Minggu, 30 Agustus 2015

Moskwa-Damaskus

Moskwa-Damaskus

Trias Kuncahyono  ;  Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
                                                       KOMPAS, 29 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Antara Moskwa, Rusia, dan Damaskus, Suriah, terbentang jarak 2.478 kilometer. Itu berarti hampir dua kali lipat jarak dari Anyer, Banten, ke Panarukan, Jawa Timur. Banyak cerita yang mengisi sepanjang jarak itu. Hubungan pertama keduanya dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian rahasia pada 10 Februari 1946. Perjanjian itu menyatakan Uni Soviet-pendahulu Rusia-memberikan dukungan diplomatik dan politik pada Suriah di panggung internasional. Soviet juga berjanji membantu pembangunan tentara nasional Suriah.

Sejak saat itu, hubungan kedua negara terus berkembang dan semakin erat dan mantap. Soviet membantu naiknya Hafez al-Assad ke tampuk pemerintahan pada tahun 1971. Dan, Uni Soviet adalah negara pertama yang dikunjungi Hafez al-Assad. Hal itu menunjukkan pentingnya arti Uni Soviet bagi Suriah. Apalagi partai yang berkuasa di Suriah, Partai Ba'ath, memiliki akar sosialis dan hasilnya selama masa Perang Dingin hubungan kedua semakin erat.

Dekatnya hubungan kedua negara juga ditandai dengan dibangunnya pangkalan Angkatan Laut Soviet di Tartus, Suriah. Inilah pangkalan yang menjadi pintu masuk armada laut Soviet ke Laut Mediterania. Hubungan tersebut bertahan hingga kini ketika Suriah tengah dicabik-cabik, mula-mula oleh perang saudara dan kemudian menjadi perang sektarian, serta kini diporakporandakan oleh kelompok bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Melacak kembali hubungan kedua negara-Suriah tetap menjadi satu-satunya yang konsisten sebagai sekutu Rusia di Timur Tengah hingga kini-terlihat jelas betapa penting Suriah bagi Rusia. Yang pertama, tentu karena di Suriah ada pangkalan Angkatan Laut Tartus. Pemimpin Rusia sendiri, Vladimir Putin, secara jelas menyatakan bahwa hubungan keduanya merupakan "titik terakhir kehadiran Rusia pasca Soviet di kawasan." Karena itu, adalah sangat penting bagi Moskwa untuk mempertahankan hubungan dengan salah satu kawasan paling dinamis di dunia.

Kini dengan munculnya NIIS, hubungan Rusia dan Suriah, termasuk mendukung rezim Presiden Bashar al-Assad, menjadi lebih penting lagi. Moskwa khawatir jika Bashar al-Assad jatuh, akan terjadi kekosongan kekuasaan di Damaskus dan ini memberi peluang bagi NIIS untuk berkuasa. Apabila hal itu terjadi, akan membahayakan keberadaan pangkalan angkatan laut Rusia di Tartus.

Berkuasanya NIIS di Suriah juga akan memberikan sumbangan kekuatan bagi Kaukasus Utara, bagian dari Rusia yang ingin memisahkan diri. Sebagian besar penduduk wilayah ini adalah Muslim Sunni. Moskwa khawatir andai NIIS menguasai Suriah, hal itu akan memberikan dorongan bagi Kaukasus Utara untuk meningkatkan perlawanan dan tidak mustahil akan dibantu oleh kelompok bersenjata NIIS.

Karena itulah, langkah Rusia menggandeng tiga negara Arab-Mesir, Jordania, dan Uni Emirat Arab-bersama Suriah menghadapi kelompok NIIS adalah langkah tepat demi kepentingan Rusia. Ketiga negara itu sama-sama tidak menginginkan NIIS makin meluas dan berjaya. Mesir dan Jordania, misalnya, sudah merasakan sepak terjang NIIS. Uni Emirat Arab sejak semula bersikap menentang terorisme, gerakan radikal, dan fundamentalisme. Karena mereka pun bukan tidak mustahil akan menjadi sasaran serangan NIIS atau kaki-tangannya.

Dengan demikian, langkah terakhir Rusia ini merupakan usaha untuk memperkuat Aliansi Moskwa-Damaskus, yang nyaris tidak pernah mati sejak awal mula. Langkah ini, bisa dikatakan sebagai periode keempat-era Uni Soviet, era pasca Uni Soviet, era Perang Irak, dan kini era Revolusi Musim Semi Arab-keterlibatan Rusia di Timur Tengah. Dan, tentu kebijakan luar negeri Rusia atas Timur Tengah tersebut tidak terlepas dari kebijakan Amerika Serikat atas wilayah yang sama; yang mulai berbaikan dengan Iran dan sedikit renggang dengan sekutu-sekutunya di kawasan itu, seperti Arab Saudi.

Dengan demikian, bukan tidak mungkin langkah Rusia itu akan mendorong AS untuk mereposisi hubungan dengan sekutu-sekutunya di kawasan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar