Minggu, 27 September 2015

Menyiapkan Kodok Rebus

Menyiapkan Kodok Rebus

Kartono Mohamad  ;  Mantan Ketua PB IDI
                                                     KOMPAS, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Fenomena ”kodok rebus” sudah banyak diketahui. Kalau kita merebus kodok dalam air dingin yang dipanaskan secara berangsur, kodok tak akan meloncat menghindari panas. Ia akan diam saja sampai akhirnya meloncat ketika air sudah sangat panas, tetapi gagal dan mati.

Saat ini, pemerintah dan parlemen Indonesia pun sedang menyiapkan kodok rebus bagi generasi muda. Mungkin Presiden Joko Widodo punya Nawacita yang menghendaki bangsa Indonesia sanggup bersaing dengan bangsa lain melalui sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Namun, antara cita-cita dan yang dilakukan bisa berbeda karena para bawahannya tidak menghayati cita-cita itu.

Tidak ada konsep jelas bagaimana menyiapkan SDM yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Yang dilakukan justru kebijakan yang akan merusak generasi muda. Terutama dalam melindungi mereka dari bahaya rokok. Kalangan kesehatan sedunia dan bahkan pabrik rokok sendiri mengakui bahwa rokok berdampak ketagihan dan berangsur membahayakan kesehatan. Namun, kebijakan pemerintah dan parlemen justru ingin menambah anak dan remaja yang ketagihan rokok.

Ini tecermin, misalnya, dari kebijakan Menteri Perindustrian yang memilih menaikkan produksi rokok daripada menaikkan tarif cukai dengan alasan menambah pendapatan negara. Bahkan, mengapresiasi industri rokok dianggap menyumbang pendapatan negara. Meskipun mereka tahu bahwa yang membayar cukai bukan pabrik rokok, melainkan konsumen rokok.

Parlemen juga akan meloloskan RUU Pertembakauan yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan produksi rokok.

Secara logika awam, peningkatan produksi tidak ada artinya tanpa diikuti peningkatan konsumsi. Dengan kata lain, pemerintah dan parlemen ingin mendorong lebih banyak lagi rakyat yang mengonsumsi rokok. Anak- anak, remaja, dan perempuan adalah sasaran termudah karena prevalensi perokok pada laki-laki dewasa sudah jenuh, sudah 63 persen. Ini tertinggi di dunia. Jadi, sasaran yang terbuka tinggal anak-anak, remaja, dan perempuan. Itulah yang akan didorong oleh pemerintah dan parlemen.

Dampak terhadap SDM

Generasi muda adalah SDM Indonesia untuk masa depan. Nawacita menghendaki agar mereka berkualitas dan kompetitif dengan bangsa lain agar jangan terus menjadi pecundang. Logika kita mengatakan, mereka harus diberi pendidikan yang baik dan modern. Namun, lihatlah hasil penelitian Profesor Laura Anderko, dari Georgetown University, Amerika Serikat, tahun 2010, ”Anak-anak yang terpapar asap rokok, langsung atau tidak langsung (secondary smoker) sejak dalam kandungan, tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami kesulitan belajar (learning disability). Hasil penelitian itu diterbitkan dalam Journal of Obstetric, Gynecologic & Neonatal Nursing edisi Januari 2010.

Mendorong anak dan remaja merokok, sama saja kita mendorong agar mereka kesulitan dalam menyerap pelajaran. Betapa pun canggihnya teknik pendidikan, kemampuan otak mereka sudah dibatasi oleh racun nikotin. Dengan demikian, kita tidak akan menghasilkan generasi muda berkemampuan otak kompetitif.

Lain lagi hasil penelitian CDC, lembaga di bawah Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, 2015. Bahwa atlet remaja perokok berprestasi lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Dengan mendorong peningkatan konsumsi rokok—konsekuensi dari peningkatan produksi—Indonesia justru berharap prestasi atlet kita tidak perlu terlalu tinggi. Yang penting pemilik industri rokok bisa lebih kaya dan makin besar menyumbang pajak ke negara. Dapat dimengerti jika dalam ajang olahraga di Asia pun kita tidak berani menargetkan menjadi nomor satu, menghadapi negara yang berpenduduk lebih sedikit.

Beban ekonomi

Peningkatan produksi rokok yang diikuti peningkatan konsumsi akan meningkatkan pendapatan cukai karena yang membayar cukai memang konsumen rokok. Sungguh aneh bahwa keinginan menaikkan pendapatan cukai dicapai dengan membiarkan lebih banyak rakyat teracuni nikotin. Bukan dengan menaikkan tarif cukai. Padahal, menurut UU Cukai, cukai dikenakan pada produk yang konsumsinya perlu dikendalikan karena berbahaya bagi kesehatan konsumennya.

Akan tetapi, pemerintah dan parlemen justru melawan UU tersebut. Cukai tak dijadikan alat untuk mengurangi konsumsi, tetapi hanya memperoleh pendapatan. Oleh karena itu, supaya industri rokok senang, bukan cukainya yang dinaikkan, melainkan konsumsinya. Pemerintah dan parlemen tidak mau melihat negara lain sebagai contoh meskipun sering keluar negeri.

Industri rokok Indonesia justru menyumbang pendapatan lebih besar ke negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, karena cukai di sana jauh lebih tinggi. Rokok Indonesia di sana terkena cukai sampai 70 persen dan patuh. Ke negara sendiri minta cukai kecil saja, tetapi konsumsi dibesarkan. Artinya menyumbang negara sendiri kecil saja, tetapi meracuni rakyat lebih besar dan ironisnya didukung pemerintah dan parlemen.

Bahwa orang miskin, anak-anak, dan remaja menjadi perokok, serta akan membelanjakan uangnya yang sedikit untuk rokok ketimbang makanan atau pendidikan, tidak menjadi pertimbangan. Bahwa kalau mereka sakit kemudian akan membebani negara dan sekaligus menurunkan produktivitas, itu juga bukan menjadi kepedulian.

Toh, semua akibat itu, baik kemampuan belajar, kemampuan fisik, atau beban ekonomi makin besar, baru dirasakan kelak, tidak dalam waktu dekat. Bukan menjadi tanggung jawab parlemen dan pemerintahan sekarang meskipun konon Nawacita untuk pencapaian jangka panjang.

Ketika keadaan SDM makin buruk, mereka sudah kabur. Biarkan rakyat terperangkap seperti kodok rebus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar