Sabtu, 29 Agustus 2015

Dicari: Pendidikan Keagamaan Bervisi Kebangsaan

Dicari: Pendidikan Keagamaan Bervisi Kebangsaan

Hasibullah Satrawi  ;  Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Jakarta
                                                      JAWA POS, 25 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI era media sosial seperti sekarang, ada satu hal yang sejatinya menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Yaitu, persoalan radikalisasi ruang publik yang tampak semakin liar, bahkan dianggap sebagai hal yang wajar.

Secara wilayah sebaran, radikalisasi yang ada semakin luas merambah setiap individu yang mempunyai peralatan komunikasi yang memadai (bisa mengakses pelbagai macam media sosial), termasuk kalangan anak-anak muda yang masih membutuhkan bimbingan intensif terkait hal-hal yang diketahuinya. Khususnya hal-hal yang diketahui melalui media sosial.

Tidak lama ini, contohnya, istilah Islam Nusantara yang dijadikan sebagai tema Muktamar Ke-33 NU dipersoalkan oleh sebagian pihak. Khususnya kelompok-kelompok yang selama ini dikenal bersikap anti-NKRI dan hendak mengubah NKRI menjadi negara agama.

Melalui kebebasan informasi yang ada (khususnya melalui media sosial), kelompok-kelompok antiNKRI melakukan simplifikasi, bahkan manipulasi terhadap terma Islam Nusantara. Hingga sebagian pihak menyamakan Islam Nusantara dengan Islam Liberal, sebagian yang lain menyamakannya dengan Syiah dan lain sebagainya.

Padahal, Islam dengan ciri khas yang berkembang di Nusantara (disingkat menjadi Islam Nusantara) merupakan salah satu elemen yang membuat Indonesia menjadi negeri majemuk dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan. Termasuk kebebasan yang digunakan kelompok antiNKRI untuk menghujat bangsa ini dan Islam Nusantara.

Seandainya Islam yang berkembang di Nusantara tidak dengan corak kelenturan, keterbukaan, dan kemajemukan, mungkin NKRI tak pernah ada. Dan, kalaupun ada, sangat mungkin menjadi negeri yang dilanda konflik bersenjata dan saling membunuh antara warga dan warga atau antara rakyat dan pemerintah, seperti saat ini jamak terjadi di negara-negara Timur Tengah.

Dalam hemat penulis, maraknya radikalisasi di ruang publik mutakhir (sebagaimana di atas) menunjukkan adanya persoalan yang sangat serius terkait dengan pendidikan keagamaan yang minus kebangsaan.

Pelbagai macam lembaga pendidikan yang ada, mulai tingkatan paling bawah hingga paling atas, sangat minim menyajikan pendidikan keagamaan yang bervisi kebangsaan.

Yang sangat banyak ditemukan adalah pendidikan keagamaan semata-mata dan pendidikan umum semata-mata. Akibatnya adalah tak sedikit orang yang tumbuh dengan berpedoman semata-mata pada hal-hal keagamaan secara ketat. Sedangkan sebagian lainnya justru tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat keagamaan.

Sementara itu, di ruang-ruang publik yang lebih luas di luar sekolah, kampanye radikalisasi yang sarat dengan kebencian terus digalakkan banyak pihak, baik melalui media sosial maupun mimbar-mimbar keagamaan. Bahkan, hal-hal yang dalam kurun waktu sebelumnya tidak dipersoalkan belakangan sengaja dipermasalahkan oleh mereka. Misalnya, perdebatan tentang Islam Nusantara (sebagaimana dijelaskan di atas) atau penggunaan waktu imsak bagi yang berpuasa (sebagaimana sempat ramai di sebagian pihak pada bulan puasa lalu).

Di negeri majemuk seperti Indonesia, keagamaan dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus disatukan laiknya bapak dan ibu. Hingga terlahir anakanak yang berbakti kepada ’’kedua orang tuanya’’.

Oleh karena itu, semangat pendidikan keagamaan bervisi kebangsaan sejatinya hadir dalam sistem pendidikan nasional, mulai tingkatan paling dini hingga tingkatan paling tinggi.

Dalam konteks mata pelajaran, contohnya, materi tentang keagamaan masih bersifat ’’sisipan’’ di lembaga-lembaga pendidikan umum. Materi keagamaan yang disampaikan pun sebatas ’’ritualitas’’. Pun demikian sebaliknya. Materi tentang kebangsaan masih bersifat ’’sisipan’’ di lembaga-lembaga pendidikan agama. Materi kebangsaan yang disampaikan pun sebatas ’’formalitas’’.

Oleh karena itu, sangat dipahami bila sistem pendidikan yang ada acap tidak berdaya menghadapi pelbagai macam gempuran yang dilakukan pelbagai macam kelompok radikal yang menghendaki NKRI diganti menjadi negara agama. Bahkan, menurut sejumlah ahli, tak sedikit di antara anak-anak muda saat ini yang bergabung dengan kelompok radikal. Setidak-tidaknya menjadi simpatisan mereka.

Di sinilah letak strategis kekuatan ekstrakurikuler. Kegiatan ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk menambal sulam kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Sebab, terlalu berharga waktu yang harus dibuang bila menunggu segala sesuatunya ’’menjadi sempurna’’.
Dalam beberapa tahun terakhir, penulis dilibatkan Kementerian Agama (Kemenag) untuk menjadi juri dalam lomba debat nasional untuk mata pelajaran agama Islam di tingkat sekolah menengah atas. Kegiatan terakhir dilaksanakan pada pertengahan Agustus kemarin (11–14).

Sebagian peserta terlihat masih sangat gagap untuk menyenyawakan antara kesadaran keagamaan dan visi kebangsaan. Sebagian peserta yang lain tampak lebih piawai dalam menyatupadukan antara keduanya.

Menurut hemat penulis, kegiatan seperti ini sangat efektif untuk memperkuat pendidikan keagamaan bervisi kebangsaan di kalangan para siswa. Hingga mereka mempunyai kecakapan argumentatif dalam menghadapi pelbagai macam ideologi anti-NKRI yang ada di sekitarnya.

Penguatan seperti ini sangatlah penting bagi para pemuda ke depan, khususnya di tengah menguatnya tensi radikalisasi dengan jangkauan yang lebih luas (sebagaimana telah disampaikan di atas). Hingga para pemuda bisa tetap berkembang dalam semangat keagamaan yang bervisi kebangsaan.

Hal yang harus dipahami bersama adalah bahwa kelompok-kelompok anti-NKRI senantiasa menggunakan momentum dan peluang sekecil apa pun untuk mewujudkan impiannya, termasuk kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler. Bila tidak ada pencegahan dini yang bersifat masif, bukan tidak mungkin kelompok anti-NKRI akan terus menguasai anak bangsa ini satu per satu. Nauzubillah, semoga ini tidak sampai dan tidak boleh terjadi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar