Rabu, 26 Agustus 2015

Muhammadiyah Pasca-Din Syamsuddin

Muhammadiyah Pasca-Din Syamsuddin

Syamsul Arifin  ;   Guru Besar dan Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
                                                      JAWA POS, 07 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MUKTAMAR Ke-47 Muhammadiyah berlangsung tanpa gejolak sedikit pun. Salah satu tahap penting muktamar yang berpotensi besar menimbulkan kegaduhan, konflik, dan bahkan tindakan anarkistis, yaitu pemilihan pucuk pimpinan, berjalan dengan lancar.

Kalau bisa disebut sebagai suatu prestasi, suasana sejuk, terutama pada tahap pemilihan pucuk pimpinan, tidak bisa dilepaskan dari ”kearifan lokal” di Muhammadiyah dalam melembagakan dan merawat tradisi demokrasi. Posisi pucuk pimpinan di Muhammadiyah tidak bisa diraih secara tiba-tiba hanya dalam waktu sekejap. Tahapan yang dilaluinya begitu panjang. Salah satu pilar penting Muhammadiyah sebagai fenomena organisasi adalah ranting, suatu level paling bawah organisasi Muhammadiyah.

Level tersebut perlu dilewati kader dan aktivis Muhammadiyah agar bisa merasakan denyut dinamika Muhammadiyah yang terkadang sunyi. Pada level ini Muhammadiyah sebagai fenomena ”minoritas” bisa terlihat secara nyata. Jangan kaget bila, misalnya, menyelenggarakan pengajian di level ranting, yang hadir orang itu-itu saja.

Kalau toh menjadi pimpinan Muhammadiyah di level-level berikutnya (cabang, daerah, dan wilayah), jangan pernah berpikir mendapatkan insentif, terutama secara materiil. Bisa jadi karena sepinya insentif tersebut, kegaduhan pada setiap pemilihan pucuk pimpinan mulai di level ranting, cabang, daerah, wilayah, hingga pusat bisa dihindari.

Selain rekam jejak keterlibatan dalam organisasi Muhammadiyah pada semua level, orang yang akan menduduki pucuk pimpinan Muhammadiyah (ketua umum Pimpinan Pusat/PP Muhammadiyah) harus mendapatkan pengakuan warga persyarikatan Muhammadiyah setidaknya dalam empat sisi. Yaitu intelektualitas, profesionalitas, keadaban personal, dan jaringan yang luas.

Terpilihnya Haedar Nashir sebagai ketua umum PP Muhammadiyah masa bakti 2015–2010 bisa dibaca melalui kerangka pandang tersebut. Pada pria yang juga dosen tetap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu melekat empat kemampuan sebagaimana disebutkan, di samping keterlibatannya yang demikian lama di Muhammadiyah. Dari sisi intelektualitas, Haedar telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu wacana secara tertulis dan sistematis dalam beberapa isu. Seperti terlihat pada publikasi dalam bentuk buku dan artikel yang tersebar di beberapa media massa. Dilihat dari aspek itu, Muhammadiyah patut bersyukur memiliki seorang kader dan aktivis yang tidak hanya paham terhadap sejarah dan jeroan Muhammadiyah, tetapi juga mampu merekonstruksi bangunan ideologi Muhammadiyah dalam konteks sejarah dan kekinian sebagaimana bisa dibaca di majalah Suara Muhammadiyah.

Haedar memang tidak sebanding dengan Yunahar Ilyas dalam hal penguasaan terhadap ilmu-ilmu keagamaan Islam. Juga tidak bisa dibandingkan dengan Syafiq Mughni yang memiliki pengalaman pendidikan dari kampus ternama di luar negeri. Riwayat pendidikan Haedar, terutama pada level pascasarjana, seluruhnya diselesaikan di program studi umum perguruan tinggi di tanah air. Namun, ini tidak berarti Haedar tidak piawai dalam menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.

Haedar bahkan bisa disejajarkan dengan A.R. Fachruddin yang cenderung sejuk dan teduh dalam mengurai materi keagamaan di beberapa forum pengajian. Tentu Haedar masih di bawah Fachruddin dalam mengemas materi pengajiannya dengan idiom-idiom dan guyonan khas Jawa. Maklum, dia berasal dari Jawa Barat kendati lama tinggal di Jogjakarta.

Dengan karakternya yang tenang, dan penting juga dicatat, Haedar sama sekali tidak memiliki rekam jejak di partai politik, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya akan tetap lurus-lurus saja dalam ranah dakwah amar makruf nahi mungkar, tidak mudah terombang-ambing oleh kepentingan politik praktis.
Alih-alih didorong bermetamorfosis menjadi partai politik, Haedar akan menjaga marwah (kehormatan) Muhammadiyah sebagai salah satu eksemplar civil society atau masyarakat madani yang ternyata lebih teruji.

Tentu pada Haedar juga ada beberapa titik lemah. Pada masa kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah mampu didorong terlibat dalam berbagai forum antarbangsa atau internasional yang bahkan melintasi batas-batas agama. Dengan cara begitu, citra Muhammadiyah sebagai organisasi yang inklusif kian kukuh. Tidak sedikit pertanyaan yang ditujukan kepada Haedar terkait dengan kemampuannya dalam meneruskan daya jelajah Muhammadiyah di berbagai forum internasional sebagai salah satu legasi Din.

Haedar tentu memaklumi adanya pertanyaan ini. Karena itu, dia perlu meneruskan tradisi yang telah dikembangkan pendahulunya. Di samping dengan mengeksplorasi potensi kekuatan pada dirinya, Haedar dalam periode kepemimpinannya didukung orang-orang yang memiliki rekam jejak dalam mengembangkan jejaring internasional.

Mengenai mengapa peraih suara terbanyak pada forum muktamar Muhammadiyah tidak otomatis menjadi ketua umum PP Muhammadiyah, tetapi masih perlu bermusyawarah dengan 12 kandidat lainnya, itu merupakan salah satu penanda bahwa kepemimpinan di Muhammadiyah mengutamakan prinsip kolegialitas dan kolektivitas. Dalam konteks praksis kepemimpinan Muhammadiyah lima tahun ke depan (2015–2020), Haedar Nashir didukung orang-orang berpengalaman di berbagai bidang. Sehingga Muhammadiyah sebagai eksemplar civil society tetap terjaga marwahnya dan terus berkembang di masa-masa yang akan datang. Selamat bertugas, Pak Haedar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar