Jumat, 28 Agustus 2015

Ketika Relawan Menjadi Dubes RI

Ketika Relawan Menjadi Dubes RI

Djoko Susilo  ;   Mantan Dubes RI untuk Swiss
                                                      JAWA POS, 19 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEMENTERIAN Luar Negeri RI mendapat kado istimewa pada hari ulang tahun ke-70 yang jatuh hari ini (Rabu, 19 Agustus). Kado istimewa itu berupa daftar nama 33 calon duta besar (Dubes) RI yang sepertiganya (11 orang) merupakan mantan anggota tim relawan Jokowi-JK dalam pilpres tahun lalu.

Daftar nama tersebut sudah lama menjadi gunjingan atau rasan-rasan di kalangan korps diplomatik RI. Sebab, baru kali ini ’’campur tangan’’ presiden terhadap korps diplomat profesional terjadi terlalu jauh dan dalam jumlah yang signifikan, yakni dengan mengajukan calon Dubes nonkarir sampai hampir 33 persen dari pos yang akan diisi.

Memang, tidak ada aturan tertulis yang dilanggar dalam penunjukan calon duta besar dari kalangan relawan politik presiden pemenang pemilu tersebut. Hanya, para diplomat menggunjingkan hal itu karena beberapa alasan.

Pertama, sejak masa Presiden Soeharto sampai terakhir masa kepresidenan SBY, terdapat kesepahaman antara Komisi I DPR dan Kemenlu bahwa jumlah Dubes nonkarir dalam setiap angkatan hanya 10–15 persen. Hal itu dilakukan untuk menjaga tidak terganggunya perencanaan karir korps diplomatik RI yang harus berjuang puluhan tahun guna mencapai jabatan Dubes yang merupakan puncak karir seorang diplomat.

Kedua, pengangkatan duta besar dari kalangan nonkarir bukan sekadar balas jasa politik, tetapi juga mempertimbangkan pengalaman yang bersangkutan.
Namun, kali ini, Presiden Jokowi dinilai telah kebablasan dalam memaksakan kehendaknya. Memang benar bahwa seorang duta besar adalah wakil pribadi seorang kepala negara sekaligus mewakili pemerintah negaranya. Penunjukan seseorang untuk menjadi duta besar adalah hak prerogatif presiden, sama dengan pengangkatan seseorang menjadi menteri atau anggota kabinet. Jadi, presiden memang mempunyai kuasa mutlak. Namun, kuasa mutlak presiden tentu harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Misalnya, kualitas calon, pengalaman profesional, dan beberapa aspek non politis lainnya.

Penunjukan para calon duta besar tahun ini merupakan yang pertama dilakukan Jokowi. Beberapa waktu lalu, dia melantik sejumlah duta besar RI. Namun, proses seleksi dan pengangkatannya masih di bawah Presiden SBY. Hampir tidak ada masalah yang berarti, kecuali hanya duta besar RI Totok Riyanto yang mengalami penundaan ketika akan menyerahkan surat kepercayaan kepada presiden Brasil lantaran eksekusi gembong narkoba asal negara itu. SBY selama ini menyerahkan proses seleksi sepenuhnya di Kemenlu dengan sedikit pengecualian. Karena itu, hampir tidak pernah timbul keresahan atau gejolak di kalangan para diplomat karir di Pejambon.

Seleksi kali ini menimbulkan sejumlah keresahan lantaran sedikitnya dua hal. Konon, semula Jokowi menghendaki separo calon duta besar berasal dari para relawan atau pendukungnya. Dia pun menghendaki mereka ditempatkan di pospos strategis seperti PBB di New York, Jenewa, atau negara-negara besar seperti Rusia, Belanda, dan London. Lebih rumit, beberapa kelompok relawan, kabarnya, mengirimkan nama-nama tokohnya untuk menjadi Dubes langsung ke Kemenlu tanpa koordinasi ke Sekretariat Negara sebagaimana lazimnya selama ini.

Menlu Retno Marsudi, sebagai diplomat karir, memproses dan menyeleksi calon Dubes melalui proses baku, yakni melalui lembaga ’’baperjakat’’ (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) Kemenlu. Tentu, daftarnya sesuai dengan persepsi kepentingan diplomasi RI. Daftar tersebut ditolak Jokowi karena jatah relawan kurang banyak. Akhirnya, setelah bolak-balik, dihasilkan 33 nama yang 11 di antaranya berasal dari para relawan.

Memang, di antara sejumlah nama relawan yang diajukan Jokowi, ada yang tepat dan sangat layak menduduki pos yang diusulkan. Misalnya, Dr Rizal Sukma yang saat ini menjabat direktur eksekutif CSIS dan ketua Biro Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Rizal diajukan untuk menjadi calon duta besar untuk UK merangkap Republik Irlandia.

Namun, beberapa nama lainnya kurang memenuhi kriteria minimal sebagai calon duta besar. Pengalamannya hanya aktif dalam sebuah ormas dan kemudian menjadi relawan Jokowi.

Tentu, hal yang demikian menjadi keprihatinan sebagian kalangan korps diplomatik. Sebab, duta besar adalah wakil negara dan bangsa. Kalaupun dia tidak berasal dari diplomat karir, diharapkan calon yang bersangkutan menunjukkan kapasitas sebagai calon diplomat dan memiliki pengetahuan dasar diplomasi yang mumpuni.

Banyaknya relawan Jokowi sebagai calon Dubes nonkarir jelas meresahkan kalangan diplomat karir. Gelombang pertama yang ’’hanya’’ 30 persen kabarnya akan disusul badai yang lebih dahsyat.

Sebenarnya, kalangan korps diplomat karir bisa menerima penunjukan Dubes nonkarir sebagai hak prerogratif presiden. Tetapi, hak tersebut semestinya tidak digunakan secara semena-mena. Pertama, calon yang diangkat mesti menunjukkan kualitas minimal calon diplomat. Kecakapan bahasa asing, khususnya Inggris, harus paripurna.

Kedua, calon memiliki pengalaman profesional di bidangnya secara memadai. Ketiga, jumlah alokasi tidak sangat besar hingga mencapai sepertiga angkatan atau lebih.

Sudah seharusnya Presiden Jokowi memikirkan kepentingan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia secara komprehensif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar