Rabu, 26 Agustus 2015

Kekeringan Mengancam Petani

Kekeringan Mengancam Petani

Bagong Suyanto  ;   Dosen Program Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga
                                                      JAWA POS, 14 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 2015 ini, ancaman kekeringan yang melanda Indonesia diprediksi terjadi lebih panjang dan lebih parah daripada tahun lalu. Berdasar perkiraan BMKG, "hari tanpa hujan" yang berlangsung sejak Juni akan terus terjadi hingga November. Sehingga potensi terjadinya ancaman puso akan makin besar.

Di berbagai daerah, perubahan iklim yang ekstrem tidak hanya memicu terjadinya bencana kekeringan yang berkepanjangan, tetapi juga memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pada September hingga Oktober, sekitar 2 juta hektare sawah yang masuk musim panen bulan depan diperkirakan terancam kekurangan suplai air. Ancaman kekeringan yang berkepanjangan ini, jika tidak segera diantisipasi risiko atau dampak yang ditimbulkannya, bukan tidak mungkin akan mengganggu kelangsungan hidup masyarakat dan petani pada khususnya.

Akibat yang Terjadi

Pengalaman dalam lima tahun terakhir telah banyak mengajarkan, ketika perubahan iklim tidak diantisipasi, yang terjadi kemudian adalah hasil panen menurun, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebagian tanaman mungkin akan hancur sehingga semakin sulit menghasilkan tanaman pangan yang baik. Di sisi lain, tingkat kesuburan sebagian tanah juga akan berkurang sehingga tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian.

Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), selama abad ke-20, Indonesia mengalami peningkatan suhu rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat Celsius. Jika dibandingkan dengan periode 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di Indonesia diproyeksikan meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celsius antara 2020 hingga 2050. Perubahan suhu yang makin meningkat itu sudah barang tentu adalah dampak perubahan iklim yang terjadi di bumi.

Dewasa ini, salah satu akibat yang dirasakan masyarakat gara-gara perubahan iklim adalah harga pangan yang meningkat. Sebab, jumlah hasil tanaman pangan, mulai jagung hingga gandum, beras hingga kapas, diprediksi menurun hingga 30 persen. Di sejumlah daerah, hukum yang berlaku tentu adalah hukum ekonomi, yakni makin sedikit jumlah bahan yang tersedia, ketika permintaan menolak atau tetap, harga pun kemudian terkatrol naik.

Hasil studi terbaru yang dilakukan LPPM Universitas Airlangga (2015) terhadap 500 petani di sejumlah daerah di Provinsi Jawa Timur menemukan, akibat-akibat yang paling dirasakan masyarakat petani karena terjadinya kekeringan yang berkepanjangan adalah sebagai berikut. Pertama, hasil panen petani berkurang drastis (91,6 persen) akibat tiadanya dukungan saluran irigasi dan hujan yang cukup.

Di berbagai daerah, air makin sulit didapat karena embung-embung tidak terisi air dan hujan tak juga turun. Di daerah sentra pertanian, sering kali ditemui output sektor pertanian turun seiring dengan adanya dampak perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim yang ekstrem tak jarang mengakibatkan panenan menjadi terganggu dan banyak petani kesulitan untuk dapat bercocok tanam dengan baik.

Kedua, kualitas hasil panen juga menurun (82,2 persen) karena selama masa perawatan hingga musim panen sawah-sawah petani tidak lagi memperoleh pasokan air yang memadai. Selain jumlah hasil panen, kualitas panenan juga menurun, yang ujung-ujungnya mengakibatkan harga jual komoditas pertanian yang dihasilkan ikut turun.

Ketiga, terjadi kenaikan biaya produksi (80 persen) karena petani mau tidak mau menambah pasokan pupuk dan mengeluarkan sejumlah dana untuk dapat memperoleh air melalui penggunaan pompa maupun membeli air dari petani lainnya. Petani yang lokasi sawahnya jauh dari saluran irigasi niscaya mengeluarkan dana yang lebih besar jika tidak ingin sawahnya kekeringan.

Mengantisipasi

Di berbagai daerah, masyarakat umumnya telah mengembangkan langkah-
langkah adaptasi inovatif untuk menghadapi perubahan iklim. Di bidang pertanian, upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim bisa dilakukan dengan melakukan restorasi sektor pertanian dan mengembangkan sektor pertanian yang ramah lingkungan, yang memanfaatkan bahan alami, menghindari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, atau mencoba menerapkan pertanian organik.

Untuk mendukung perkembangan pertanian yang berkelanjutan, selain dengan cara pembuatan sumur resapan di permukiman, hutan, dan daerah di sekitar lahan pertanian, yang tak kalah penting adalah bagaimana menjaga pasokan sumber mata air agar tetap lestari. Sejumlah langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendorong efisiensi pemanfaatan air tanah, mencegah pencemaran air di wilayah hulu maupun hilir, melakukan konservasi daerah tangkapan air untuk mendukung penyimpanan dan isi ulang air, perlindungan mata air, serta mendorong munculnya penganekaragaman sumber daya air.

Mengantisipasi ancaman dan dampak kekeringan yang berkepanjangan harus diakui bukan hal yang mudah. Selain rekayasa dan upaya teknis-planologis, upaya yang tak kalah penting adalah bagaimana membangun kemampuan petani agar lebih kenyal dan makin mampu beradaptasi menyikapi ancaman perubahan iklim ekstrem. Tanpa didukung kemampuan petani yang makin tangguh menyiasati perubahan iklim dan musim kering yang berkepanjangan, niscaya ancaman krisis pangan hanya soal waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar