Jumat, 28 Agustus 2015

Perlawanan Netizen di Ruang Publik

Perlawanan Netizen di Ruang Publik

Rahma Sugihartati  ;   Dosen Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan
FISIP Unair; Sedang menulis disertasi tentang online fandom
                                                      JAWA POS, 18 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

EFEKTIVITAS dan gaung aksi perlawanan atau protes yang dilakukan kelompok civil society di era masyarakat postmodern kini tidak hanya bergantung pada jumlah peserta demo atau aksi konvoi di jalan raya. Tapi juga pada dukungan yang diberikan kaum netizen (pengguna internet) di media sosial.

Aksi yang dilakukan Elanto Wijoyono di Jogjakarta yang menghadang konvoi motor gede (moge) Sabtu lalu (15/8), walaupun dikecam sebagian pihak, misalnya pengacara Farhat Abbas, dan dikritik pihak kepolisian, mendapat dukungan deras di media sosial. Dukungan masif tersebut tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Aksi dan kemudian dukungan yang diberikan kaum netizen atas kasus atau nasib warga masyarakat yang dinilai menjadi korban kesombongan atau kezaliman belakangan ini makin sering bermunculan di media sosial. Selain aksi Elanto, sebelumnya dukungan dari kaum netizen juga muncul di media sosial terhadap kasus Nenek Asyani di Situbondo yang divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan 15 bulan gara-gara dituduh mencuri 38 papan kayu jati milik Perhutani.

Tak kurang dari 1.065 tweet dicuitkan netizen yang menggalang massa untuk melakukan demo menuntut penegakan keadilan. Lewat 159 tweet mereka mendesak pemerintah lebih serius memberantas dan menangkap para pelaku illegal logging kelas kakap dan tidak hanya meributkan kasus kelas teri seperti yang dialami Nenek Asyani.

Di tengah keterbatasan dana dan akses pada kekuasaan, selama ini yang dilakukan kaum netizen untuk menyuarakan tuntutan atas ketidakadilan dan berbagai kasus yang dinilai menyubordinasi orang-orang marginal, salah satunya, adalah melalui media sosial. Menulis di blog, melontarkan cuitan di Twitter, menulis di Facebook, membuat tagar seperti #SaveAsyani, atau yang lain adalah upaya-upaya yang acap kali dilakukan para netizen untuk ikut mewujudkan proses demokratisasi.

Sebagai Media Perjuangan

Robert Hassan (2004) dalam bukunya yang berjudul Media, Politics and Network Society memang pernah menggambarkan bagaimana perkembangan ICT ( information and communication technology) dan globalisasi kapitalisme telah mengakibatkan kelompok civil society menjadi terhegemoni. Tak ubahnya seperti masyarakat konsumer yang digambarkan Baudrillard (2006) sebagai masyarakat yang selalu menjadi target pasar bagi kekuatan industri budaya.

Tetapi, kalau melihat apa yang terjadi dan dilakukan para netizen belakangan ini, tampaknya sinyalemen Hassan di atas kini tidak lagi sepenuhnya benar. Para netizen saat ini tampaknya tidak lagi sepenuhnya merupakan bagian dari masyarakat konsumen yang serba-apatis dan hanya dikendalikan selera yang diciptakan kapitalis atau kelompok yang senantiasa tunduk pada kekuasaan.

Ketika kesadaran, kepedulian, dan sikap kritis masyarakat makin meningkat, sedangkan informasi yang bisa diakses juga makin beragam, yang namanya hegemoni dari kelas-kelas yang berkuasa kini tidak lagi selalu efektif membungkam suara civil society atau suara masyarakat dari bawah.

Di era digital seperti sekarang, media massa dan internet telah memungkinkan pemberdayaan warga masyarakat untuk berani bersuara dan bertukar informasi tanpa dibatasi dan dipengaruhi bias kelas sosial. Internet, media sosial, dan media massa telah terbukti memiliki potensi untuk mendorong perkembangan demokrasi.

Sebab, mereka memiliki karakteristik interaktif, bertautan dengan jaringan global, menjamin kebebasan berbicara, mampu memfasilitasi relasi sosial yang bebas, memungkinkan pembagian informasi tanpa harus terancam sanksi, dan memungkinkan user mengembangkan identitas global maupun lokal.

Dengan memanfaatkan blog, Facebook, Twitter, BlackBerry Messenger, situs ( website), diskusi online, mailing list, dan sebagainya yang leluasa dan selalu terbuka setiap saat untuk diakses siapa pun tanpa bisa dibatasi regulasi politik, kalangan netizen kini memiliki peluang untuk turut berperan aktif mengembangkan demokrasi.

Seperti dikatakan Habermas, yang dimaksud public sphere atau ruang publik adalah sebuah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara berbicara dan terlibat dalam berbagai silang pendapat serta secara bersamasama membentuk pendapat umum [lihat: Hardiman (ed), 2010].

Melalui kehadiran ruang publik, masyarakat dapat mengorganisasi diri untuk membangun pendapat umum, melontarkan kritik, dan bertindak sebagai watchdog. Semua itu merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil yang madani untuk melakukan kontrol demokratik terhadap perilaku kelas yang berkuasa dan kelas kapitalis yang acap kali mengeksploitasi masyarakat.

Dalam ruang publik, yang penting bukanlah jumlah kehendak-kehendak individual dan bukan sebuah ”kehendak umum” yang merupakan sumber legitimasi. Melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi deliberatif, argumentatif, diskursif, suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama, yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas revisi (Hardiman, 2009 : 130).

Dengan tersedianya ruang publik yang konstruktif dan produktif, niscaya para netizen akan dapat mendorong perkembangan proses demokratisasi yang menempatkan masyarakat –termasuk kelompok digital natives itu sendiri–sebagai subjek perubahan dan motor pembangunan.

Merawat Peran Agora Elektronik

Ruang publik pada dasarnya adalah agora elektronik. Agora adalah sebuah pasar yang berkembang di Athena yang berfungsi sebagai tempat bagi warga untuk berkumpul, berbincang, berdebat, bergosip, dan berdialog mencari solusi atau titik temu. Juga menciptakan konsensus dan menemukan titik lemah gagasan-gagasan politik yang ada dengan mendebatnya.

Sementara itu, yang disebut agora elektronik adalah ruang dalam cyberspace yang menjadi arena bagi seluruh warga masyarakat atau komunitas cyber untuk menyampaikan apa pun aspirasi sosial politik mereka. Bagi para netizen, peluang untuk mengembangkan agora elektronik dan memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk mempercepat persemaian aksi perlawanan, dukungan dan kehidupan yang demokratif, serta ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society sebetulnya sangatlah terbuka.

Meski demikian, perlu disadari, mendorong para netizen untuk terus terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif bukanlah hal yang mudah. Youniss & Levine (2009) dalam bukunya, Engaging Young People in Civic Life, menyatakan, membuka minat dan antusiasme anak muda sebagai netizen agar terlibat dalam proses pengembangan demokrasi tidak hanya harus dilakukan sejak dini. Tapi juga mesti melalui peleburan isu tersebut dalam kurikulum pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar