Rabu, 26 Agustus 2015

NU, Demokrasi, dan Kepemimpinan Karismatis

NU, Demokrasi, dan Kepemimpinan Karismatis

Fajar Kurnianto  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
                                                      JAWA POS, 07 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DEMOKRASI tidak menafikan adanya perdebatan, pertentangan, hingga ketegangan antarpihak yang berkepentingan di dalamnya. Di titik ini, tidak ada persoalan. Yang justru jadi tantangan adalah bagaimana mengelola semua itu sehingga tidak menimbulkan ekses negatif secara individual maupun organisasional.

Di sinilah sikap lapang dada dan bijaksana menjadi penentu. Dalam beberapa hal, keberadaan sosok yang punya karisma kepemimpinan ( charismatic leadership) yang menjadi penengah juga ikut menentukan.

Richard Hull (1999) mengatakan, kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi pendapat, sikap, dan perilaku orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mampu mengatur dan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan dapat berfungsi sebagai pemimpin.

Kepemimpinan ( leadership) merupakan proses yang harus ada danperludiadakandalamkehidupan manusia selaku makhluk sosial. Hidup bermasyarakat memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat menentukan arah atau tujuan yang dikehendaki dan dengan cara bagaimana arah atau tujuan tersebut dapat dicapai.

Kegaduhan yang sempat terjadi di Muktamar Ke-33 Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu bisa dicermati sebagai sebuah kenyataan dan dinamika serta proses demokrasi dalam berorganisasi. Dan, itu berhasil dilewati dengan baik setelah KH Mustofa Bisri kembali terpilih sebagai rais am NU, meski kemudian menolaknya, yang dianggap salah satu sosok karismatis di NU. Gus Mus, demikian dia biasa disapa, mengimbau semua peserta muktamar untuk tenang, tertib, dan menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Imbauan ini berhasil, kondisi pun kembali normal.

Demokrasi memang perlu sosok pemimpin karismatis yang bisa membuat situasi menjadi kondusif, tenang, dan berjalan lancar, meski tidak sama sekali melenyapkan segala pertentangan di dalamnya (disensus). Pemimpin karismatis menampilkan ciriciri: memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, mengomunikasikan visi itu secara efektif, mendemonstrasikan konsistensi dan fokus, serta mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.

Karismatis dalam bahasa Yunani berarti ’’karunia diinspirasi Ilahi’’. Orang-orang yang karismatis memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga membuat mereka secara tidak sadar mengikuti sosok karismatis tersebut. Kepemimpinan karismatis membuat para anggota yang dipimpinnya mengikuti inovasi-inovasi yang diajukan pemimpin ini. Ada dua tipe pemimpin karismatis: karismatis visioner dan karismatis di masa krisis (Ivancevich, 2007).

Pemimpin karismatis visioner mengaitkan kebutuhan dan target dari pengikutnya dengan target atau tugas dari organisasi. Pemimpin karismatis visioner juga memiliki kemampuan untuk melihat sebuah gambar besar dan peluang yang ada pada gambar besar tersebut (Barbara Mackoff dan Wenet, 2001).

Tipe pemimpin karismatis di masa krisis akan menunjukkan pengaruhnya ketika sistem harus menghadapi situasi di mana pengetahuan, informasi, dan prosedur yang ada tidak mencukupi (Ian I. Mirtoff, 2004). Pemimpin jenis ini mengomunikasikan dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan dan apa konsekuensi yang dihadapi.

House (1977) menyatakan, karisma seorang pemimpin mampu memberikan sesuatu yang sangat besar dan efek yang sangat luar biasa bagi bawahannya. Mereka meyakini bahwa keyakinan seorang pemimpin itu adalah benar.
Mereka menerima pendapat pemimpin tanpa pernah mempertanyakan alasannya. Mereka menyayangi pemimpin mereka dan terlibat secara emosi dalam misi organisasi. Mereka menjadi sangat yakin bahwa mereka mampu memberikan kontribusi yang lebih terhadap tujuan organisasi.

Kepemimpinan karismatis, menurut Max Weber, adalah salah satu dari tiga bentuk kekuasaan. Pertama, kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada ( established) pada kesucian tradisi kuno.
Kedua, kekuasaan yang rasional atau berdasar hukum (legal) yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasar peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. Ketiga, kekuasaan karismatis yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut dicontoh dari ketertiban atas kekuasaannya.

Jam’iyah NU kental sekali dengan sosok-sosok pemimpin karismatis. Secara tradisional, mereka adalah para kiai yang memiliki sekaligus memimpin pondok-pondok pesantren, terutama pondok-pondok pesantren tertua. Mereka biasanya disebut dengan ’’kiai khos’’ atau ’’kiai sepuh’’.

Mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kerap kali menyebut mereka. Mereka ini disebut-sebut ikut andil dalam menentukan kebijakan Gus Dur, baik saat menjadi presiden, ketua Dewan Syura PKB, maupun ketua PB NU. Sebagai salah satu tradisi santri, Gus Dur sangat menghormati dan memuliakan mereka.

Secara organisasional NU, para kiai karismatis itu ada dalam struktur kepengurusan syuriah, ada juga yang tidak. Peran mereka begitu penting, sehingga sejauh ini NU secara organisasi dapat berjalan di atas visi para pendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar