Jumat, 28 Agustus 2015

Bebas dari Pasar Malam

Bebas dari Pasar Malam

Wicaksono Adi  ;   Penulis Budaya
                                                      JAWA POS, 17 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI ini segala hal berseliweran di depan mata: benda-benda, informasi, pemikiran, ide-ide, ideologi, narkoba, teror, iklan bedak kecantikan, infotainment, sirkus politik, sepak bola, mutilasi, heboh daging sapi, ISIS, dan sebagainya, dan sebagainya.

Segalanya datang dan pergi begitu cepat. Sesuatu yang hari ini ngetren sudah usang tertimbun hal-hal lain esok. Tapi, segala yang sudah usang itu esok akan diformat ulang dan diperbarui, bukan untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, tapi hanya berganti bungkus guna membangkitkan selera sehingga orang tertarik untuk mengunyahnya terus.

Hari ini orang juga kian sibuk dengan gawai, internet, media sosial, dan dunia maya yang nyaris tanpa batas itu. Di situ segalanya dapat diekspos, disebarluaskan, dikunyah tanpa henti. Orang menulis, mengunggah foto, berbincang, dan berkomunikasi bukan untuk mendapatkan pamahaman yang lebih mendalam atas sesuatu, tapi justru sebaliknya, untuk menghapus dan melupakannya. Akibatnya, ingatan atau memori pun menjadi kian pendek.
Aksi kunyah untuk melupakan itu ternyata menimbulkan kenikmatan tertentu. Keasyikan pada segala yang artifisial dan sementara itu menjalar ke mana-mana sehingga melahirkan keengganan pada kedalaman. Yang penting enjoy dan ”asyik-asyik aja”.

Hari ini sebagian besar masyarakat kita sedang mengubah diri menjadi masyarakat konsumer yang ”asyikasyik aja” itu. Masyarakat yang siap menelan apa saja. Ambil contoh di bidang seni hiburan, 20 tahun silam para promotor seni pertunjukan, khususnya musik pop Indonesia, harus ekstrakeras meyakinkan bintang-bintang besar dunia agar mau naik panggung di Jakarta.

Para ikon besar seni musik pop dan pertunjukan dunia biasanya menetapkan agenda pentas ke Singapura, dan jika untung, akan singgah ke Indonesia. Tapi, kini keadaannya terbalik, para bintang besar atau grup top dunia terpaksa antre untuk manggung di negeri ini.

Indonesia telah menjadi barometer utama pasar panggung seni pertunjukan di Asia Tenggara, bahkan Asia. Kita saksikan histeria K-pop plus Gangnam Style yang menjalar tanpa ampun, terutama di kota-kota besar Indonesia.
Pada saat yang sama, setiap hari muncul mal dan pusat perbelanjaan. Jakarta, misalnya, adalah sebuah kota konsumer top dunia, dengan 300-an pusat perbelanjaan, mengalahkan New York atau London.

Segalanya tumplek bleg di situ. Kehidupan di situ mirip bazar yang riuh oleh kenikmatan. Dan sebagaimana lazimnya kehidupan bazar, ia akan gampang menguap tanpa jejak, tak menghasilkan apa-apa selain timbunan konsumsi belaka.

Lalu, dalam politik, bazar itu begitu bising sehingga membuat orang lupa pada segala hakikat demokrasi. Ratusan, bahkan ribuan pilkada, yang telah dilakukan selama ini cenderung menjadi pesta bazar atau keriuhan pasar malam yang segera usai menjelang pagi. Dan esoknya, yang terisa adalah serakan sampah di mana-mana. Segalanya datang serbacepat dan akan berlalu dengan cepat pula. Segala masalah yang muncul terpaksa dicarikan penyelesaian yang instan dan tambal sulam pula.

Segalanya kini tampak seperti fragmen-fragmen, serpihan dan timbunan peristiwa. Segalanya jadi terpecah-pecah oleh keriuhan bazar itu. Dan, rupanya keriuhan itu klop dengan keruwetan di jalan raya dan karut-marut birokrasi serta tata kelola pemerintahan. Lalu, di tingkat sosial telah berlangsung segregasi, fragmentasi, keterpecahan, dan pertentangan yang kian meluas. Di antara berbagai kelompok sosial, politik, budaya, agama, suku, semakin rawan terjadi konflik yang kadang berujung pada kekerasan.

Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi fragmentasi sosial yang sedemikian mengkhawatirkan. Dan, sejauh ini politik gagal mencairkan kemacetan komunikasi sosial itu. Bahkan justru cenderung memperburuk situasi hingga meledak menjadi konflik horizontal. Akibatnya, afinitas atau rekatan sosial pun kian rapuh.

Jika situasinya demikian, lalu bagaimana memaknai kemerdekaan? Tak perlu muluk-muluk. Kemerdekaan hari ini berarti sebuah upaya untuk membebaskan diri dari gerusan kenikmatan segala yang instan dan serba permukaan itu. Suatu upaya untuk menemukan kembali kedalaman dengan membebaskan diri dari pusaran gejala fragmentasi sehingga dapat membangun kembali rekatan sosial yang nyaris hancur sekaligus menentukan orientasi bersama dalam jangka panjang sebagaimana telah ditetapkan para pendiri bangsa ini. Jika tidak, perayaan kemerdekaan akan tenggelam sebagai bagian dari perayaan pasar malam yang instan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar