Rabu, 26 Agustus 2015

Pendekar Linglung Bernama Rupiah

Pendekar Linglung Bernama Rupiah

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik di Financeroll Indonesia
                                                      JAWA POS, 14 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BANK Sentral Tiongkok atau People Bank of China (PBoC) menabuh ’’genderang perang’’ dengan mengumumkan kebijakan pemotongan nilai mata uang (devaluasi) yuan sampai 2 persen pada 11-12 Agustus 2015. Kebijakan PBoC itu terbilang tiba-tiba setelah bursa Tiongkok tiarap sampai 30 persen beberapa waktu lalu.

Dengan devaluasi 2 persen, mata uang Tiongkok mendadak menjadi CNY 6,2298 per dolar Amerika Serikat (USD) pasca pengumuman kebijakan. Menurut data Bloomberg Internasional, devaluasi tersebut merupakan penurunan nilai tukar terbesar Negeri Panda sejak 1994. Bahkan, pada krisis global Desember 2008, yuan hanya terdepresiasi 0,7 persen.

Devaluasi yuan langsung memukul beberapa bursa utama dunia. Misalnya, bursa Eropa yang mengawali perdagangan di zona merah pada dua hari tersebut. Saham-saham perusahaan otomotif merosot tajam terseret sentimen devaluasi yuan. Begitu pula bursa emerging market, terutama Asia dan Wall Street. Keduanya mengawali dan menutup sesi perdagangan dengan kekhawatiran yang mendalam.

Saya kira, respons negatif dari bursa Eropa, misalnya, merupakan reaksi yang cukup beralasan. Pasalnya, Tiongkok merupakan pasar empuk bagi industri otomotif dan manufaktur Eropa. Devaluasi yuan akan membuat ekspor Tiongkok kompetitif di satu sisi, namun akan membuat ekspor Zona Eropa terkapar karena kehilangan daya saing karena pelemahan yuan.

Lebih jauh, pemulihan Zona Euro diperkirakan semakin tersendat. Sementara itu, kebijakan devaluasi tersebut juga berpotensi membuat The Fed menunda kenaikan tingkat suku bunga pada September mendatang. Imbas pahitnya, kombinasi faktor-faktor itu akan mengirimkan sinyal ketidakpastian kepada pasar yang memang telah dibuat gonjangganjing secara berkepanjangan lantaran naik turunnya ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed sejak awal tahun.

Pengaruhnya terhadap emerging market tentu akan sangat besar. Sebut saja, penguatan ekonomi Tiongkok akan memicu kenaikan ekspor Indonesia ke Tiongkok. Namun, dengan devaluasi yuan, justru bisa terjadi serangan balik kepada perekonomian Indonesia. Sebelum devaluasi yuan, produk Tiongkok sudah menyerbu tanah air. Tentu bisa dibayangkan jika devaluasi itu benar-benar membangkitkan energi ekspor Tiongkok, aliran produk dari Negeri Panda tersebut akan semakin deras membanjiri tanah air.

Sementara itu, nilai tukar rupiah turun lebih dari 0,42 persen ke level Rp 13.700-an per dolar AS setelah devaluasi kedua diumumkan. Para analis yakin kondisi itu hanya bersifat sementara.

Namun, saya kira efeknya juga bisa destruktif dan berkelanjutan. Sebab, pada dasarnya, setiap negara ingin mempertahankan daya saing sehingga mereka akan melakukan competitive devaluation.

Nah, jika hal itu sampai terjadi, ada risiko lanjutannya, yakni currency war ( perang mata uang). Kondisi tersebut diprediksi membawa nilai tukar rupiah terus melemah dan memunculkan ketidakpastian di pasar.

Selain itu, tarik ulur kenaikan tingkat suku bunga The Fed, AS, telah menghantui pelemahan rupiah pada waktu sebelum diumumkannya devaluasi mata uang yuan. Ketidakpastian The Fed itu telah menyeret rupiah dari Rp 13.000 ke level Rp 13.500 per dolar AS dan mendadak melesat ke level Rp 13.700-an per dolar AS pasca kebijakan PBoC.

Data-data ekonomi makro Amerika kian hari kian kinclong. Angka keramat yang dipatok The Fed (2 persen inflasi dan 5 persen pengangguran) sudah hampir tercapai, walau belum benar-benar tercapai secara harfiah. Namun, secara psikologis, para pelaku ekonomi AS cenderung berharap datangnya kebijakan pengetatan moneter alias kenaikan tingkat suku bunga The Fed karena dinilai waktunya telah tiba.

Jikapun kebijakan kenaikan akan tertunda akibat devaluasi yuan, ketidakpastian akan terus menghantui ekonomi emerging market dan Indonesia sampai kebijakan itu benar-benar diambil. Buktinya telah terlihat nyata sejak awal tahun ini.

Hanya bermodal ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga saja, rupiah bisa terus dibuat tidak berdaya dan bertahan di atas level Rp 13.000 tanpa tanda-tanda untuk kembali ke bawah.

Ekspektasi itu berpadu dengan kinerja ekonomi nasional yang jauh dari prestatif. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama dan kedua tidak memperlihatkan iktikad baik untuk menyapa angka 5 persen. Inflasi kian mengkhawatirkan.

Ekspor terlihat membaik, tetapi faktanya hanya pergeseran angka dari penurunan impor sehingga menghasilkan nominal impor yang terlihat kinclong untuk kinerja impor. Karena itu, tidak heran jika rupiah tampak ’’ogah’’ untuk melorot turun.

Pelemahanrupiahyangterlalutajam tentu akan memukul sektor produksi dan konsumsi domestik lantaran exposure impor Indonesia terhadap barang modal dan bahan impor tergolong cukup besar. Peningkatan biaya produksi dan kenaikan hargaharga barang konsumsi akan menjadi lanjutannya dan mengerek tingkat inflasi serta membuat pertumbuhan yang memang sudah tipis menjadi semakin kurang produktif.

Inilah yang membuat perlawanan rupiah terhadap tekanan-tekanan global ibarat jurus pendekar silat yang linglung, teringat jurus setelah dibuat babak belur oleh lawan tanding.

Apakah jawabannya ada di sisi politik? Seperti reshuffle yang baru saja diinisiatori istana? Tidak ada yang benar-benar mengetahui, kecuali menunggu sampai fakta itu datang. Apakah sang pendekar akan berjaya atau semakin babak belur? Semoga saja tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar