Minggu, 27 September 2015

Beranikah Aku?

Beranikah Aku?

Jean Couteau ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 27 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia kini demokratis, katanya. Bahkan tidak terlalu jauh dari model idealnya. Nasionalisme tidak lagi digandeng untuk mempromosikan suatu Demokrasi Pancasila yang diktatoris. Dan, betapa besar pun sukses ekonomi yang direngkuh Tiongkok, tiada ada seorang pun di negeri ini yang masih mimpi tentang Demokrasi Rakyat ala Tiongkok: Sejarah telah bersabda.

”Demokrasi” telah mengambil suatu artian yang lebih ”universal”; semakin umum dipersepsikan sesuai dengan artian normatif klasik, yaitu sebagai sistem politik yang memungkinkan dan mengatur tawar-menawar terbuka antara kekuatan-kekuatan sosial-politik, ditopang oleh Trias Politica (pemisahan eksekutif, legislatif dan yudikatif), perangkat hukum yang andal serta kebebasan berekspresi. Tak ayal dampaknya tampak positif: para politikus boleh diserang, dan ”wacana kebencian” yang kerap menghantui negara-negara multi-kultural lainnya kini tidak terlihat hadir di kalangan terdidik Indonesia. Luar biasa!

Meskipun demikian, aku tidak ingin terlampau memuji. Kenapa? Karena koridor kebebasan berpikir masih relatif sempit; masih dihantui aneka masalah struktural dan memori politik yang membebaninya. Selain batasan terkait agama dan kebangsaan—yang tertera secara hukum di dalam Undang-Undang Dasar dan ideologi negara—terdapat juga ”ruang tabu” lain yang cukup luas. Meski tak begitu jelas batasannya, begitu disentuh, dapat seketika menimbulkan reaksi tak terduga. Itu yang aku kerap uji di tulisanku.

Jadi, kalau aku menulis di dalam bahasa Indonesia, aku sering berhenti sejenak untuk berpikir: beranikah aku membicarakan hal ini? Dengan humor sarkastik? Bagaimana agar tetap berada di ambang tabu—dari sudut hukum, sosial dan politik—tanpa terbawa untuk melanggarnya secara terlalu gamblang. Tidak semudah itu.

Ada kalanya tabu yang ingin saya persoalkan menyangkut hukum yang rancu. Misalnya perihal pasal penghinaan presiden. Sekitar dua tahun yang lalu, aku pernah menulis kolom ”Udar Rasa” berjudul ”Dilema Busana Seorang Joko”. Aku memakai kata ”kau” kepada si Joko, sembari mencoba-coba memberikan ”arti” politik pada baju kotak yang dipakainya. Kini situasi telah berubah: si ”dia” sudah menjadi ”beliau”. Maka apakah aku kini masih boleh berbicara tentang busana sang presiden seperti aku dua tahun yang lalu berbicara tentang busana si Joko? Apakah aku boleh menyesalkan bahwa baju-baju berkotaknya telah ditanggalkan begitu saja, untuk diganti baju pekerja partai? Apakah dengan kata ini aku melecehkan pemangku jabatan tertinggi negeri ini? Aku tidak tahu.

Ada kalanya tabu yang ingin saya bongkar bersifat sosial. Yang paling umum menyangkut makhluk tak jelas yang bernama SARA. Bisa saja terjadi bahwa kita, termasuk aku, melanggar tabu SARA justru ketika hendak mendukung toleransi. Misalnya menyanjung-nyanjung toleransi di Indonesia adalah semacam ”kewajiban”, tetapi jangan coba terlalu memuji kenyataan etno- kultural yang melandasinya. Jangan pernah berkata bahwa, habis berpindah agama untuk nikah, orang yang bersangkutan lalu kerap kembali ke keyakinan asalnya. Dan jangan menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Risikonya akan disensor atau dikucilkan atas dasar SARA. Sensitif. Seolah-olah kelompok-kelompok agama wajib hidup tersekat satu terhadap lainnya, tanpa adanya ruang sosial bersama, termasuk perihal keyakinan dan hubungan cinta. Yang rugi atas tabu ini ialah sastra—yang terhalangi membicarakan kompleksitas psikologis yang lahir dari kompleksitas sosial masyarakat Indonesia.

Namun contoh tabu yang paling aneh yang kerap ingin saya angkat menyangkut suatu akronim politik. Seolah-olah akronim ini menjadi simbol yang lebih real daripada realitas itu sendiri; dan seolah akronim ini berbahaya karena secara magis mampu melahirkan kembali realitas masa lalu. Apa akronim itu? Berpikirlah sejenak: sebagian besar dari akronim bahasa Indonesia dibuat dengan huruf ”P” dan ”K”, dua awalan yang membentuk paling banyak kata bahasa Indonesia. Apakah terpikirkan oleh Anda mengapa hingga kini belum ada satu pun Pusat Kebudayaan Indonesia di dunia. Mengertikah? Jangan-jangan Anda takut benaran pada akronimnya? He-he. Bila banyak di antara Anda sekalian takut, itu berarti bahwa Indonesia belum sepenuhnya ”sadar”, jadi belum sepenuhnya ”sembuh”!

Maka selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila yang betul-betul bebas dari tabu dan diilhami kesadaran. Keindahan pasti menyusul. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar