Senin, 28 September 2015

Ketika Berbeda, Tengoklah Arafah

Ketika Berbeda, Tengoklah Arafah

Agus Mustofa ;  Penulis Buku-Buku Tasawuf Modern;  
Inisiator Rukyat Astrofotografi Indonesia
                                                    JAWA POS, 22 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERAYAAN Idul Adha tahun ini dipastikan berbeda. Muhammadiyah jauh-jauh hari sudah mengumumkan bahwa Hari Raya Idul Adha jatuh pada Rabu, 23 September. Sedangkan pemerintah, melalui sidang isbat (13/9), mengumumkan bahwa Idul Adha dilaksanakan pada Kamis, 24 September 2015. Dan Nahdlatul Ulama (NU), berdasar rukyatnya, menetapkan Idul Adha sama dengan pemerintah.

Meskipun reaksi masyarakat tidak seheboh tahun-tahun lalu, umat masih terus bertanya-tanya mengapa perbedaan ini masih terus terjadi. Dan yang lebih penting, bagaimana seharusnya perbedaan itu bisa diselesaikan secara mendasar sehingga berlaku permanen dalam jangka panjang. Ketika perbedaan kriteria secara akademis masih belum juga bisa disamakan, kembali mengacu pada sunah Rasulullah SAW adalah jalan yang terbaik.

Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang pelaksanaan puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut. ”Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan Arafah kalian adalah di HARI kalian melakukan WUKUF di Padang Arafah.” [Diriwayatkan AsySyaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; sahih dari ’Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no 4224]
Poin penting hadis di atas terkait dengan apa yang sedang kita bahas adalah menjadikan hari wukuf sebagai pedoman untuk melakukan puasa Arafah. Hal ini dipertegas Lajnah Daimah alias Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiah Arab Saudi. 

”Hari Arafah adalah hari di mana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika Anda ingin puasa Arafah, maka Anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika Anda puasa SEHARI SEBELUMNYA, tidak masalah (BOLEH).” (Fatwa Lajnah Daimah no 4052)

Itulah sebabnya, dalam sejumlah hadis diceritakan berkali-kali keterkaitan antara puasa Arafah dan wukuf di Padang Arafah. Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits: Bahwasanya orang-orang berdebat di sisinya pada hari Arafah tentang puasa Nabi SAW. Sebagian dari mereka berkata: ”Beliau berpuasa.” Sebagian lain berkata: ”Beliau tidak berpuasa.” Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan ke- pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wukuf di atas untanya. Maka beliau meminumnya.” [HR Bukhari no 1988 dan Muslim no 1123]
Selain itu, At-Tirmidziy Rahimahullah berkata: ”Para ulama menyenangi puasa di hari Arafah, kecuali jika berada di Arafah (melaksanakan wukuf haji).” [ Sunan At-Tirmidziy, 2/116]

Dari berbagai hadis dan penjelasan di atas, tidak bisa dimungkiri, puasa Arafah terkait erat dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah. Termasuk waktu penyembelihan kurban. Semua itu tidak terlepas dari ritual ibadah haji di Tanah Suci.

Lantas, bagaimana menjelaskan catatan sejarah bahwa Rasulullah sudah berpuasa Arafah sebelum adanya wukuf di Arafah? Secara kaidah fikih tidak menjadi masalah. Bahwa sesuatu yang dihukumkan paling akhir adalah menjadi penjelas dan penentu bagi hukum yang terdahulu.

Jadi, bisa saja awalnya puasa Arafah itu tidak terkait dengan tempat dan peristiwa wukuf. Tapi, di akhir-akhir masa kenabian, Rasulullah menegaskan –agar tidak terjadi perselisihan– bahwa hari Arafah adalah hari ketika jamaah haji sedang wukuf di Arafah. Dan sunah yang terakhir itulah yang semestinya diikuti umat Islam di seluruh dunia.

Lantas, bagaimana wilayah-wilayah yang berjauhan dengan Makkah? Rasulullah memerintahkan mengikuti keputusan penguasa Makkah meskipun beliau tinggal di Madinah sebagai pusat pemerintahan waktu itu. Hal tersebut bisa disimpulkan dari hadis berikut.

Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata: ”Bahwasanya pemimpin Kota Makkah pernah berkhotbah, lalu berkata: ’Rasulullah SAW telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan rukyat. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi adil menyaksikan (hilal), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [Diriwayatkan Abu Dawud no 2338; sahih]

Hadis tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah yang berdiam di Kota Madinah memerintah penguasa Kota Makkah untuk melakukan rukyat sebagai rujukan penetapan datangnya Idul Adha. Kota Madinah saat itu berjarak sekitar seminggu perjalanan naik kuda.

Tidak menjadi masalah karena Idul Adha adalah hari kesepuluh Zulhijah. Dan yang lebih substansial, sesungguhnya seluruh peribadatan yang terkait dengan Idul Adha dan puasa Arafah memang seharusnya mengacu pada peristiwa haji di Kota Makkah. Ini adalah Hari Raya Haji.

Bisa dibayangkan, jika saat itu Rasulullah memerintahkan agar setiap kota di mana umat Islam berada mengadakan sendiri Idul Adha dan puasanya, padahal pemimpinnya satu, yaitu Rasulullah. Maka, umat Islam akan menjadi terkotak-kotak seperti sekarang. Nabi tidak melakukan pengotak-ngotakan itu, namun memerintahkan agar semuanya mengacu ke Kota Makkah sebagai lokasi penyelenggaraan haji. Wallahu a’lam bis-sawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar