Kamis, 27 Agustus 2015

Dana Pensiun China dan Krisis Ekonomi

Dana Pensiun China dan Krisis Ekonomi

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                  KORAN SINDO, 26 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekuatan militer sebuah negara adalah salah satu bentuk daya gentar untuk menghadapi kekuatan militer lainnya. Dalam keadaan perang, ungkapan sinyal kekuatan militer dapat membuat ciut nyali negara lain apabila mereka ingin melakukan pre-emptive strike.

Namun, dalam keadaan damai, apakah kekuatan militer memiliki daya gentar? Jawabannya mungkin tidak karena dalam damai maka negosiasi politik dan kekuatan ekonomi menjadi andalan untuk menggentarkan negara lain.

Minggu ini kita saksikan bahwa kekuatan militer menjadi tidak relevan karena krisis ekonomi yang mengguncang banyak negara. Mata uang negara-negara emerging-market dan pasar saham dunia yang rontok pada minggu ini adalah sinyal resmi krisis ekonomi.

Ini merupakan bagian dari pergerakan menuju keseimbangan baru dalam sistem pasar kapitalisme saat ini. Dalam proses mencari keseimbangan inilah, amunisi-amunisi ekonomi yang telah disimpan rapi dikeluarkan untuk tetap menjaga posisi dominan dalam pasar.

Salah satu yang mengejutkan banyak pihak adalah serangkaian kebijakan Pemerintah China dalam melakukan devaluasi. Di saat kita berdoa mata uang rupiah tidak akan terus melemah, China justru sengaja melakukan pelemahan mata uangnya. Alasan mereka melakukan itu sudah tepat karena China mengutamakan agar produk-produknya tetap kompetitif di pasar dunia.

Kita juga tidak salah berdoa agar rupiah tidak melemah karena produk ekspor kita sebagai besar komponen impornya masih besar. Faisal Basri mencatat bahwa kandungan bahan baku/penolong impornya masih 75,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih membutuhkan rupiah yang kuat agar ekspor bisa terus lanjut.

Namun hal yang membedakan kita dan China adalah likuiditas atau cadangan uang mereka yang banyak. Beberapa hari yang lalu Pemerintah China telah mengizinkan 30% dana pensiun mereka untuk digunakan membeli saham-saham perusahaan yang menurun dengan tajam pada minggu ini. Kebijakan tersebut adalah yang pertama kali dilakukan oleh Pemerintah China karena sebelumnya uang dana pensiun hanya dapat digunakan untuk membeli surat utang negara (treasury) dan deposito.

Pilihan untuk membelanjakan dana pensiun di pasar saham dan produk-produk turunannya (derivative) adalah keputusan yang logis. Karena jika menempatkannya pada deposito atau surat utang negara tidak bisa memberikan return yang tinggi dengan alasan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Selain memberikan kepercayaan kepada pelaku pasar bahwa saham-saham perusahaan China masih memiliki nilai, investasi untuk membeli saham yang sedang turun saat ini dianggap tepat karena harganya sudah kompetitif.

Yang patut dipilah di sini adalah bahwa hal yang dilakukan China pada dana pensiunnya adalah hal umum yang juga dilakukan negara-negara yang menggantungkan hidup dari ekonomi pasar kapitalisme. China mengupayakan mandiri dari kekuatan asing dengan cara memobilisasi dana segar dari masyarakat, khususnya dari mereka yang tinggal di perkotaan. Namun di sisi lain, kita tidak boleh lupa bahwa sistem pengelolaan jaminan sosial di China masih kental bergantung pada arahan dari sistem politik yang sentralistis dan monolitis.

Lebih jelasnya demikian. China, merujuk pada kantor berita Xinhua, memiliki dana pensiun sebesar USD548 miliar. Jumlah itu puluhan kali lipat dari dana pensiun yang dikumpulkan BPJS Ketenagakerjaan yang besarnya kira-kira Rp203 triliun atau sekitar USD145 juta ditambah yang dikelola swasta sebesar Rp185 triliun.

Besarnya dana tersebut tidak lepas dari transisi dari Sistem Jaminan Sosial Sosialis (1930-1950) menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terintegrasi dengan pasar (1950-sekarang). Aiqun Hu (2014) mencatat bahwa perbedaan terbesar dari Sistem Jaminan Sosial Sosialis dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terkait dengan pasar adalah diperkenalkannya pilar ”rekening individu” (individual account) di mana tiap orang (khususnya di perkotaan) yang terdaftar sebagai peserta Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuatkan rekening-rekening terpisah untuk persiapan pensiun mereka.

Dana pensiun itu ”diisi” dengan iuran pekerja dan pemberi kerja sesuai dengan lama kerja dan persentase upah yang mereka lakukan selama bekerja. Dana yang terkumpul kemudian dapat diuangkan setelah mereka masuk usia pensiun. Model ini lazim disebut sebagai system provident fund; mirip sekali pengelolaannya dengan dana Jamsostek dahulu.

Kemiripannya dengan sistem Jamsostek terdahulu adalah karena pengelola dana pensiun adalah BUMN dan program itu sifatnya sukarela, terutama bagi pekerja di perdesaan. Untuk masyarakat perdesaan ada skema terpisah. Demikian pula untuk para pekerja di perusahaan-perusahaan besar, mereka tidak tergantung pada skema pensiun yang dikelola oleh pemerintah tersebut.
Lain provinsi, lain pula sistem jaminan sosial yang diterapkan di lapangan. Kebetulan saja jumlah penduduk di China cukup besar sehingga dana yang terkumpul pun cukup besar. Karena pengelolanya adalah BUMN, pemerintah ”berhak meminjam” dana untuk mendongkrak kinerja pemerintah.

Dalam Sistem Jaminan Sosial Sosialis model Uni-Soviet, warga negara tidak memiliki rekening pribadi karena memang seluruh fasilitas diberikan oleh negara. Uang untuk pensiun sepenuhnya diambil dari kas negara. Karena dalam sistem sosialis semua warga adalah pekerja dan tidak ada majikan sehingga tidak dikenal iuran yang harus dibayar oleh perusahaan atau pengusaha.
Model ini yang diadopsi negara-negara Eropa Timur pada masa itu.

Bedanya China dengan negara-negara sosialis lain adalah karena Negeri Tirai Bambu ini mengakui adanya tanggung jawab majikan (bahkan ketika yang disebut majikan adalah BUMN) dalam menyediakan jaminan sosial bagi pekerjanya. Saat Deng Xiao Ping memperkenalkan dualisme ekonomi di beberapa provinsi, dana pensiun juga dilimpahkan tanggung jawabnya kepada perusahaan. Pada hakikatnya sistem yang baru mensyaratkan ada kontrol atas dana pensiun oleh serikat buruh, tetapi karena serikat buruh di China adalah bagian dari rezim yang ada, kehendak pemerintahlah yang terjadi.

Yang menarik bagi kita adalah bahwa besaran dana pensiun ini cukup untuk menggentarkan negara-negara lain apabila mereka mencoba berspekulasi dan masuk terlibat dalam perang mata uang. China punya keuntungan politik karena tidak perlu khawatir akan protes rakyatnya bila dana pensiunnya digunakan untuk menalangi saham perusahaan-perusahaan yang terancam bangkrut akibat krisis ekonomi.

Di sinilah kita di Indonesia perlu jeli. Kebijakan di China menunjukkan bahwa daya gentar suatu negara perlu juga didukung kemampuan negara mengerahkan sumber-sumber dana segar dari dalam negeri. Kini kita tahu apa saja amunisi yang dipakai oleh China untuk memenangkan persaingan dalam kompetisi global.

Kita patut bersyukur bahwa sistem jaminan sosial di Indonesia sudah meninggalkan model yang diterapkan di China. Artinya para pengiur relatif lebih tenang dan tidak perlu khawatir bahwa dana pensiun akan dipergunakan secara sepihak oleh pemerintah untuk agenda-agenda politik tertentu. ”Pagar-pagarnya” sudah disepakati dalam Undang-Undang (UU) No 40/2004 dan UU No 24/2011.

Namun kita juga perlu peka pada kenyataan bahwa daya gentar dan kekuatan ekonomi suatu negara ditunjukkan juga oleh kemampuan negaranya dalam mengembangkan cadangan dana segar.

Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang, itulah pentingnya kita membiasakan diri untuk menyisihkan penghasilan bulanan untuk dana jaminan sosial. Kita bisa belajar dari Jepang yang berhasil keluar dari krisis ekonomi pasca Perang Dunia II dengan menggenjot pengumpulan dana jaminan sosial (termasuk pensiun) untuk menambah likuiditas ekonominya. Pada akhirnya ”kekuatan” negara adalah refleksi dari ”kekuatan” warganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar