Senin, 28 September 2015

Menyoal Kampanye Pilkada Serentak

Menyoal Kampanye Pilkada Serentak

Bambang Arianto ;  Direktur Riset Bulaksumur Empat;
Mahasiswa S-2 Jurusan Politik dan Pemerintahan ( JPP) Fisipol UGM Jogjakarta
                                                    JAWA POS, 25 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PROSES pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tentu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan. Tapi, bagaimana ritual lima tahunan tersebut dapat membawa muatan edukasi dan pendidikan politik di balik keramaian massa atribut kampanye.

Pasalnya, selama ini model kampanye lebih banyak menyerupai pengerahan massa (bandwagon) yang akhirnya menggiring pemilih kepada dua hal. Yakni, mengedepankan keunggulan calon yang kita dukung dan menjelekjelekan lawan politik.

Eksesnya, model kampanye seperti itu berdampak pada menurunnya daya tarik pemilih untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam kontestasi politik, baik di aras lokal maupun pusat.

Dalam historiografi politik Indonesia, model kampanye pemilihan umum (pemilu), baik legislatif maupun eksekutif baik era Orde Lama maupun Orde Baru, lebih banyak menggambarkan model kampanye dalam bentuk pawai bersama, pidato politik, apel akbar, dan arak-arakan.

Pelibatan para figur publik seperti pejabat serta kaum pesohor sebagai bintang kampanye akhirnya menjadi ciri khas kampanye era 1970-an (Danial, 2009). Artinya, kampanye saat itu belum dijadikan ajang untuk menyampaikan berbagai program partai politik secara jelas dan tuntas kepada pemilih.

Kalaupun ada, itu lebih bersifat pertunjukan tanpa makna dan ajang obral janji-janji politik oplosan. Sedangkan di era reformasi, model kampanye lebih didominasi fenomena ”Amerikanisasi”. Misalnya, perang antarlembaga survei, konsultan politik, hingga ruang publik harus disesaki beragam bentuk baliho dan spanduk.

Kampanye Kreatif

Dalam konteks pilkada serentak 2015, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berniat menjadikan ritual kampanye sebagai ajang pendidikan politik dengan cara membatasi pemasangan alat peraga kampanye. Peraga kampanye yang boleh dipasang hanyalah yang telah disediakan KPU daerah, termasuk dalam bentuk media luar ruangan maupun iklan media massa cetak maupun elektronik.

Untuk media sosial, KPU hanya memperbolehkan satu akun untuk Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Lalu, alat peraga yang boleh dibuat oleh tim kandidat politik hanya berupa kaus, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, pulpen, payung, dan stiker maksimal berukuran 10 x 5 cm.

Fakta tersebut menegaskan semakin sempitnya media alat peraga kampanye. Karena itu, para kandidat politik harus dapat menyikapi dengan kreatif agar alat peraga tetap dapat memengaruhi pemilih tanpa harus melanggar regulasi yang sudah ditentukan KPU.

Alternatif terbaik adalah mengemas alat peraga kampanye dengan nilai-nilai kreativitas agar kemudian menjadi model kampanye kreatif. Tujuannya, kampanye dapat efisien, efektif, dan dapat diterima khalayak umum. Dalam konteks ini, kampanye kreatif merupakan proses yang dirancang sebagai komunikasi politik dengan cara-cara yang unik, jenaka, pelesetan, dan humor.

Kampanye kreatif ditujukan untuk memberikan kesadaran kepada publik bahwa kontestasi politik merupakan momentum menyenangkan dan kesukariaan yang dapat melahirkan kegembiraan politik.

Kegembiraan politik yang dimaksudkan adalah mengembalikan tujuan luhur dari politik guna memberikan pencerahan dan mengarahkan masyarakat ke hidup yang lebih baik dengan penuh pengorbanan dan tidak hanya berhenti pada kalkulasi untung-rugi.

Itu mengapa, pada kontestasi presidensial 2014, kita banyak menemui model kampanye kreatif yang digagas para relawan politik seperti video, musik, game, dan desain grafis. Bahkan, kontestasi presidensial 2014 merupakan ritus kampanye yang paling kreatif sepanjang sejarah.

Epilog   

Pada akhirnya, bila kemudian kita ingin mengembalikan hakikat kampanye sebagai wahana edukasi dan pendidikan politik, sejatinya kehadiran kampanye kreatif mutlak diperlukan. Kampanye kreatif diharapkan dapat menggiring lahirnya model kampanye yang lebih transformatif, yakni kampanye yang mengedepankan pendekatan modern berbasis literasi politik.

Walhasil, mengedepankan kampanye kreatif diyakini dapat menggaet pemilih mengambang (swing voters) dan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) untuk segera beralih dari pemilih tradisional menuju pemilih rasional.

Sekaligus, penanda bila ritual pilkada serentak pada 9 Desember 2015 merupakan wahana pembelajaran politik yang menarik, asyik, dan tentunya menghibur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar