Senin, 24 Agustus 2015

Pelajaran Nasionalisme Kiai Maimoen

Pelajaran Nasionalisme Kiai Maimoen

Ahmad Khotim Muzakka  ;   Mahasiswa Center for
Religious and Cross-cultural Studies, UGM
                                                 KORAN TEMPO, 22 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Umur yang ke-70 bagi Republik Indonesia mesti dijadikan momentum untuk memaknai lagi (dan terus-menerus) kesadaran berbangsa kita. Kesadaran terhadap kebangsaan, menurut Sukarno, sama sekali tidak bertentangan dengan keberislaman; dua terma yang masih saja diupayakan untuk dipertentangkan satu dengan yang lain oleh sekelompok kalangan.

Apa relevansi kesadaran kebangsaan di tengah perayaan kemerdekaan yang sudah setua itu? Umur 70 tahun, untuk ukuran manusia, tentu sudah menjadi kakek-nenek. Maka itu sangat urgen, kita menengok sejenak, betapa suara-suara yang tak "meridai" Indonesia-yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini-menjadi negara demokratis; alih-alih mengkampanyekan sistem khilafah.

Menurut M. Ridwan Lubis dalam Sukarno dan Modernisme Islam (2010), Sukarno membantah tuduhan orang-orang Persis bahwa, jika seseorang menerima konsep kebangsaan (nation-state), berarti dia "memberhalakan tanah air", dan, oleh karenanya akan berpengaruh terhadap kualitas keimanan.

Dalam Negara Nasional dan Tjita2 Islam, Sukarno menulis: Islam tidak bertentangan sebenarnja menurut fahamku dengan kenasionalan. Islam tidak melarang kita menjusun satu negara nasioanal. Tetapi jang selalu disalahweselkan ialah kiranya djikalau engkau nasional engkau anti agama. Djikalau engkau nasional, engkau memberhalakan tanah air. Tidak! Kalau aku tjinta kepada tanah airku maka aku memberhalakan tanah airku. Rasa nasional adalah lepas dari itu.

Bantahan Sukarno bukan tanpa sandaran. Bahkan, dasar pemahaman nasionalisme bisa dirunut hingga Al-Afghani yang mengumandangkan patriotisme yang bersanding dengan nasionalisme. Hubungan agama dan negara bukan merupakan dua hal yang mesti dipertentangkan, namun bisa saling bersinergi serta menguatkan (Lubis, 2010: 205).

Pelajaran nasionalisme kekinian bisa kita dapatkan dari peristiwa kecil di luar hiruk-pikuk Muktamar NU di Jombang. Dalam Muktamar NU ke-33 yang menahbiskan KH Ma'ruf Amin dan KH Said Aqil Siradj menakhodai kepemimpinan NU periode 2015-2020 ini, terselip pelajaran penting mengenai bagaimana nasionalisme dipupuk dan dirawat.

Adalah KH Maimoen Zubair, pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, yang ikut berdiri saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan pada pembukaan Muktamar ke-33 organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Meski dipapah menggunakan kursi roda, beliau ikut berdiri dan bersandar menggunakan tongkatnya. Satu hal yang tak lazim mengingat usia beliau sudah 86 tahun (NU Online, 2 Agustus).

Apa makna dari yang dilakukan Kiai Maimoen ini? Seorang kiai sepuh mau hadir dan ikut menghormati pelantunan lagu Indonesia Raya. Bagi saya, ini bukan sekadar peristiwa biasa. Ini merupakan cara Kiai Maimoen memperlihatkan betapa kecintaan kepada bangsa tidak bertentangan dengan nasionalisme; satu wacana yang masih terus dibangun oleh gerakan transnasional.

Di sini, saya teringat akan Saudara Felix Siauw, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, yang dengan gencar melakukan penolakan terhadap gagasan nasionalisme. Tulisannya yang bertajuk "Talak Tiga Nasionalisme Now" di blog pribadinya menjadi sekadar angin lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar