia menyimpan dana dan meminjam ke luar negeri karena tidak adanya kepastian sehubungan dengan buruknya sistem politik dan sosial kita serta karena tidak efisiennya bank-bank nasional yang didominasi oleh bank-bank negara. Efisiensi perbankan di Indonesia, yang didominasi oleh bank-bank BUMN, adalah yang terendah di ASEAN sedangkan tingkat suku bunga bank merupakan yang tertinggi di kawasan ini.

Kredit luar negeri tersebut digunakan untuk membelanjai investasi di sektor real estat yang sangat marak di seluruh pelosok Tanah Air, pertambangan, perkebunan, industri manufaktur, serta pembangkit tenaga listrik dan prasarana lainnya.

Penerimaan dunia usaha dalam rupiah semakin membesar setelah Bank Indonesia mengeluarkan aturan yang mensyaratkan agar semua transaksi di Indonesia hanya dinyatakan dalam rupiah. Aturan ini hanya bersifat legalistis tanpa melihat fungsi uang secara ekonomi. Mata uang dollar Amerika Serikat menjadi mata uang dunia bukan karena adanya resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau invasi militer Amerika Serikat, melainkan atas dasar kepercayaan saja pada mata uang itu dan kepada pemerintah yang memelihara stabilitas nilainya.

Kebijakan distortif

Harga komoditas industri primer hasil pertambangan dan perkebunan yang menjadi andalan ekspor Indonesia terus-menerus merosot sejak tahun 2011. Sementara itu, peranan industri manufaktur semakin tergusur karena menguatnya mata uang rupiah, memburuknya iklim berusaha, semakin distortifnya sistem perdagangan dan investasi, serta kurangnya infrastruktur selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo bambang Yudhoyono.

Penerimaan devisa dari kiriman para tenaga kerja Indonesia (remittances) sangat kecil karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan mereka. Sistem perdagangan dan investasi yang distortif itu, antara lain, tecermin pada larangan ekspor ataupun pengenaan tarif bea ekspor yang tinggi pada biji tambang yang belum diolah. Padahal, kemampuan kita untuk mendirikan industri pengolahan (smelter) tidak ada karena tidak adanya listrik dan infrastruktur, seperti jalan dan pelabuhan.

Seperti halnya pada 1997-1998, dunia usaha dan perbankan semakin megap-megap. Dunia usaha kesulitan untuk melunasi utang bunga dan pokok utang pada bank di dalam negeri dan luar negeri. Penyebabnya adalah, di satu pihak, harga produknya melemah, sedangkan di lain pihak, tingkat suku bunga meningkat dan kurs rupiah semakin melemah.

Hambatan pada penggunaan kredit meningkatkan rasio kredit bermasalah (NPL) bank dan pelemahan rupiah meningkatkan risiko pasarnya dari transaksi valuta asing. Pada gilirannya, kedua hal ini menggerogoti kecukupan modal perbankan, seperti yang terjadi pada 1997-1989 yang mengempaskan perekonomian nasional. Pada waktu itu, APBN sedikit mengalami surplus dan defisit neraca berjalan tidak mengkhawatirkan karena hanya di bawah 4 persen dari produk domestik bruto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar