Kamis, 27 Agustus 2015

10 Tahun Wafat Cak Nur

10 Tahun Wafat Cak Nur

Endang Suryadinata  ;   Penggemar Sejarah
                                                 KORAN TEMPO, 26 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semoga kita tidak lupa. Sepuluh tahun silam, tepatnya pada 29 Agustus 2005, salah satu pemikir besar, Nurcholish Madjid (Cak Nur), meninggal dunia di Jakarta akibat kanker hati. Meski sudah satu dekade berlalu, semoga semangat dan pemikirannya terus hidup.

Bagaimanapun, sudah selayaknya pemikiran Cak Nur direvitalisasi dan perjuangannya diberi tempat dalam sejarah bangsa ini. Bukankah seperti kata Milan Kundera, "der Kampf der Erinnerung gegen das Vergessen", perjuangan ingatan melawan lupa itu tidak gampang di tengah amnesia yang gampang diidap bangsa ini?

Pemikiran Cak Nur, baik yang terkait dengan Islam dan relasinya dengan agama-agama lain maupun relasi Islam dengan negara, juga masa depan negeri ini, sebaiknya jangan pernah  dilupakan. Harus diakui, pemikiran Cak Nur semasa hidup sungguh menyimpan "daya mesianis" (meminjam istilah filsuf Walter Benjamin). Artinya, apa yang telah Cak Nur pikirkan sepanjang hidupnya menyangkut "nasib" bangsa ini sungguh bermanfaat dan relevan bagi kita pada masa sekarang dan mendatang.

Salah satu dari sekian banyak pemikirannya yang tampak relevan dengan kekinian kita adalah soal nasionalisme produktif di tengah tantangan  globalisasi. Menurut Cak Nur, nasionalisme masih kita butuhkan, tapi kita tidak membutuhkan nasionalisme yang mengisolasi diri sendiri, seperti kasus Myanmar. Dan, nasionalisme yang didambakan Cak Nur adalah nasionalisme yang produktif seperti model Korea Selatan atau Cina. Tanpa gembar-gembor menyebut nasionalisme, warga kedua negara tersebut sangat produktif dengan barang-barang buatan mereka.

Ini beda dengan negeri kita. Cak Nur mengkritik bangsa kita ini sebagai bangsa yang manja dan cengeng. Suka mencari gampangnya, sehingga makin dikenal sebagai bangsa paling konsumtif di dunia. Daripada usaha sendiri susah, sudahlah, beli dengan mengimpor saja. 

Padahal, menurut Cak Nur, mentalitas seperti  itulah  yang merusak sumber daya manusia (human resources) kita, sehingga daya saing kita begitu rendah. Dan nasionalisme kita menjadi tidak produktif. Cak Nur menunjuk apa yang terjadi di Probolinggo atau Pasuruan. Dulu, di era kolonialisme Belanda, di kedua kawasan itu malah terdapat  beraneka pabrik besar, seperti pabrik gerbong kereta api. Bahkan gula produksi pabrik di dua kawasan itu pun sudah diekspor. Sekarang hal itu tidak terjadi, dan orang-orang di sana menjadi kurang kompetitif dalam menyongsong globalisasi.

Untuk itu, nasionalisme yang kita hidupi harus disokong oleh praktek hidup bernegara dan berbangsa yang bersih, jauh dari segala praktek culas korupsi dan mencari untung sendiri. Cak Nur memang terobsesi good governance. Obsesi itulah yang kemudian mendorong Cak Nur maju sebagai salah satu calon presiden dalam Pemilu 2004 dari Partai Golkar, meski akhirnya mundur.

Akhirnya, kalau membuka semua dokumen pemikiran Cak Nur dan mengkajinya satu per satu, kita akan menyadari bahwa pemikirannya belum basi. Misalnya pemikiran inklusivitas dalam beragama, yang masih sangat cocok di tengah maraknya radikalisme yang mengancam kemanusiaan dan NKRI yang majemuk. Itu menjadi bukti pemikiran Cak Nur menyimpan "daya mesianis".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar