Minggu, 27 September 2015

Bang Buyung dalam Kenangan

Bang Buyung dalam Kenangan

Albert Hasibuan  ;  Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014
                                                     KOMPAS, 25 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Prof Dr Adnan Buyung Nasution, SH, atau lebih dikenal dengan Abang Buyung, telah tiada. Bang Buyung meninggal Rabu, 23 September 2015, pagi di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Kita semua, terutama kawan-kawan seperjuangannya, menundukkan kepala dan menyatakan belasungkawa sedalam-dalamnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Saya pertama kali mengenal Bang Buyung ketika sebagai mahasiswa tahun 1959 memperoleh sebuah diktat ilmu negara. Diktat itu, berupa stensilan, merupakan terjemahan buku Web of Government karangan MacIver dari Adnan Buyung Nasution.

Saya merasa diktat Buyung ini, selain untuk kuliah hukum negara (staatsrecht), juga berguna waktu itu untuk mempelajari Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 ”kembali ke UUD 1945”, yang masih dibicarakan orang. Kebijakan Presiden Soekarno itu mendapat pembenaran dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Djokosoetono, yang menyatakan negara dalam keadaan darurat, yaitu, tepatnya, berdasarkan hukum negara darurat (staatsnoodrecht).
Saya menilai diktat Buyung ini dapat membantu mendalami dan mengerti tentang kebijakan Presiden Soekarno, dilihat dari sudut hukum negara. Saat itu, saya terkesan terhadap kemampuan akademis Buyung.

Tahun 1966, saya aktif di Laskar Ampera Arief Rachman Hakim/KAMI sebagai Ketua A Yani. Saya mendengar Buyung, masih menjadi jaksa, aktif menentang Orde Lama, sebagai pimpinan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) bersama Haryono Tjitrosubono. Saya juga mengetahui Buyung mempunyai cita-cita untuk mendirikan suatu lembaga bantuan hukum guna membantu masyarakat kurang mampu yang memerlukan bantuan hukum.

Ketika Yon Yani juga membentuk Lembaga Konsultasi Hukum (LKH), dalam kesempatan ke Singapura tahun 1968, saya bertemu Buyung di Goodwood Park Hotel, Scotts Road. Dalam pertemuan itu, saya menceritakan pengalaman dalam mengelola LKH Yon Yani selama dua tahun. Buyung pun mengemukakan dasar bantuan hukum dan kami kemudian bertekad untuk bersama-sama membentuk sebuah lembaga bantuan hukum yang terorganisasi dengan rapi.

Pertemuan di Singapura adalah salah satu kejadian yang menentukan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dua tahun kemudian. Mulai saat itu, saya terkesan, Buyung seorang idealis yang ingin membantu masyarakat kurang mampu di bidang hukum. Kemudian, dia meminta organisasi advokat Peradin menjadi sponsor pendirian LBH pada 28 Oktober 1970. LBH dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di kantor Gubernuran DKI Jakarta.

Ali Sadikin melantik Buyung selaku ketua dan saya sebagai sekretaris. Pengurus LBH lainnya, seingat saya, seperti Minang Warman, Victor Sibarani, Kusriani, Sukayat, Yap Thiam Hien, dan Nazar Nasution. Waktu dilantik, kami memakai kemeja putih dengan dasi. Kantor LBH saat itu di Jalan Ketapang, dekat Jalan Gadjah Mada.

Saya bertugas penuh menjalankan kantor. Dana untuk operasional LBH, saya ingat, diperoleh dari Ali Sadikin yang mengalokasikan Rp 300.000 setiap bulan dari anggaran belanja Pemerintah DKI Jakarta. Kegiatan LBH makin meningkat, terutama membela masyarakat miskin, sehingga Mayor Jenderal Ali Moertopo yang, waktu itu, menjabat Asisten Pribadi Presiden Soeharto menyumbangkan beberapa skuter, yang diterima Buyung, dan dipakai untuk kegiatan operasional pembela umum.

Saat beberapa tahun kemudian terjadi peristiwa Malari pada 14 Januari 1974, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia, terjadi kerusuhan dan perusakan massal. Buyung bersama aktivis lainnya ditahan Kopkamtib.

Saat di tahanan, ia mendengar, saya, sebagai sekretaris, ingin mengambil alih LBH. Pengurus LBH dipimpin Minang Warman mengadakan rapat di Slipi. Saya hadir ditemani Erman Radjagukguk. Saya katakan, berita itu tidak benar. Setelah keluar dari tahanan, Buyung berkata, ”Abang salah sangka terhadap Albert.”

Dilarang bicara

Buyung juga aktif di Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), yang waktu itu diketuai Mayor Jenderal EJ Kanter. Saya ingat, bersama Buyung, Haryono Tjitrosubono, dan Harry Tjan Silalahi menghadiri konferensi Law Asia di Manila tahun 1971. Di konferensi itu, dalam satu komisi, dia berbicara tentang bantuan hukum di negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan semangat menggebu-gebu.

Ketika konferensi Law Asia di Jakarta, Buyung dilarang berbicara oleh Kopkamtib. Larangan itu datang dari Jenderal Soemitro. Saya berpikir, Buyung mulai kritis terhadap penguasa.

Saya ingat diminta Buyung untuk membela mahasiswa ITB di PN Bandung. Mahasiswa itu, angkatan 1978, dituduh melakukan penghinaan terhadap kepala negara, Presiden Soeharto. Saya membela Sukmadji Indro Tjahyono yang mendapat hukuman 11 bulan penjara. Indro sudah ditahan selama 10 bulan. Pada waktu vonis itu, dia praktis bebas. Kesan saya, Buyung senang membela kasus ketidakadilan.

Salah satu tujuan hidupnya secara akademis terpenuhi saat Buyung dengan sukses mempertahankan disertasi berjudul ”Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia” di Universitas Utrecht tahun 1992. Promosi itu mendapat perhatian banyak orang. Karya Buyung ini sangat baik. Disertasi Buyung ini memberi sumbangan besar untuk masyarakat Indonesia dalam menjalankan UUD 1945 dengan baik, terutama mematuhi prinsip hak asasi manusia (HAM) yang tertera di Konstitusi.

Namun, dia tak setuju dengan pendirian Komnas HAM tahun 1993. Ia menyangsikan Komnas HAM, karena inisiatif pemerintah, akan bisa memperjuangkan dan membela rakyat Indonesia di bidang HAM. Ternyata, Komnas HAM menjadi lembaga yang efektif dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.

Ketika memimpin Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Timor Timur tahun 1999, saya ditemui Buyung, yang juga dihadiri pejabat dari Hankam, di Hotel Grand Mahakam, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Buyung bertanya, apakah saya dalam kasus Timtim bisa memutuskan menggunakan pertanggungjawaban moral dan tidak menggunakan tanggung jawab komando atau command responsibility. Saya menolak permintaan itu sebab setiap anggota KPP HAM Timtim telah menentukan berdasarkan hati nurani. Pada 31 Januari 2000 saya sampaikan laporan KPP HAM Timtim tersebut kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman. Waktu itu saya kecewa.

Saat Buyung menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden tahun 2007-2009, saya diundang untuk berbicara dalam seminar tentang amandemen konstitusi UUD 1945. Seminar itu adalah persiapan untuk mengajukan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang amandemen kembali konstitusi yang diprakarsai Buyung. Saya sependapat tentang amandemen kembali konstitusi ini.

Sebagai akhir, dari pergaulan selama bertahun-tahun, Buyung adalah tokoh hukum idealis yang bersifat conscience intellectual (intelektual berhati nurani). Kita kenang kepergiannya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar