Rabu, 26 Agustus 2015

Korupsi Beasiswa dan Sejarah Supersemar

Korupsi Beasiswa dan Sejarah Supersemar

Ismatillah Nu’ad  ;   Peneliti Madya
Institute for Social Research and Development, Jakarta
                                                      JAWA POS, 12 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MAHKAMAH Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto, ahli warisnya, dan Yayasan Beasiswa Supersemar. Kasus itu bermula ketika pemerintah menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan. Di antaranya, PT Bank Duta USD 420 juta, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar.

Dari kasus itu, Soeharto dan ahli warisnya serta Yayasan Supersemar harus membayar USD 315 juta dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Apabila USD 1 sama dengan Rp 13.500, uang yang harus dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar, atau semua Rp 4,389 triliun.

Yayasan Supersemar selama ini dikenal sebagai organisasi nirlaba yang didirikan pada 16 Mei 1974 oleh Soeharto. Tujuannya, membantu dunia pendidikan di Indonesia dengan bantuan pemberian beasiswa. Nama Supersemar atau kepanjangan dari Surat Perintah Sebelas Maret adalah salah satu peristiwa sejarah bangsa Indonesia bahwa presiden Republik Indonesia ketika itu, Soekarno, ’’diduga’’ mengeluarkan surat pada11 Maret 1966 yang memandatkan atau menginstruksi Soeharto selaku panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada 1966.

Surat Perintah Sebelas Maret itu versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah Supersemar yang dikeluarkan Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Dalam sejarah Indonesia, Supersemar erat berkaitan dengan kondisi politik Indonesia era gerakan terlarang yang dinamakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa Supersemar 1966, banyak korban bergelimpangan yang hingga kini masih ada dampak-dampak yang akhirnya membebani perjalanan bangsa ini.

Hal krusial dari rentetan sepanjang tragedi berdarah ’65–’66 yang berujung kepada pembantaian orang-orang komunis adalah soal penculikan dan pembunuhan para jenderal hingga Bung Karno jatuh dari kekuasaannya dan bangkitnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Perdebatan pakar sejarah seputar itu tidak lah tunggal. Yang menarik, misalnya, ’’perdebatan’’ antara sejarawan Asvi Warman Adam dan sosiolog Ariel Heryanto.

Mengkritisi tulisan Asvi Warman Adam berjudul New Findings on the 1965 Indonesian Tragedy Karno terjatuh dari kekuasaannya dan dilanjutkan pengangkatan presiden kedua Indonesia.

Kritisisme Ariel Heryanto terhadap Asvi Warman Adam dapat dimaklumi karena pandangan kritis dari para pengamat sejarah di Indonesia atau sejumlah Indonesianis (pandangan pengamat asing) memang umumnya menjadikan Soeharto sebagai objek dasar penggerak pertama dari rentetan kronis sejarah ’65–’66.

Pandangan reformistik yang menyeruak terutama setelah pascareformasi pada 1998, mengutuk Soeharto sebagai biang dari segala hal yang membuat republik ini terpuruk.

Dua kutub biner yang saling bertubrukan, yakni antara pandangan reformistik seperti diwakili Ariel Heryanto dan ’’non reformistik’’ sebagaimana ditunjukkan Asvi Warman Adam, sebetulnya menyimpulkan bahwa sejarah apa pun dari perjalanan bangsa ini tidak lah bersifat tunggal. Meski kita tidak mengetahui maksud lain dari pernyataan Asvi Warman Adam karena kita meyakini bahwa sebetulnya pandangannya juga reformistik untuk ukuran sekelasnya.

Selain Asvi Warman Adam yang dianggap ’’non reformistik’’, sebetulnya banyak karya mengenai sejarah ’65–’66 yang apologetik dan tentu bersifat non reformistik. Kecurigaan terhadap karya semacam itu di pasaran lalu disebut proyek yang ditulis pihak-pihak tertentu yang kurang kredibel.

Karya semacam itu tentu bukan sekadar non reformistik, namun juga merusak iklim akademis yang bersifat ilmiah. Kategori karya-karya non reformistik yang ditulis pihak-pihak tertentu berbeda dari karya ’’non reformistik’’ dari tulisan Asvi Warman Adam. Asvi menulis itu secara ilmiah, berdasar pembangunan teori-teori sejarah serta pemisahan antara kebencian vis-avis ilmu pengetahuan, untuk sampai pada kesimpulan bahwa Soeharto bukanlah satu-satunya aktor.

Mengapa disebut pemisahan antara kebencian vis-a-vis ilmu pengetahuan karena semenjak reformasi ’98, banyak release dan penulisan ulang sejarah ’65–’66 berdasar kebencian dan cenderung menafikan aspek pembangunan teori-teori sejarah. Pengaruh hal tersebut begitu luas diterima publik.

Teori Ben Anderson (Imagine Communities, 1983) menjadi berlaku bahwa pengaruh dari publikasi dan media cetak, seperti pada dekade sebelum kemerdekaan, membuat satu kesadaran utuh yang dikonsumsi publik. Yakni, kesadaran ’’pemberontakan’’ atas rezim yang membelenggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar