Minggu, 27 September 2015

Bergeming Setelah Pidato ”Rating”?

Bergeming Setelah Pidato ”Rating”?

Effendi Gazali ;  Peneliti Komunikasi Politik;
Berkesempatan Menyelesaikan Disertasi Bersama Profesor Denis McQuail:
Penulis Buku-buku Teks Utama tentang Media Performance
                                                     KOMPAS, 26 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jokowi telah membuat sejarah. Baru pertama kali kata ”rating” disebut khusus dalam pidato kenegaraan. Bahkan pada pidato kenegaraan pertamanya di depan MPR.

Dalam kesempatan itu Jokowi antara lain menyatakan, ”Lebih-lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi makin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif. Masyarakat mudah terjebak pada ’histeria publik’ dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional.”

Mengapa ”rating”?

Belum seluruh rakyat Indonesia memahami apa itu rating yang dimaksud Presiden. Namun, sebagian besar anggota MPR dan hampir semua insan media akrab dengan rating. Sederhananya, rating dapat berarti pemeringkatan berdasar jumlah khalayak yang diperoleh suatu sajian media. Di sana-sini ia dipertukarkan dengan ”sharing” yang mengacu pada seperberapa bagian jumlah khalayak yang diperoleh itu.

Dari sisi ilmu komunikasi mana pun, rating diperlukan. Ia merupakan pedoman, utamanya bagi pemasang iklan untuk mengekspos produknya ke sebanyak mungkin khalayak. Tentu akan ada segmen-segmen khusus untuk produk yang akan disesuaikan dengan karakteristik khalayak yang terekam dari rating.

Masalah rating sederhananya hanya dua. Pertama, apakah rating diukur dengan benar. Ini persoalan validitas dan reliabilitas. Mahasiswa yang lulus pelajaran statistik seyogianya bisa melakukan evaluasi. Pertanyaannya: konsistenkah rating di Indonesia dievaluasi, atau lebih tepatnya diaudit?

Dalam hal tersebut, sudah puluhan tahun pengguna rating di Indonesia relatif bergeming. Malah isu dialihkan menjadi: kalau tidak suka dengan yang ada, silakan membuat rating lain. Lalu hegemoni kapitalisme mutakhir langsung akan menyerbu. Kalau mau membuat rating lain, haruslah yang setara. Istilah yang lazim digaungkan ”apple-to-apple”. Belum lagi, mana mungkin melawan mereka. Pengalamannya sudah puluhan tahun. Juga telah beroperasi di puluhan negara. Bahkan memiliki teknologi waktu riil dan alat pencatat berteknologi termutakhir.

Padahal, belum banyak fakta ilmiah yang menyatakan teknologi tertentu yang termutakhir jauh lebih baik dalam mencatat apa itu ”menonton televisi”. Justru rekaman penelitian menunjukkan pemirsa tertidur di depan televisinya. Bahkan kadang hanya hewan peliharaan yang sedang menonton. Dalam pendekatan yang sangat kualitatif, apa yang terjadi kalau sekelompok orang sedang sepakat memaki-maki sebuah tayangan televisi selama sepuluh menit misalnya? Maka, selama itu—sebelum mereka pindah saluran—mereka tercatat sebagai bagian khalayak yang menonton dalam konteks ”menyukai” tayangan tersebut.

Beberapa pihak kini menyambut pidato Presiden dengan membuat sebuah rating. Kita belum tahu apakah ini akan terus- menerus, misalnya untuk enam bulan. Atau hanya sebagai sebuah stil foto untuk melakukan semacam audit. Yang jauh lebih substansial sebetulnya adalah mendirikan Konsil Rating Media. Di Amerika hal tersebut didirikan atas perintah Kongres sejak 1960-an. Tujuannya konkret. Satu, memastikan rating itu valid, reliabel, dan efektif. Dua, memastikan kriteria etika dan transparansi minimal kepada publik. Tiga, dapat melakukan audit terhadap proses rating. Empat, juga memberikan akreditasi.

Jadi, gebrakan membuat rating di luar penyedia jasa yang ada tentu bermanfaat. Namun, bagaimana kalau hasil dari dua (atau bahkan tiga) rating berbeda? Di situlah justru kehadiran Konsil Rating Media lebih substansial! Boleh saja punya satu rating asal memang valid dan reliabel setelah diaudit pihak kompeten dan punya otoritas. Sebaliknya, akan baik pula kalau Konsil Rating Media mengumumkan tidak ada hasil rating yang sementara ini valid dan reliabel daripada insan media serta khalayak disesatkan oleh pedoman yang keliru!

”Rating” itu dewa

Persoalan kedua dengan rating menyangkut bagaimana menggunakannya. Katakanlah telah ada satu rating teraudit. Tentu dia memetakan inilah selera pasar. Pertanyaannya: apakah seluruh selera pasar harus dipenuhi. Sebagian menjawab ya, utamanya untuk menghibur karena rakyat sudah lelah dengan beban hidup. Lebih banyak lagi ahli ilmu komunikasi menjawab tidak! Siapa pun yang lulus dari departemen atau fakultas ilmu komunikasi tidak layak mendewakan rating. Inilah yang kadang disebut sebagai lulusan tukang. Mereka seperti tidak pernah terpapar kuliah filosofi komunikasi.

Tegasnya: ketika rating menunjukkan selera pasar sedang berjalan ke arah berlawanan dengan nilai-nilai keutamaan bangsa, Jokowi (senada dengan ribuan ilmuwan komunikasi dari aneka masa) menyatakan harus ada upaya memperbaiki selera pasar tersebut! Karena itu, dalam Konsil Rating Media harus masuk juga organisasi pemasang dan pembuat iklan karena merekalah yang punya uang. Mereka yang sesungguhnya menentukan mau bergeming dengan selera pasar atau memperbaikinya.

Keadaan di tanah air kita sekarang terbalik. Direktur program TV yang bisa menebak dan menjaga selera pasar telah dipuja-puja bagai dewa. Bahkan pemilik stasiun umumnya takut kalau mereka ngambek atau pindah. Produser acara sibuk belajar tren apa yang sedang harus diikuti agar kebagian rating. Mulai dari merumuskan judul, memilih pengisi acara yang ”ramah rating”, sampai apakah hari ini harus berkonflik sensasional atau memelas di layar televisi.

Pemasang iklan cenderung diam. Mungkin sampai suatu saat kalau anggota keluarganya terkena dampak tindakan kekerasan, budaya instan, narkoba, dan tak produktif. Itu pun barangkali hanya sampai tingkat individu.

Berbagai artikel dan surat pembaca di Kompas telah memprotes selera ini dengan keras. Pemerhati kebudayaan Indra Tranggono dalam tulisan ”Revolusi Mental Belum Terjadi” (Kompas, 8/1/2015) mempertanyakan bagaimana revolusi mental bisa dilangsungkan jika menghadapi para penguasa modal industri hiburan di televisi saja pemerintah dan penyelenggara negara tidak mampu? Victor Menayang (alm), ketua pertama Komisi Penyiaran Indonesia, dalam diskusi di Leiden (2002) pernah menyatakan, media massa tidak boleh dikelola dengan pemikiran ”economic animal”.

Sementara itu, guru besar komunikasi Dedy Nurhidayat (alm) justru selalu mengharapkan masyarakat sipillah yang meneriakkan hal ini. Hampir mustahil terdengar dari pasar. Dan, selama sejarah Indonesia, belum pernah disuarakan (oleh) Istana.

Kini, justru Jokowi yang melantangkannya. Fakta memang memperlihatkan hasil rating cenderung berjalan berlawanan dengan proses revolusi mental. Setelah sebulan pidato berlalu, apakah DPR, Kemenkominfo, KPI, dan masyarakat sipil telah tepat mengelola momentum ini. Atau memilih bergeming seperti beberapa dekade terakhir?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar