Minggu, 30 Agustus 2015

Nilai Uang

Nilai Uang

Kristi Poerwandari  ;  Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 30 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nilai tukar rupiah terus melemah, hingga melampaui Rp 14.000 per dollar AS. Pemerintah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi gejolak pasar dan menguatkan perekonomian makro. Bagaimana dengan yang terjadi di tingkat mikro? Bagaimana psikologi keluarga dan individu memaknai uang dan rupiah?

Uang memegang peran sangat penting dalam hidup kita. Sehari-hari cukup banyak dari kita mungkin harus berkreasi untuk mencukupkan uang yang ada bagi pemenuhan seluruh kebutuhan hidup. Terus menurunnya nilai tukar rupiah membawa kekhawatiran bagi banyak orang, meski ada pula sebagian yang mungkin bergembira karena ia punya banyak simpanan dalam dollar AS, atau ada yang melihat peluang bisnis dari situasi ini.

Sementara itu, tukang sate pikul yang saya temui di Stasiun Kereta Api Cawang mungkin sama sekali tak mengerti gejolak ini. Cakrawala hidupnya ya duduk dalam posisi rendah dengan dingklik kecil di tengah hiruk-pikuk lalu lalang banyak sekali orang di kemegahan jalan raya yang macet dan gedung-gedung tinggi metropolitan di depan Stasiun Cawang. Hidupnya dari dulu susah dan sekarang ia mungkin jadi makin sering menghela dan menahan napas. Dengan sepuluh ribu rupiah sebungkus sate, entah berapa yang disisihkan sebagai keuntungan untuk menyambung napas diri. Entah bagaimana pula keajaiban Tuhan menjelaskan mengenai perjuangan istri dan anak-anaknya melanjutkan hidup mereka.

”Money-script”

Klontz dkk (2011) menemukan betapa manusia membawa keyakinan-keyakinan dan keterampilan mengenai uang, suatu hal yang dipelajari sejak masa kanak. Sayangnya, sikap dan keterampilan mengenai uang ini mungkin tidak membantu kita, malah dapat menambah masalah, apabila orangtua atau pengasuh tidak memiliki ”hubungan yang sehat” dengan uang.

Orang dapat terjerat utang bunga berbunga, menggunakan banyak kartu kredit padahal penghasilannya minim, tak mampu menahan diri membeli barang bermerek vs barang diskon, royal menghabiskan banyak uang untuk teman dan selingkuhan tetapi keluarga di rumah kelaparan. Bisa pula sebaliknya: sebenarnya punya uang tetapi merasa miskin, mempersulit dan membuat malu anak dan keluarga karena tidak mau mengeluarkan uang, niatnya berhemat tetapi malah jadi mengeluarkan uang lebih besar lagi untuk rawat inap di rumah sakit.

Klontz dkk mengembangkan konsep ”skrip mengenai uang” (money script), atau bagaimana kita memiliki keyakinan dan pemahaman mengenai uang. Keyakinan tentang uang itu berkembang sejak masa kanak, sering diturunkan dari generasi ke generasi dalam sistem keluarga, sering kali tidak disadari, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan. Skrip uang ini menjadi faktor besar yang mengemudikan perilaku finansial individu.

Berdasarkan penelitian mereka terhadap klien-klien yang datang untuk meminta bantuan terkait persoalan keyakinan dan perilaku mengenai uang, Klontz dkk menemukan faktor-faktor yang dapat mengelompokkan manusia berdasarkan skrip uang yang dimiliki. Faktor-faktor itu adalah sejauh mana individu (a) menilai tinggi uang, (b) menolak kekayaan dan melihat uang sebagai hal buruk, (c) memiliki keterbukaan atau ketertutupan sikap mengenai uang, (d) berhemat atau bertanggung jawab tentang uang; (e) cemas tentang uang; (f) melihat uang sebagai sumber status; atau (g) melihat uang sebagai penting atau tidak penting.

Apabila dikaitkan dengan data demografi, dapat dilihat kecenderungan tertentu. Misalnya, bahwa orang tua pada umumnya lebih cemas mengenai uang daripada orang muda. Yang berpenghasilan tinggi cenderung melihat uang secara lebih positif sebagai tanda pencapaian diri daripada yang berpenghasilan rendah. Kelompok kelas bawah mungkin lebih curiga dan menganggap uang dapat menggerogoti sikap moral daripada kelompok yang punya banyak uang. Laki-laki lebih melihat uang sebagai tanda pencapaian diri daripada perempuan. Kelompok berpendidikan tinggi cenderung bersikap lebih konservatif mengenai uang.

”Sehat” versus ”tidak sehat”

Penting diingat, kecenderungan umum di atas dapat berbeda dalam konteks masyarakat yang berbeda. Entah bagaimana dengan kelompok-kelompok di Indonesia, sejauh pengetahuan saya tampaknya belum ada penelitian meluas untuk mendapatkan gambarannya. Tambahan pula, data umum penting dalam psikologi, tetapi untuk penanganan klien, menjadi lebih penting memperoleh gambaran yang khas dari individu atau kelompok individu.

Klontz dkk menelurkan istilah money disorder, atau gangguan perilaku terkait uang, untuk menunjuk individu-individu tertentu yang mungkin menjadi kacau hidupnya karena keyakinan dan perilaku mereka terkait uang. Gangguan itu mungkin ada hubungannya juga dengan pengalaman yang sangat emosional atau traumatik di masa sebelumnya.

Dari perspektif psikologi kita jadi lebih mengerti, mengapa anak penjual sate pikul di pinggir jalan menjadi jauh lebih sulit masuk dalam kelompok kelas menengah atas daripada anak muda yang sudah ada dalam kelompok tersebut. Mengapa anak pengusaha cenderung lebih kreatif dalam perilaku bisnis daripada individu yang dibesarkan dalam lingkungan pegawai negeri, mengapa orang dapat membunuh karena persoalan uang, dan lainnya.

Dalam konteks kondisi ekonomi sekarang, mungkin kita jadi perlu bertanya tentang bagaimana sikap dan perilaku kita mengenai uang, apakah cukup sehat atau malah dapat menambah masalah hidup? Bagaimana pula mengembangkan perilaku uang yang sehat bahkan kreatif untuk menumbuhkan kewirausahaan masyarakat luas demi makin menguatkan perekonomian bangsa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar