Rabu, 23 September 2015

Mengapa Penduduk Miskin Pedesaan Naik?

Mengapa Penduduk Miskin Pedesaan Naik?

Bagong Suyanto  ;  Pengajar Mata Kuliah Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Program Pascasarjana FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                    JAWA POS, 19 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KETIKA pemerintah menaikkan harga BBM, kemungkinan terjadinya kenaikan jumlah penduduk miskin sebetulnya sudah bisa diduga. Tetapi, yang mengejutkan adalah ketika BPS melaporkan kenaikan jumlah penduduk miskin lebih banyak terjadi di pedesaan daripada di perkotaan.

Maret 2015, jumlah penduduk miskin perkotaan mencapai 10,65 juta orang (8,29 persen) atau naik 290 ribu orang dari September 2014 sebanyak 10,36 juta orang. Sementara itu, pada bulan yang sama, jumlah penduduk miskin di pedesaan tercatat 17,94 juta orang atau naik 570 ribu dari September 2014 sebanyak 17,37 juta orang.

Secara persentase, angka kemiskinan di pedesaan naik dari 13,76 persen pada September 2014 menjadi 14,21 persen pada Maret 2015. Padahal, secara nasional, persentase penduduk miskin dilaporkan menurun, yakni dari 11,25 persen pada Maret 2014 menjadi 11,22 persen pada Maret 2015.

Kehilangan Stamina

Kenaikan jumlah penduduk miskin di pedesaan itu menarik dikaji lebih jauh. Sebab, jika dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan, daya tahan dan mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat pedesaan biasanya lebih kenyal.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang cenderung kontraktual dan impersonal, di pedesaan umumnya masih ada pranata-pranata sosial yang fungsional untuk mengeliminasi dampak tekanan kemiskinan.

Dukungan jaring pengaman sosial dari kerabat dan kohesi sosial yang kuat di antara masyarakat pedesaan selama ini sebenarnya selalu terbukti efektif untuk menahan tekanan kebutuhan hidup yang terus naik. Jadi, kalau sekarang dilaporkan penduduk miskin di pedesaan meningkat, apakah itu merupakan indikasi bahwa pranata sosial lokal dan kohesi sosial masyarakat di pedesaan mulai pudar?

Ataukah tekanan krisis ekonomi yang dihadapi masyarakat pedesaan saat ini benar-benar sudah kelewat batas dan tidak bisa lagi ditoleransi oleh kemampuan dan daya dukung sosial masyarakat di pedesaan?

Dari studi yang dilakukan penulis di sejumlah daerah di Provinsi Jawa Timur (2014–2015), selama ini memang ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan mulai kehilangan stamina untuk mempertahankan kehidupan mereka. Jangankan mampu menyiasati situasi krisis, kenyataannya, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang mengalami pengikisan modal.

Selain itu, nilai tukar komoditas pertanian yang dihasilkan petani di pedesaan menurun. Nilainya makin tidak sebanding dengan harga berbagai kebutuhan seharihari mereka.

Berdasar hasil pantauan harga pedesaan di 33 provinsi pada Maret 2015, NTP (nilai tukar petani) nasional turun 0,64 persen jika dibandingkan dengan NTP Februari 2015, yaitu dari 102,19 menjadi 101,53. Penurunan NTP pada 2015 disebabkan naiknya indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah konteks relasi antara petani dan pihak-pihak lain yang umumnya asimetris, bahkan tak jarang eksploitatif.

Dalam banyak kasus, petani yang rentan dan bergantung pada tengkulak niscaya akan sulit memperoleh harga yang proporsional atas produk pertanian yang mereka hasilkan. Sebab, posisi tawar mereka lemah.

Faktor Penyebab

Selain menurunnya nilai tukar komoditas, faktor lain yang mengakibatkan penduduk miskin di pedesaan meningkat sesungguhnya juga berkaitan dengan dua hal.

Pertama, adanya fenomena pengalihan beban akibat dampak kenaikan harga BBM dari kelas atau pelaku usaha menengah ke pelaku usaha kecil dan mikro. Penduduk miskin di pedesaan sering harus menerima nasib upah mereka dikurangi dan keuntungan mereka berkurang.

Studi yang dilakukan penulis di Jawa Timur menemukan sejumlah pekerja home industry kerupuk yang umumnyamenerimapinjamanmodal untuk kulakan bahan baku dalam jumlah tetap. Mereka diwajibkan tetap menyetorkan kerupuk kepada majikan seperti biasa.

Padahal, harga berbagai bahan baku pembuatan kerupuk seperti tepung, gula, dan cabai sudah naik di pasaran.

Kedua, iklim persaingan di lahan usaha penduduk miskin makin ketat dan berat. Hal itu terjadi karena intervensi kelas sosialekonomi di atasnya yang memilih menurunkan skala usaha untuk menghindari iklim persaingan yang berat di kelasnya.

Lampu Merah

Kenaikan penduduk miskin di pedesaan, sebagaimana dilaporkan BPS tersebut, sudah tentu merupakan lampu merah dan peringatan serius yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK. Mempercepat pencairan dana pembangunan dan pengguliran dana pembangunan desa di satu sisi memang akan menjadi stimulus dinamika kehidupan dan perekonomian masyarakat miskin pedesaan.

Tetapi, sejatinya masih ada tanda tanya apakah percepatan pengguliran dan pencairan dana pembangunan merupakan solusi yang bisa dipastikan efektif. Sepanjang posisi tawar (bargaining position) masyarakat miskin di pedesaan masih lemah dan kemampuan mereka mengakses sumber-sumber permodalan dan pasar juga masih rendah, jangan kaget jika program-program yang dicanangkan pemerintah akan sia-sia. Hasilnya justru hanya akan dinikmati kelas menengah ke atas, bukan masyarakat miskin yang menjadi target.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar