Jumat, 28 Agustus 2015

Berlomba Merawat Indonesia

Berlomba Merawat Indonesia

Jazuli Juwaini  ;   Ketua Fraksi PKS DPR RI
                                                  KORAN SINDO, 27 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa sikap terbaik kita dalam memaknai 70 tahun kemerdekaan Indonesia? Jika pertanyaan itu ditanyakan kepada anak bangsa yang mencintai negeri ini, tentu saja jawabnya adalah syukur.

Tidak ada negara sebesar Indonesia dalam kebinekaan (suku, budaya, adat, agama, bahasa, dan sebagainya). Tidak ada satu pun negara yang dapat menandingi kompleksitas kemajemukan Indonesia. Ajaibnya, negeri yang demikian majemuk (plural) ini memilih untuk bersatu dalam sebuah nation bernama Indonesia, padahal ada seribu satu alasan untuk kita tidak bersatu dan bercerai berai.

Untuk menyatukan potensi kebangsaan yang demikian besar, pastilah negeri ini memiliki konsepsi kebangsaan yang besar, konsepsi yang hanya bisa lahir dari tokoh-tokoh besar dengan kapasitas jiwa yang besar. Apa makna legacy itu bagi kita saat ini? Sebagai bangsa kita harus senantiasa berpikir dan berjiwa besar, selalu optimistis dan bergerak maju, bukan manusia yang pesimistis, kerdil, dan minder.

Meski demikian, kita tidak menutup mata bahwa bangsa besar ini hari-hari ini sedang didera banyak masalah di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-lain. Sayangnya, bangsa ini belum menampakkan kapasitas potensialnya untuk menyelesaikan masalah dengan konsepsi besar yang kita miliki tersebut.

Menyambut Ajakan Panglima TNI

Secara sengaja Fraksi PKS mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam Seminar Kebangsaan Fraksi PKS DPR dengan tema ”Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia,” Rabu (26/8) di Kompleks DPR RI Senayan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya kepada kami di PKS.

Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki bangsa ini untuk menyelesaikannya. Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai sebuah bangsa yang santun dan gotong- royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan.

Bahkan di antara lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—kehilangan kepercayaan (trust ) merujuk konflik antara KPK vs Polri, Pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat. Panglima juga mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila yang sebenarnya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa apa pun agamanya bangsa ini adalah bangsa ber-Tuhan dengan Tuhannya masing- masing. Pun sila ini lahir dari konsensus dan kebesaran jiwa tokoh umat Islam yang mayoritas, yang mengalah untuk melepas kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemuluknya,” demi menghayati bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk.

Panglima juga memberi penekanan bahwa sila-sila Pancasila merupakan jalinan yang harus diamalkan sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (kesejahteraan). Beliau memberikan penekanan pada sila keempat, di mana demokrasi kita dibangun di atas aras musyawarah.

Sayang sekali, tradisi permusyawaratan (musyawarah) itu kini mulai kikis—untuk tidak mengatakan hilang—termasuk di lembaga perwakilan (DPR). Penulis berbesar hati memberikan apresiasi yang tinggi kepada Panglima TNI yang mampu memotret permasalahan kebangsaan ini secara tepat dan memberikan solusi yang juga tepat.

Dan, gayung pun bersambut, PKS memiliki cara pandang yang sama tentang kebangsaan Indonesia. Apa yang hilang dari bangsa ini adalah karakter Indonesia yang sejatinya termanifestasi secara baik dalam falsafah negara: Pancasila serta konstitusi: UUD 1945. Bersama semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan konsepsi NKRI sebagai platform kebangsaan ia teruji mampu menopang kebesaran Indonesia hingga hari ini.

Kita lupa (atau sengaja melupakan) bahwa kunci penyelesaian masalah kita ada pada konsepsi besar yang diwariskan oleh pendiri bangsa ini, yang pada intinya itulah cermin karakter dan kepribadian kita. Maka itu, dalam rangka Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia ini, penulis mengajak kita semua untuk merevitalisasi kebanggaan, pemahaman, dan praktik kita atas platform kebangsaan kita agar terwujud Indonesia yang berkarakter, bermartabat, adil, dan sejahtera.

Indonesia berkarakter dan bermartabat adalah Indonesia yang punya jati diri atau kepribadian khas sebagai bangsa dalam berbagai bidang: ideologi, sosial budaya, ekonomi, politik, dan hankam. Kita kembalikan karakter asal kita sebagai bangsa yang religius, beradab, jujur, sopan santun, bertanggung jawab, penuh hikmat/ kebijaksanaan, kekeluargaan, gotong-royong.

Kita kembalikan karakter bangsa yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, berkarakter dalam sosial budaya, bukan bangsa yang membebek/mengekor bangsa lain, atau dalam bangsa yang pasrah dalam pengaruh kultur bangsa lain yang menghegemoni, sebagaimana pernah disitir oleh Bung Karno dulu. Sementara Indonesia adil sejahtera adalah manifestasi tujuan kita bernegara sebagaimana termaktub dalam konstitusi.

Berlomba

Hari ini, jujur harus kita akui, betapa pun sebagai bangsa kita merayakan 70 tahun kemerdekaan, tapi realitasnya kita masih terkapling-kapling dan terkotak- kotak dalam kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai, dan seterusnya. Kadangkala kita terlalu bersemangat mengedepankan ego sehingga lupa bahwa kita berjuang untuk Indonesia yang sama.

Sebagai bangsa yang mewarisi konsepsi kebangsaan yang demikian hebat sudah seharusnya kita kembali menapaki apa yang seharusnya untuk bangsa ini, dan jika ada seruan yang mewakili itu semua, ialah : mari kita berlomba merawat Indonesia. Tentu seruan itu haruslah berangkat dari kecintaan kita kepada negeri ini, berangkat dari ketulusan hati untuk mengabdikan diri pada Indonesia yang kita cinta.

Tanpa motif itu, ia akan kehilangan makna dan elan vital - nya. Ketika kita berangkat dari cara pandang yang sama, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mengklaim republik ini, mengklaim kelompoknya paling berjasa, mengklaim partainya paling nasionalis, sambil memandang rendah dan sebelah mata pihak/ kelompok lainnya. Dengan semangat yang sama, tentu tidak akan ada saling tuduh, saling tuding, dan saling menyalahkan di antara anak bangsa.

Sebaliknya, yang muncul adalah saling memuji, saling mendukung, dan saling menguatkan satu sama lain. Tentu bukan berarti tidak kritik sama sekali, tapi kritik disampaikan secara santun dan beradab.

Penulis merasakan inilah yang selama ini hilang dari bangsa kita, terutama setelah keran kebebasan (demokrasi) terbuka lebar pascareformasi. Pilihan di tangan kita, akankah kita bisa menjadi bangsa yang berkarakter dan bermartabat untuk Indonesia adil dan sejahtera? Jawabnya: harus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar