Minggu, 20 September 2015

Sentimen Primordialisme Pilkada

Sentimen Primordialisme Pilkada

Agustar  ;  Pengamat dan Aktivis Politik; Tinggal di Batam
                                                     KOMPAS, 19 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap menjelang agenda politik lokal digelar, seperti pemilihan kepala daerah serentak, sentimen primordialisme pun kembali menyubur. Proses rekrutmen elite, misalnya penjaringan calon kepala daerah, selalu dikaitkan dengan semangat reservasi terhadap "putra daerah" (tempatan) dan menolak segala yang berbau "non-putra daerah".

Dikotomi "orang kita" dan "bukan orang kita" diapungkan ke pusaran opini publik. Pada tataran inilah publik sering digiring dan terjebak pada eksklusivisme politik primordial, menafikan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang melingkupi atmosfer sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Pengabaian terhadap pluralisme dan multikulturalisme bisa menghambat demokrasi. Karena itu, unsur akomodatif secara inklusif dalam ranah politik elite menjadi kata kunci bagi suksesnya demokratisasi di tingkat lokal. Pengingkaran terhadap aspek-aspek tersebut akan mengaborsi demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di daerah.

Perlu kiranya dicermati, esensi persoalan pembangunan demokrasi ke depan tidak semata-mata harus diletakkan pada indikator proses reservasi elite di sumbu kekuasaan, terlepas dari aroma sentimen primordialisme atau tidak. Hal yang paling krusial justru bagaimana para elite secara mutualistik membuat kebijakan-kebijakan populis yang bersifat inklusif bagi masyarakat.

Dengan kata lain, orientasi kebijakan populis elite, apakah bersifat inklusif ataukah eksklusif, jauh akan lebih bermakna bagi publik ketimbang konfigurasi elite itu sendiri dalam peta kekuasaan: apakah dia berasal dari dukungan primordialisme atau tidak. Maka, relevan dengan persoalan di atas, demokratis atau tidaknya pemegang kekuasaan hasil pilkada sangat ditentukan sejauh mana kemampuan dan kemauan yang bersangkutan menelorkan kebijakan-kebijakan populis inklusif untuk pembangunan masyarakat.

Reservasi putra daerah

Konstelasi perpolitikan kita setelah rezim Orde Baru memang sarat dengan dilema, kontroversi dan paradoks. Ketika reformasi digulirkan dan demokratisasi dielaborasikan, kita dihadapkan pada paradigma otonomi daerah yang kental spirit reservasi terhadap "putra daerah". Padahal, otonomi daerah sendiri memikul beban berat berupa pencerahan dan percepatan proses demokratisasi di daerah.

Ketika paradigma otonomi daerah digelar, elite politik lokal seyogianya bisa mempertimbangkan bahwa otonomi daerah secara esensial merupakan bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Ia bukan suatu proses adaptasi bentuk pemerintahan otoriter yang kaku dalam level yang lebih rendah di daerah. Hal ini perlu mendapat perhatian serius mengingat beberapa hal.

Pertama, nuansa pemerintahan daerah yang terkesan otoriter, di mana kekuasaan ekonomi dan politik berada di satu tangan, bisa jadi akan mengulangi episode gaya pemerintahan masa lalu. Pemerintahan model begini tidak populer di mata rakyat dan akhirnya menghasilkan pemberontakan masyarakat atas kubu kekuasaan yang cenderung mementingkan diri sendiri.

Kedua, bagaimana menghargai semangat pluralitas (keberagaman), yang kalau dikerucutkan sebagai multikulturalisme, merupakan keniscayaan yang ada di setiap daerah. Isu yang mempersoalkan masalah putra daerah atau bukan sebenarnya berakar dari pemikiran dikotomis antara pihak "kita" dan pihak "mereka" sebagai suatu yang bersifat diametral. Pada kondisi seperti inilah pemegang sumbu kekuasaan harus mampu menjadi agen pemersatu lewat kebijakan populis-inklusif.

Ketiga, dalam konteks demokratisasi, siapakah yang bisa mengklaim bahwa "putra daerah" akan menghasilkan pemimpin yang lebih baik daripada "putra dari daerah lain"? Betulkah putra daerah akan lebih diterima masyarakat setempat ketimbang putra dari daerah lain? Sebenarnya apakah faktor yang mendasari masyarakat memilih pemimpinnya: apakah isu tentang putra daerah atau bukan putra daerah jadi agenda yang sangat penting?

Keempat, sebenarnya konsep tentang "putra daerah" sendiri merupakan hal yang sangat problematik. Sebab, siapa yang masuk kategori putra daerah dan apa indikator untuk bisa disebut atau mengklaim diri sebagai putra daerah sangatlah sumir. Apakah mereka yang telah dua-tiga generasi tinggal di satu wilayah secara tetap bisa otomatis disebut putra daerah? Ataukah putra daerah harus memiliki keterikatan keluarga dengan budaya dominan setempat? Apakah seorang dari kebudayaan dominan di satu wilayah, tetapi lebih banyak menghabiskan hidupnya di wilayah lain, berhak disebut sebagai putra daerah?

Sejumlah pertanyaan di atas diajukan untuk menggugat mitos-mitos yang cenderung menyesatkan di era otonomi daerah ini. Semisal, "putra daerah adalah pilihan terbaik", "putra daerah sanggup mengembalikan potensi daerah".

Kapabilitas-profesionalitas

Padahal, jalan pikiran seperti di atas bisa saja terjerumus ke chauvinisme baru yang berkembang dengan cara mereservasi putra daerah dengan segala cara, tanpa pertimbangan etis aspek kompetensi elite secara normatif. Dan, ini bisa mendorong arah suatu pemerintah fasis baru dalam level yang lebih kecil.

Sementara itu, argumen tentang putra daerah yang sebenarnya hendak menyebut sebagai "penduduk asli" itu pun tidak lepas dari kerumitan tersendiri sebagai sebuah konsep. Dalam perkembangan wilayah di Indonesia yang disebabkan proses migrasi selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, tidak ada suatu wilayah yang bisa mengklaim dirinya sebagai wilayah yang hanya dihuni penduduk asli. Arkeolog Perancis ahli Indonesia, Dennys Lombard, telah mengemukakan, wilayah Nusantara telah ratusan tahun lalu mengalami proses percampuran budaya dengan empat kebudayaan besar dunia: India, Tiongkok, Barat, dan Islam.

Dalam alam globalisasi ataupun perkembangan masyarakat diasporik, keaslian bukan hal penting-juga bukan hal paling utama untuk dibicarakan-karena pada akhirnya identitas manusia selalu berbaur dan merupakan proses pencarian dan penemuan yang tiada akhir. Memang ada ketakutan-ketakutan yang bisa dinalar bahwa proses globalisasi akan mereduksi identitas yang selama ini dibangga- banggakan, identitas eksklusif yang menjadi penanda, pembeda dengan komunitas lain.

Namun, hal tentang pembeda dalam konteks otonomi daerah bukan terpresentasi dalam bentuk reservasi terhadap putra daerah. Sebaliknya mungkin pembeda itu terletak pada kapabilitas dan profesionalitas dari berbagai pihak untuk bisa membawa wilayah itu pada suatu tujuan yang dirumuskan bersama. Dalam konteks ini, persoalannya kemudian adalah apakah kita betul-betul mengenal perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita, baik dalam konteks potensi ekonomi, peta konflik politik, peta konfigurasi penguasaan ekonomi, maupun kekuasaan elite lokal?

Meski berbagai pertanyaan itu bisa dijawab, tidak dengan sendirinya proses demokratisasi akan berlangsung. Namun, setidaknya dengan mempertimbangkan sejumlah pertanyaan itu mungkin kita bisa meniti proses demokratisasi secara lebih jernih, lebih elegan, lebih visioner. Artinya, ke depan kita tidak lagi semata-mata mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik kelompok elite baru dengan menggunakan label penuh mitos, seperti "putra daerah" dan berbagai label kepentingan ekonomi dan politik lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar