Sabtu, 29 Agustus 2015

Rupiah dan Etika Pasar Uang Global

Rupiah dan Etika Pasar Uang Global

Augustinus Simanjutak  ;  Dosen Etika Bisnis Program Manajemen Bisnis
Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra Surabaya
                                                      JAWA POS, 26 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NILAI tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) akhirnya menyentuh level Rp 14.000 per USD sejak Senin (24/8). Rupiah sudah berada dalam posisi undervalue yang memicu kekhawatiran dunia usaha, terutama pascadevaluasi mata uang Tiongkok (yuan). Bukan hanya rupiah, mata uang lainnya serta bursa saham global juga terkena imbas devaluasi yuan. Dikhawatirkan, langkah devaluasi di Tiongkok bakal diikuti banyak negara sehingga berujung perang kurs global (global currency war) .

Merosotnya nilai rupiah merupakan dampak dari budaya pasar global yang eksis tanpa batas-batas transaksi dan etika perilaku. Pasar uang global seperti wilayah yang tak berotoritas sehingga setiap negara maupun pelaku pasar memiliki kebebasan mutlak untuk bertindak atau bertransaksi demi keuntungan masing-masing. Kondisi sekarang mirip dengan krisis 1997–1998 dan 2008. Menurut Hoje Jo cs (1998), krisis semacam itu merupakan dampak penyalahgunaan sekuritas derivatif (misuse of derivatives) yang bersifat spekulatif. Risikonya bisa tertransfer secara cepat ke institusi lain.

Karena itu, forum Global Sustainable Currency Summit (GSCS) di Xi’an, Tiongkok, pada September 2012 pernah membahas etika kebijakan dan transaksi di pasar uang global demi menjamin masa depan dunia yang berkelanjutan. Sebab, menurut Christoph Stueckelberger (narasumber GSCS), hampir 90 persen transaksi di pasar uang global cenderung spekulatif dan tidak link dengan ekonomi riil. Untuk itu, Christoph mengusulkan pentingnya aturan/aturan bersama soal transaksi di pasar global.

Misalnya, sungguh tidak etis jika devaluasi di suatu negara akhirnya menghantam ekonomi dan mata uang negara lain. Perjanjian formal yang berupa ragam restriksi lewat forum World Trade Organization (WTO) seolah tak bisa diterapkan di pasar uang global. Itu berarti perilaku di pasar global bergantung etika para pelaku dan pengambil kebijakan kurs. Ironisnya, nilai mata uang suatu negara sudah bergantung pada persepsi pelaku pasar atas gejolak atau isu yang mengemuka. Karena itu, nilai mata uang mestinya diukur berdasar kinerja dan kemampuan ekonomi secara riil di suatu negara, bukan persepsi di pasar uang.

Selain itu, nilai mata uang seharusnya bersifat long term dengan kebutuhan penukaran (transaksi) yang riil, tidak menjadi orientasi profit jangka pendek (short term). Kenyataannya, mata uang setiap negara bisa berubah dalam hitungan detik gara-gara permainan atau guncangan di pasar global. Akibatnya, banyak transaksi antarnegara yang sulit mematok nilai kurs yang tetap karena gelombang fluktuasi di pasar global.

Banyak pelaku pasar saham global dan domestik yang memakai dolar AS (USD) sebagai alat transaksi. Karena itu, saat terjadi capital inflow atau hot money ke suatu negara, terbentuklah economic bubble (gelembung ekonomi) yang ditandai dengan indeks harga saham yang melonjak naik. Anehnya, situasi seperti itu sering dianggap sebagai bulan madu di bursa saham sekaligus membuat kurs di negara tersebut cenderung menguat (sementara). Namun, sebaliknya, kala hot money itu kembali keluar secara besar-besaran gara-gara isu global plus penjualan masif oleh para pelaku pasar, indeks harga sahamnya akan terkoreksi tajam.

Make Money vs Make Product

Nilai kurs negara itu akhirnya ikut anjlok. Artinya, derasnya dana asing yang masuk ke suatu negara lewat pasar uang tidak lepas dari motivasi yang tidak etis para pelaku pasar yang hanya berorientasi pada untung cepat dan besar (high gain) dari fluktuasi harga saham tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap sistem keuangan global. Uang dan saham yang seharusnya merupakan objek investasi dalam menunjang proses produksi telah berubah menjadi objek spekulasi dengan pola buy low, sell high. Pasar saham seharusnya bertujuan mendukung proses produksi (make real product) demi pembangunan ekonomi dan masyarakat yang berkualitas.

Kenyataannya, banyak pelaku pasar yang hanya bermimpi meraih untung tak terbatas dari spekulasi harga saham (make money) lewat ”peternakan” uang di pasar global. Itulah pendistorsi bisnis investasi di pasar global yang mulai mirip dengan dunia judi. Pertanyaan etis bagi mereka yang meraih profit secara cepat dan berlipat ganda dari pasar modal: Dari manakah asalnya profit itu? Apakah ada prestasi bisnis berupa barang/jasa yang dihasilkan secara nyata sehingga para pelaku pasar berhak mendapatkan kontraprestasi yang berlipat ganda?

Sebagaimana dikatakan Henry Ford: A business that makes nothing but money is a poor business. Artinya, bisnis yang kaya itu harus menghasilkan barang/jasa yang bisa dinikmati masyarakat. Idealnya, mayoritas modal yang sedang berputar di pasar uang global diarahkan untuk pengembangan sektor riil guna menghasilkan produk barang/jasa yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Di tengah naiknya harga daging sapi akhir-akhir ini, kita butuh modal untuk peternakan sapi (make product), bukan untuk beternak uang (make money).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar