Minggu, 27 September 2015

Potret Puncak di Hari Minggu

Potret Puncak di Hari Minggu

Bre Redana ;  Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 27 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Barangkali tak ada daerah seramai jalur Puncak, Jawa Barat, dalam hal berlalu-lalangnya voorijder. Setiap saat, terutama pada akhir pekan ataupun hari libur dimana semua kendaraan tumpah di jalur itu, mobil atau motor polisi dengan sirene meraung-raung dan lampu rotator biru menyala berkedap-kedip membelah keramaian jalanan.

Sebegitu banyakkah pejabat negara, tamu negara, pihak-pihak yang berhak atas pengawalan pada hari libur yang berarti bukan hari kerja? Tak jarang pengawal dan rombongan berhenti di rumah makan. Model-model pejabat dan istrinya turun dari mobil. Kinyis-kinyis. Ya, tugas negara juga memerlukan ikan bakar. Mungkin karena bosan dengan jawaban normatif, masyarakat di sini memiliki spekulasi jawabannya sendiri: kita bisa membayar untuk mendapatkan jasa pengawalan. Tarifnya pun mereka tahu.

Geografi romantik Puncak sebagai area wisata sebenarnya sudah lama berubah menjadi geografi kemacetan, kemandekan. Meminjam istilah Clifford Geertz, mungkin inilah bentuk involusi kebudayaan itu. Serupa pola pertanian yang ditunjuk Geertz sebagai macet, jalan di tempat, tak menunjukkan kemajuan apa pun.

Buah dari involusi adalah kemiskinan. Para pria gagah dalam usia produktif menjual jenis jajanan yang sama yang dipasok oleh juragan. Mereka menjajakan dagangannya dari semenjak pintu masuk kemacetan, yakni daerah Ciawi dan Gadog. Sejumlah pengemis menggelesot di tengah jalan di sela-sela antrean mobil, menengadahkan telapak tangan. Sungguh cara mengemis yang berisiko.

Yang lain lagi mengacung-acungkan jari, menawarkan jasa sebagai joki. Mereka memandu para priayi Jakarta yang hendak mencari jalur alternatif. Jalur alternatif umumnya berupa jalan kampung yang sempit. Pada tiap jengkal dan tikungan, pemuda dan anak-anak meminta uang receh kepada para pengemudi.

Dalam proses involusi, sumber daya yang tidak berkembang harus dibagi-bagi kepada jumlah manusia yang kian banyak. Beberapa pemilik restoran dan warung makan mengaku berkewajiban memberi jatah makan kepada para petugas. Begitu pula hotel dan tempat hiburan.

Usai kemacetan termasuk di antaranya akibat ditutupnya sebuah jalur karena pemberlakuan sistem buka tutup, jalanan kotor luar biasa. Sampah di mana-mana. Plastik, styrofoam, gelas bekas kopi dengan logo merek internasional, berserakan di tengah jalan.

Ini juga contoh kemandekan kebudayaan lagi, kalau mengingat, pemikir modern seperti RA Kartini di akhir abad ke-19/awal abad ke-20 sudah mengidamkan ”jalan yang baru, keras, dan bersih”. Itulah modernitas jalan, kata Kartini, seperti bisa dilihat dalam buku Engineers of Happy Land karya Rudolf Mrazek. Kebersihan jalanan menurut Kartini adalah kemurnian zaman. Pada buku yang sama, kita bisa melihat foto orang dengan peralatan sederhana menyemprot jalan di Batavia, sekitar tahun 1916. Biar bersih, bebas dari debu beterbangan, yang dikhawatirkan membawa penyakit tetanus.

Kini, siapa peduli dengan kebersihan jalan? Sampah di jalan tol adalah tinggalan kelas menengah kita. Mereka adalah kelas menengah yang tak peduli apa pun, sejauh tidak terjadi di halaman rumah sendiri. Dalam bahasa para pengamat urban: NIMBY, ”not in my backyard”.

Keikutsertaan dalam modernitas sebatas sebagai konsumen, tanpa terlibat dalam proses yang melahirkannya, membuat waktu, ruang, budaya, identitas, menjadi serba salah. Sepeda motor mengambil setiap jengkal ruang yang tersedia. Sopir angkot berhenti kapan saja, menyesuaikan keinginan penumpang. Customer satisfaction. Kemacetan menjadi basis tidak adanya pengertian, toleransi, yang kemudian menghasilkan apa yang disebut Carl Jung: ”the superstructure of brutality”.

Aduh, tiba-tiba suara sirene membelah keramaian, disertai kilatan cahaya biru. Polisi tengah mengawal rombongan moge. Sebaiknya buru-buru menyingkir, kalau tidak ingin tersambar brutalitas jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar