Minggu, 27 September 2015

Relevansi RUU Kamnas

Relevansi RUU Kamnas

Adrianus Meliala ;  Kriminolog FISIP UI;                                                                Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
                                                     KOMPAS, 26 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pembahasan RUU Keamanan Nasional termasuk yang paling lama, paling melelahkan, dan mungkin paling mahal ongkos politiknya. Padahal, baru sampai tingkat pemerintah.

Ada dua penyebab utama. Pertama, ketidaksamaan cara pandang instansi terkait tentang konsepsi ”keamanan”. Kedua, kekhawatiran RUU ini jadi jalan masuk bagi kembalinya elan militer yang terlalu jauh mengurusi masalah sosial-politik seperti pernah terjadi di era Orde Baru. Pada versi terakhir, RUU ini konon masih ada pasal-pasal yang mengindikasikan bakal kembalinya elan militer tersebut.

Sementara upaya memasukkan RUU Kamnas dalam pembahasan ke DPR terus dilakukan, demikian pula upaya untuk menolaknya, lembaga-lembaga yang tergabung dalam sektor keamanan di Indonesia berjalan terus seperti biasa. Lembaga-lembaga itu memang tidak membentuk diri menjadi, atau berperan membentuk sistem keamanan, tetapi toh bekerja.

Tak seperti RUU Kamnas, UU yang mirip fungsinya justru bisa lolos dari DPR, yakni UU Penanganan Konflik Sosial. Setelah dua tahun disahkan, UU ini toh tak atau belum pernah dipakai mengatasi konflik sosial itu sendiri. Jadi, secara kebutuhan, tampaknya tidak atau belum ada masalah yang membutuhkan RUU Kamnas. Belum terbukti Indonesia akan lebih buruk (apalagi lebih baik) dengan RUU ini.

Tunggal atau bauran

Berdasarkan situasi di atas, kita tampaknya harus menerima kenyataan bahwa model tunggal (unified model) dalam rangka keamanan di Indonesia sulit untuk diberlakukan. Dimulai dari peran Presiden dan Dewan Keamanan Nasional yang kemudian membagi-bagi peran berbagai lembaga di bawahnya, model keamanan ini kemudian menciptakan sistem yang khusus sebagaimana terdapat pula dalam bidang hukum, ekonomi, atau politik.

Model ini juga mensyaratkan ketentuan bahwa ada UU payung dan di bawahnya terdapat berbagai UU teknis. Demikian pula terdapat pembagian antara yang bertanggung jawab mengurusi keamanan domestik dan keamanan lebih luas. Sekali lagi, kelihatannya model itu tak diminati instansi-instansi di sektor ini.

Sebaliknya, kita harus mulai membiasakan bahwa model bauran (mixed model) adalah yang hidup (dan bisa hidup) di Indonesia. Inilah model dengan perspektif hukum berdampingan dengan perspektif militer, intelijen, ataupun perspektif polisi pamong praja. Semua berjalan sendiri-sendiri dan tidak bergesekan karena bekerjanya mekanisme informal (seperti hubungan baik antarpimpinan, kemampuan menahan diri yang tinggi antarpimpinan), atau kuatnya orientasi akan ”bahaya bersama” (common enemy) yang menyatukan orang.
Berbagai lembaga yang berada dalam sektor keamanan ini sudah terlalu besar dan mengakar untuk ditata ulang, sebagaimana menjadi harapan RUU Kamnas. Karena besar dan mengakar, pasti timbul kepentingan sektoral. Situasi di atas tidak efisien, memang. Namun, harmoni toh tercipta. Masih terkait model bauran, masyarakat Indonesia semakin memahami, perspektif hukum adalah yang terkuat dan kemudian didampingi perspektif lain-lain. Kegiatan penegakan hukum oleh lembaga penegak hukum dalam rangka menciptakan keamanan sudah diterima sebagai ”bahasa” yang nyaman oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Mengapa demikian?

Ini tampaknya sejalan dengan mutu kehidupan demokrasi di Indonesia dan dunia. Semakin baik demokrasi, semakin baik pula penegakan hukumnya. Masalah keamanan, demikian pula pertahanan, dianggap hal yang juga harus ditangani secara demokratis, dengan instansi-instansi terkait harus menjalankan rule of law sebaik-baiknya.

Demokrasi dan hukum di Indonesia kemudian berkelindan dengan konsep tata kelola yang baik (good governance), yang juga telah mulai dipraktikkan sejak satu dekade lalu. Pemerintahan yang baik tak otomatis dikatakan menjalankan good governance mengingat terdapat persyaratan yang lebih banyak dan harus dipenuhi oleh suatu pemerintahan guna menjadi good and clean government. Persyaratan itu antara lain anti korupsi, anti diskriminasi, perlakuan sama, efisiensi dan efektivitas, demokratis, akuntabilitas, dan menghormati HAM.

Persyaratan-persyaratan itu kemudian dimanifestasikan dalam praktik tata negara dengan, sebagai contoh, instansi represif pemegang senjata harus tunduk dan patuh pada perintah otoritas sipil yang dipilih berdasarkan hasil pemilu sah. Tata kelola dalam pemerintahan juga diperlihatkan dalam hal terbaginya kekuasaan politik, kekuasaan hukum, dan kekuasaan perwakilan politik. Jika kelak terwujud, seyogianya Dewan Keamanan tak mengubah konstelasi tata kelola tersebut.

Kesulitan kepolisian

Untuk kepolisian, situasinya kian sulit mengingat dimilikinya ”dua kaki”, yakni sebagai penegak hukum serta pemelihara keamanan dan ketertiban. Berbeda dengan tugas pemeliharaan keamanan yang hingga kini tak memiliki sistem, sistem peradilan pidana (sebagai bagian dari sistem hukum) termasuk yang terkuat, tetapi juga (anehnya) paling mudah diintervensi (mengingat kewenangannya yang mengurusi ”nasib” orang).

Maka, membiarkan kepolisian hanya mengurusi satu kaki saja tentu tak bijak. Dalam hal ini, memang kelihatannya ada yang belum selesai terkait kepolisian yang strukturnya masih di bawah Presiden secara langsung. Saat kepolisian tak happy di bawah kementerian tertentu, lalu mau di bawah apa? Modalitas kewenangan Komisi Kepolisian Nasional tak cukup kuat untuk ”mengatasi” kepolisian selain juga karena ketidakmauan kepolisian sendiri. Perlu dipikirkan solusi bahwa RUU Kamnas tak perlu ada sepanjang fungsi representasi kepolisian dibenahi.

Apabila Polri tak menghendaki berada di bawah kementerian, bisa diusulkan memperkuat Komisi Kepolisian Nasional sebagai buffer politik Polri. Juga bisa tetap dibentuk Dewan Keamanan Nasional dengan berlandaskan peraturan presiden yang mengacu pada UU yang menyebutkan hal itu, tetapi berlaku untuk hal-hal khusus saja. Sementara pada kondisi biasa (kondisi tertib sipil), UU pada umumnyalah yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar