Kamis, 27 Agustus 2015

Menghadapi Perang Mata Uang

Menghadapi Perang Mata Uang

Andi Irawan  ;   Dosen Universitas Bengkulu
                                                 KORAN TEMPO, 26 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rupiah terus melemah sampai menembus angka 14.000 per dolar AS.  Pelemahan mata uang dalam negeri memang bukan fenomena spesifik di Indonesia. Ia fenomena di banyak negara, terlebih yang perekonomiannya sedang tumbuh (emerging market) seperti Indonesia.

Hanya, berbeda dengan penyebab pelemahan-pelemahan sebelumnya, penyebab kali ini dipahami banyak pihak sebagai dampak currency war (perang mata uang). Perang mata uang merujuk pada fenomena saat negara-negara berkompetisi satu sama lain untuk melemahkan nilai mata uang mereka. Tujuannya, ekspor negara yang mengalami depresiasi mata uang tersebut meningkat.

Tersebutlah Cina, negeri adidaya ekonomi dunia baru yang mempunyai mata uang yuan-yang terapresiasi hingga 33 persen dari 2005 sampai saat ini. Kondisi perekonomian saat ini dinilai tidak menguntungkan Cina karena membuat yuan semakin mahal dan barang-barang ekspor Cina tidak bisa bersaing. Akibatnya, ekspor Negeri Tirai Bambu pada Juli 2015 turun 8,3 persen.

Itulah akhirnya yang menyebabkan bank sentral Cina (PBOC) mendevaluasi yuan 1,9 persen pada pertengahan Agustus-devaluasi terendah dalam tiga tahun terakhir. Hanya, devaluasi tersebut terus menimbulkan pertanyaan. Devaluasi terjadi saat surplus perdagangan Cina meningkat. Seharusnya, dalam kondisi surplus itu, yang dilakukan Cina untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran adalah menaikkan kurs yuan terhadap dolar, bukan melemahkannya (devaluasi).

Devaluasi yuan akan mendorong AS segera merealisasi kebijakan pengetatan moneter yang telah diumumkan sebelumnya dalam rangka mendepresiasi nilai dolar untuk menjaga ekspor AS di dunia. Selama  sembilan bulan terakhir, kenaikan rata-rata dolar yang sebesar 25 persen telah menyeret ekonomi Negeri Abang Sam ke arah yang kurang menggembirakan. Apalagi, dengan devaluasi yuan, akan semakin tidak kompetitiflah produk AS di luar negeri.

Cina tentu saja tidak perlu khawatir jika AS mengambil kebijakan moneter ketat tersebut. Sebab hal itu akan menyebabkan mata uang negara-negara emerging market semakin terdepresiasi, yang akan memperbesar daya penetrasi produk Cina di dunia.

Bagi Indonesia, jika perang mata uang negara adidaya ekonomi dunia terus berlangsung, rupiah akan semakin melemah. Pelemahan rupiah secara teoretis seharusnya tidak mengkhawatirkan. Sebab harga-harga domestik menjadi lebih rendah dibanding harga internasional, yang akan memacu peningkatan ekspor.

Tapi, pada kenyataaannya, hal itu tidak terjadi karena tiga sebab. Pertama, komoditas ekspor didominasi komoditas primer (pertambangan dan pertanian) yang memang saat ini harga internasionalnya mengalami penurunan.

Kedua, negara-negara mitra dagang tempat menjual produk ekspor kita umumnya sedang mengalami pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan impor mereka terhadap produk kita menurun.

Ketiga, industri kita ternyata sangat tergantung pada impor dengan 76 persen bahan baku dan bahan penolong harus diimpor. Semakin lemah rupiah, semakin besar biaya produksi.

Mengandalkan otoritas moneter untuk menstabilkan rupiah agar tidak terus melemah adalah sulit. Operasi pasar berupa pembelian kembali obligasi pemerintah dan saham BUMN di bursa efek serta penyempitan ruang gerak spekulan dengan mewajibkan transaksi pembelian valuta asing minimal US$ 25 ribu disertai bukti pendukungnya diduga kuat tidak akan menjadi pelindung yang memadai terhadap imbas pertempuran mata uang negara-negara adidaya dunia saat ini.

Walaupun demikian, kita tidak perlu terlalu pesimistis. Sebab sesungguhnya Indonesia, dengan jumlah penduduknya yang besar, adalah pasar tersendiri.  Inilah yang harus digarap total oleh pemerintah agar pasar domestik ini bisa dimanfaatkan. Momen depresiasi rupiah sendiri menyebabkan harga produk luar menjadi mahal. Karena itu, ini peluang bagi kita untuk memproduksi produk-produk substitusi impor yang selama ini kita dapatkan dari luar, dari produk pangan sampai otomotif dan manufaktur. Juga meningkatkan pariwisata domestik bagi masyarakat sendiri yang selama ini gandrung berlibur ke luar negeri.

Di samping itu, pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal perlu menjaga kekuatan konsumsi dan investasi domestik agar semakin berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Caranya, mengkoreksi kebijakan fiskal pemerintah yang cenderung kontraktif.

Dalam kondisi krisis ekonomi, pemerintah adalah sumber kekuatan ekonomi untuk memacu pertumbuhan melalui kebijakan fiskal ekspansifnya. Caranya, pertama, meningkatkan belanja-belanja negara pada proyek publik dan menghemat pengeluaran rutin serta memangkas birokrasi yang tidak berkontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedua, mengurangi target penerimaan negara dari pajak, dan bukan malah meningkatkan pajak. Ini  bentuk stimulasi untuk memacu konsumsi domestik dan investasi swasta sebagai kekuatan utama sumber pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar