Rabu, 26 Agustus 2015

NU setelah Muktamar: Persatuan dalam Perbedaan

NU setelah Muktamar: Persatuan dalam Perbedaan

Alissa Wahid  ;   Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Indonesia;
Pengurus LKKNU DIY
                                                      JAWA POS, 10 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERTANYAAN paling populer hari-hari ini adalah bagaimana NU pascamuktamar ke-33 di Jombang? Pertanyaan itu dilontarkan nahdliyin tua-muda, ulama dan santri, intelektual dan awam, juga oleh politisi dan pejabat publik. Itu menunjukkan betapa luasnya lapisan para pemangku kepentingan NU.

Walaupun kita menyayangkan ketegangan yang terjadi, dinamika suksesi kekuasaan yang terjadi di muktamar beberapa waktu lalu bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah NU. Beberapa muktamar NU juga demikian. Misalnya, Muktamar Cipasung 1994 yang diwarnai dengan panser militer. Tradisi dinamis tersebut disumbang oleh faktor-faktor khas NU.

Karakter Egaliter

NU memiliki pengaruh politis yang besar di negara ini. Sebab, NU mewadahi para ulama yang mewakili dan memengaruhi penduduk berjumlah sangat besar. Seperti lebah yang ingin mendapat madu bunga, kekuatan politis pun selalu berebut memengaruhi NU.

Di sisi lain, NU adalah sebuah paguyuban skala masif. Kebanyakan organisasi lahir dari sebuah titik pusat, lalu disusun sampai ke daerah. Adapun NU didirikan oleh para ulama yang masing-masing telah memiliki umat melalui pondok pesantrennya. Para kiai itu berhimpun membentuk sebuah perkumpulan dengan kesetaraan posisi di antara mereka. Dari banyak titik penjuru, diikat dengan tali jagat.

Karena itu, watak egaliter dalam diri NU sangatlah kental. Pengurus struktural NU tidak memiliki kekuasaan mutlak kepada ribuan kiai dan pondok pesantren NU. Perbedaan strategi kerap terjadi. Setiap kiai dan pondok pesantren memiliki independensi sekaligus mengikatkan diri dalam perhubungan berbasis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah. Keseimbangan antara independensi dan ikatan itulah yang sering kali menjadi faktor dinamis NU.

Watak itu menjadi keunggulan sekaligus kelemahan NU. Dalam istilah orang Betawi, NU kagak ade matinye karena amatlah sukar mengerangkeng NU dengan watak tersebut. Namun, itu membuat energi dan sumber daya NU tersedot untuk konsolidasi dan menjaga peran-peran strategis NU. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, menghabiskan waktunya untuk menjaga ikatan ideologis NU melalui strategi silaturrahim.

Peran Strategis NU

Sebagai jam’iyyah, NU mengemban beberapa peran strategis yang tidak tergantikan. Peran sosial kemasyarakatan NU sangat signifikan terkait dengan jamaahnya yang besar. Begitu pula, peran NU sebagai salah satu penyangga bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bahkan, saat ini, dengan situasi geopolitik di Timur Tengah, NU menjadi model organisasi kemasyarakatan Islam yang dibutuhkan masyarakat dunia. Dan, untuk menjalankan itu semua, NU harus membangun organisasi yang solid dan progresif.

Di tangan NU, kemaslahatan puluhan juta nahdliyin bergantung. Berbagai isu kesejahteraan (kemiskinan, pendidikan, kesehatan) perlu dikelola. NU memiliki tanggung jawab besar untuk mengadvokasi kepentingan kaum nahdliyin dalam kebijakan pembangunan Indonesia.

Ditinggalkannya ekonomi agraria oleh negara saat ini berdampak besar bagi warga NU yang sebagian besar tinggal di desa. Ketimpangan kesejahteraan akibat pemiskinan itu jelas mengena kepada warga NU.

Desa yang menjadi basis komunitas NU telah ditinggalkan banyak warganya. Di sini NU ditantang untuk mengembangkan strategi mengelola warga NU migran di kampung-kampung perkotaan. UU Desa memberikan peluang untuk menghidupkan desa. Tetapi, NU memiliki PR besar untuk mempersiapkan jam’iyyah dan jama’ah untuk memanfaatkannya.

Pesantren sebagai institusi pendidikan dan institusi sosial mestinya juga mendapat perhatian besar dari NU. Begitu pula halnya dengan lembaga pendidikan yang lain di kalangan NU.

Musyawarah Kaum Muda NU di sela Muktamar Ke-33 NU yang melibatkan 2000-an nahdliyin menjadi kebangkitan kaum muda untuk berkhidmat kepada NU. Gerakan tersebut perlu dikapitalisasi untuk menjawab tantangan zaman yang berubah, apalagi untuk merespons peluang Bonus Demografi.

Dalam pandangan NU, Indonesia adalah mu’ahadah wathoniyah (kesepakatan kebangsaan). Karena itu, NU dituntut untuk terus memantapkan peran strategis itu, apalagi menghadapi sekelompok masyarakat muslim yang menghendaki agar Indonesia diubah menjadi sebuah negara Islam.

Politik NU, menurut KH Mustofa Bisri (Gus Mus), adalah politik kebangsaan, sedangkan politik praktis dan sesaat adalah terlalu kecil untuk NU. Lebih penting dari politik, kata Gus Dur, adalah kemanusiaan.

Kesadaran itu akan membantu NU untuk lepas dari jebakan politik praktis yang melulu soal kekuasaan dan akses sumber daya dan istikamah kepada politik kebangsaan yang terkait dengan kemajuan bangsa.

Bukan hanya Indonesia, masyarakat dunia pun saat ini sedang mengharapkan kiprah NU sebagai alternatif terhadap wajah beberapa kelompok Islam yang penuh kekerasan dan ketertutupan.

Dengan tantangan zaman dan peran strategis NU yang demikian, anggapan menjaga NU berarti menjaga Indonesia menjadi relevan. Dibutuhkan peran semua pihak untuk menyelamatkan NU stelah pascamuktamar ke-33. 

Dibutuhkan kearifan para ulama untuk mengedepankan kepentingan NU, baik jam’iyyah dan jama’ah, dalam jangka panjang, bukan hanya untuk kepentingan lima tahunan.

Dibutuhkan para pengurus struktural NU untuk berbesar hati, tidak menghabiskan energi berebut kekuasaan di puncak struktur kepengurusan. Para ulama perlu meneladankan wujud ikhtilaf ummat rahmah dengan membangun persatuan dalam perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar