Minggu, 30 Agustus 2015

Menunggu Revolusi

Menunggu Revolusi

Trias Kuncahyono  ;  Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 30 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apakah Anda mengetahui rata-rata orang Korea Utara hidup dari hasil kapitalisme? Paling kurang separuh penduduk Korut menonton drama dan film televisi serta mendengarkan musik pop Korea Selatan? Apakah Anda mengetahui tentara Korut lebih banyak bekerja di proyek swasta ketimbang merencanakan penghancuran Seoul?

Pertanyaan itu diajukan Daniel Tudor dan James Pearson, serta sekaligus membuka bukunya yang diberi judul North Korea Confidential, Private Markets, Fashion Trends, Prison Camps, Dissenters and Defectors (2015). Rangkaian pertanyaan itu menggelitik sekaligus menumbuhkan pertanyaan lanjutan: Benarkah demikian? Bukankah Korea Utara (Korut) adalah negara sosialis-stalinis yang didirikan sejak 1948 dan diperintah keluarga Kim, dan kini dipimpin oleh Kim Jong Un.

Lewat bukunya itu, Tudor, koresponden The Economist untuk Korea, dan Pearson menguraikan secara lengkap dan menarik dampak dari bencana kelaparan di Korut 1994-1998. Bencana kelaparan itu menewaskan antara 200.000 dan tiga juta jiwa. Bencana dimulai dengan banjir bandang yang menyapu wilayah Korut pada 1994 dan 1995. Banjir bandang menghancurkan sekitar 1,5 juta ton padi dan merusakkan sebagian besar infrastruktur. Sebenarnya kekurangan pangan mulai terasa pada tahun 1993, dan mencapai puncaknya setelah bencana banjir.

Akan tetapi, bencana itu menjadi titik balik. Sepanjang sejarah Korea, ada contoh-contoh bencana yang mendorong terjadinya pergolakan sosial dan melahirkan kemajuan tak terduga. Misalnya, dari reruntuhan abu Perang Korea (1950-1953) lahir generasi meritokratik dan sangat menentukan pembangunan Korea Selatan (Korsel), hingga menjadi negara maju, seperti diuraikan Tudor dalam ”Korea, The Impossible Country” (2012).

Yang menarik, kelaparan telah menaburkan benih budaya pasar. Kepemilikan pribadi dan perdagangan swasta tetap ilegal, tetapi setelah bencana kelaparan, hanya ada satu aturan main dalam ekonomi: jangan mengikuti aturan.

Sebanyak 62 persen pembelot dari Korut yang disurvei pada 2010 menyatakan, mereka melakukan pekerjaan sampingan selain kerja resmi sebelum meninggalkan Korut. Mereka juga terlibat dalam ”pasar abu-abu” (dilarang tetapi dibiarkan beroperasi) dan menggunakan nilai tukar mata uang tidak resmi.

Di Korut, berlaku dua nilai tukar mata uang dalam dua ekonomi: ekonomi ”resmi” (orang bekerja di tempat kerja milik negara dan mendapatkan gaji dari negara) serta ekonomi ”pasar abu-abu” (orang memperoleh uang dengan cara tak sepenuhnya legal, tetapi ditoleransi). Istilah bagi pasar ilegal tetapi ditoleransi adalah jangmadang, kata dalam bahasa Korea kuno yang berarti ”pasar” (di Korsel disebut sijang).

Dalam sistem komunis, secara teoretis, rakyat gratis memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, makanan, dan perumahan. Namun, akibat bencana kelaparan, pemerintah tak mampu lagi menyediakan semua itu. Maka, rakyat, para buruh, dan keluarganya harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang dan akhirnya menghidupkan jangmadang.

Jangmadang muncul di daerah padat penduduk, di persimpangan jalan yang ramai. Di mana-mana, orang menggelar lapak untuk berdagang seperti di banyak kota di negeri kita dulu ketika zaman krisis ekonomi, yang masih bertahan hingga sekarang. Kadang kala, malah didirikan bangunan khusus untuk pasar. Meski kegiatan seperti itu dilarang, tetapi tetap berlangsung. Pedagang menyogok kader partai agar tidak diusik. Akibat bencana kelaparan, kultur Korea yang didominasi laki-laki sejak neo-Konfusianisme dan menempatkan kaum perempuan sebagai hyonmoyangcho, istri yang baik dan ibu yang bijaksana, berubah. Perempuan tidak lagi diam di rumah, tetapi ikut mencari nafkah di jangmadang.

Perekonomian di perbatasan dengan Tiongkok juga hidup. Di tempat ini, pedagang Tiongkok bertemu pedagang Korea. Barang-barang produksi Tiongkok membanjiri Korut. ”Perubahan tidak bisa dicegah. Saya melihat di museum pemimpin besar Korut ada laptop Apple yang konon dulu digunakan ayah Kim Jong Il. Di Pamunjeom, ada gedung menggunakan pendingin ruangan merek Samsung,” cerita seorang teman, Putut Prabantoro, yang baru pulang dari Pyongyang.

Perubahan memang tidak bisa dibendung.Komunisme Rusia ambruk. Tiongkok sudah memeluk kapitalisme. Kuba pun merasa tidak bisa hidup tanpa Amerika Serikat. Koruttinggal menunggu waktu. Angin perubahan pasti akan bertiup tanpa disangka-sangka asalnya, seperti yang menyapu negara-negara di Timur Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar