Rabu, 26 Agustus 2015

Tafsir Reshuffle Kabinet Jokowi-JK

Tafsir Reshuffle Kabinet Jokowi-JK

M Qodari  ;   Direktur Eksekutif Indo Barometer Jakarta
                                                      JAWA POS, 13 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TEKA-TEKI reshuffle Kabinet Jokowi-JK akhirnya terjawab pada Rabu, 12 Agustus 2015, pukul 13.00 WIB. Jokowi mengganti tiga Menko (Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman), dua menteri (menteri bappenas dan menteri perdagangan), plus sekretaris kabinet.

Setiap reshuffle terjadi, umumnya orang akan menilai dari dua aspek: kinerja dan konstelasi politik. Bagaimana kita membaca aspek kinerja dan konstelasi politik dalam reshuffle kali ini?

Soal kinerja, pertama-tama menarik melihat bahwa reshuffle kali ini melibatkan begitu banyak pos Menko. Rasanya belum pernah ada presiden Indonesia yang mengganti Menko sebanyak ini sekaligus. Dari sisi ini, kita bisa menafsirkan bahwa Presiden Jokowi sangat ingin memperbaiki kinerja kabinetnya dengan meningkatkan koordinasi antarmenteri.

Saya pribadi memahami itu karena sesungguhnya fungsi Menko sangat penting sebagai kepanjangan tangan presiden untuk menyelesaikan aneka masalah koordinasi maupun sinkronisasi teknis di setiap kementerian. Hal itulah yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada periode kedua pemerintahannya sangat intens dengan Menko-nya, khususnya Menkopolhukam Djoko Suyanto dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Di sisi lain, pertimbangan kemampuan komunikasi Menko juga, tampaknya,memengaruhikeputusan presiden. Menkopolhukam Tedjo Edy, misalnya, beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang dianggap blunder. Contohnya, menyebut pendukung KPK sebagai ’’rakyat tidak jelas’’ –padahal, mereka tokoh masyarakat yang sangat dikenal. Atau, larangan salah satu kubu di Golkar menyelenggarakan meusyawarah nasional (munas) di Denpasar.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil memang tidak sekontroversial Tedjo. Namun, beberapa pernyataannya soal kondisi ekonomi dan nilai tukar rupiah yang lemah –bagi sebagian kalangan– dianggap terlalu mengentengkan masalah.

Pada titik itu, pengangkatan Menkopolhukam yang baru, Luhut B. Panjaitan, adalah tepat. Dari segi kompetensi, Luhut sangat relevan karena dia mantan tentara. Dia senior dan juga paham politik karena pernah menduduki jabatan sipil, misalnya Dubes Indonesia untuk Singapura pada zaman B.J. Habibie serta menteri perindustrian dan perdagangan di era Gus Dur. Dia juga dikenal sebagai seorang pelobi dan punya jaringan luas. Komunikasinya juga relatif tertata dan, yang penting, kenal dekat Jokowi semenjak lama.

Darmin Nasution adalah pilihan yang kiranya diterima pasar dengan baik. Citra Darmin mungkin tidak sekuat Mulyani Indrawati yang dijuluki ’’pemain bintang’’ ekonomi Indonesia. Namun, Darmin punya latar belakang yang sangat relevan, baik secara akademik maupun pengalaman.

Selain sebagai mantan ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan ekonom senior, Darmin lama di birokasi keuangan. Dia juga pernah menjabat gubernur BI pada masa Presiden SBY. Diharapkan, Darmin bisa mengatasi masalah serapan anggaran, melemahnya nilai tukar, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tempo yang secepat-cepatnya.

Yang mungkin agak disoal dari segi latar belakang adalah Rizal Ramli. Mengingat, latar belakang Rizal Ramli sebagai ekonom. Di sisi lain, pengalaman Rizal yang pernah menjabat menteri keuangan (2001) dan Menko Perekonomian (2000) diharapkan dapat membantu membangun institusi Menko Kemaritiman yang merupakan kemenko baru. Kemungkinan yang diharapkan Jokowi dari Rizal lebih kepada karakternya yang menggebugebu yang notabene dibutuhkan suatu kementerian baru.

Soal politik, tampak jelas bahwa Jokowi ingin mempertahankan konstelasi politik yang ada sekarang. Itu bisa kita lihat dari tidak adanya menteri baru yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP), baik itu PAN, Golkar, maupun Gerindra. Tampaknya, Jokowi cukup yakin bisa membangun komunikasi politik yang baik dengan KMP tanpa harus mengakomodasi mereka dalam kabinet.

Di sisi lain, penggantian Andi Widjajanto dan pengangkatan Pramono Anung sebagai sekretaris kabinet menunjukkan gesture politik yang jelas bahwa Jokowi ingin memperbaiki hubungan dengan PDIP yang, kabarnya, sempat renggang. Memang, salah satu faktor yang dituding sebagai penyebab kerenggangan itu ’’jalur’’ komunikasi antara PDIP dan Jokowi yang tertutup. Andi Widjajanto sendiri sering menjadi sasaran tembak kalangan PDIP.

Pengangkatan Pramono Anung juga diharapkan dapat memperbaiki komunikasi dengan pihak lain, bukan hanya PDIP. Senioritas dan jaringan Pramono Anung yang luas (ingat, Pramono Anung pernah menjadi Sekjen PDIP dan wakil ketua DPR) memungkinan hal tersebut.

Di sisi teknis, sebagai Sekkab yang baru, Pramono harus memperbaiki administrasi Kantor Sekkab yang dianggap sering kedodoran. Pengalaman Pramono menjadi Sekjen PDIP dapat berperan di sini.

Demikianlah, secara keseluruhan, kita melihat benang merah reshuffle kabinet Jokowi-JK kali ini ’’memperbaiki koordinasi kerja kabinet dan konsolidasi politik dengan PDIP’’. Dari aspek memperbaiki koordinasi, saya punya harapan bahwa tiga menteri koordinator baru tersebut memiliki kapasitas yang lebih menjanjikan daripada ketiga menko sebelumnya.

Untuk aspek politik, lebih sulit untuk memastikannya. Yang jelas, pada hari-hari ini, Jokowi tampak akrab dengan Megawati Soekarnoputri, mulai semobil pulang dari acara Alumni GMNI, penggantian Andi Widjajanto dan pengangkatan Pramono Anung sebagai Sekkab, serta kehadiran Megawati dalam acara pelantikan hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar