Minggu, 27 September 2015

Spirit Kosmopolitanisme Islam

Spirit Kosmopolitanisme Islam

Masdar Hilmy  ;  Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
                                                     KOMPAS, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tepat pada hari ini, Rabu (23/9), tidak kurang dari 1,4 juta anggota jemaah haji dari penjuru dunia tengah berwukuf di padang Arafah. Secara leksikal wukuf bermakna berdiam, berhenti, di sebuah tempat. Wukuf adalah bagian dari rukun haji, sebuah ritual wajib dari seluruh rangkaian ibadah haji yang tanpanya ibadah haji seseorang menjadi tak bermakna. Kata Nabi Muhammad SAW, al-hajju ’arafah (inti ibadah haji adalah wukuf di padang Arafah).

Pertanyaannya, pesan esoterik apa yang bisa digali dari ibadah haji, khususnya wukuf di Arafah? Bagaimana agar pesan esoterik tersebut dapat ditransformasikan ke dalam konteks kekinian di tengah meruyaknya spirit parokialisme-kauvinisme keagamaan yang membabi buta? Bagaimana cara mengatasi mengentalnya politik identitas keagamaan yang dimunculkan oleh gerakan-gerakan radikal seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)? Jawaban terhadap pertanyaan ini terangkum dalam sebuah frasa: kosmopolitanisme Islam!
Universalitas + perbedaan

Secara sederhana, kosmopolitanisme dapat dimaknai sebagai sense of being part of the world, perasaan menjadi anggota atau warga dunia yang satu. Dalam suasana kosmopolitan, batas-batas budaya bukan penghalang bagi seseorang untuk melakukan mobilitas horizontal. Realitas sosial-budaya yang berbeda justru menyediakan melting-pot bagi proses interaksi dan dialektika antarbudaya tersebut. Perbedaan justru dapat menjadi faktor pemerkaya bagi pendewasaan antarbudaya.

Kwame Anthony Appiah, dalam karyanya Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (2007), secara sederhana mendefinisikan kosmopolitanisme sebagai ”universality plus difference,” universalitas ditambah perbedaan. Menurut dia, poin universalitas harus didahulukan sebelum perbedaan. Hal ini penting untuk menyublimasikan aspek perbedaan dalam kerangka universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Budaya yang berbeda harus dihormati bukan karena ia penting di dalam dirinya, melainkan karena manusia jauh lebih penting dan harus ditempatkan di atas segala-galanya sebagai pemilik budaya.

Pola hidup kosmopolitan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai kerelaan untuk memasuki, menyelami, dan merasakan realitas sosial-budaya yang berbeda dalam semangat empati dan memberikan respek bagi setiap perbedaan yang dijumpainya. Proses penyelaman terhadap budaya yang berbeda tersebut memungkinkan seseorang untuk berdialog, saling ”menginterogasi” dan bahkan saling bertukar nilai-nilai budaya.

Sepanjang perjumpaan antarbudaya, mungkin saja muncul reaksi dan justifikasi subyektif atas budaya eksternal. Hal ini bukan dalam rangka disamakan atau diseragamkan, melainkan dibiarkan untuk tetap ada agar terjadi proses pembelajaran antarbudaya yang berbeda.

Ibadah haji, terutama wukuf di Arafah, adalah eksemplar ritual yang mengandung dimensi interaksi dan pertukaran budaya paling tinggi, tetapi tetap dalam spirit penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Di situlah setiap orang diperlihatkan ragam budaya dari penjuru dunia tanpa harus mempertanyakan suku, ras, atau warna kulit seseorang, semata-mata agar dia mau belajar saling memahami dan menghormati budaya orang lain.

Pengalaman masa lalu

Memang agak muskil ketika kita menarik benang merah antara kosmopolitanisme haji dan kenyataan empiris umat Muslim dewasa ini di sejumlah wilayah yang masih dilanda konflik kekerasan dan peperangan. Bagaimana mungkin Islam yang awalnya sangat kosmopolitan bisa tampil dalam wajahnya yang begitu tidak kosmopolit? Akibatnya, mungkin saja banyak orang mengernyitkan dahi ketika mendengar istilah kosmopolitanisme Islam. Di benak mereka, penyandingan Islam dengan kosmopolitanisme terkesan oksimoron, contradictio in terminis.

Meskipun demikian, entitas Islam kosmopolitan bukanlah angan-angan. Keberadaannya terjustifikasi oleh teks suci ataupun realitas empiris umat Muslim. Islam merupakan salah satu agama yang mendorong para pemeluknya untuk melakukan mobilitas horizontal dalam rangka mencari dan menciptakan kemakmuran di muka bumi. Tidak terhitung jumlahnya ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang hal ini. Al Quran juga mengajarkan umatnya untuk melakukan proses interaksi budaya, bukan untuk memusuhi dan mematikan budaya orang lain, melainkan agar saling mengetahui dan mengenalnya (QS 39:13).

Terkait dengan watak dasar kosmopolitanisme Islam, Bruce Lawrance (2012) menegaskan bahwa ”Islam is radically cosmopolitan in its origins”. Islam pada awalnya sangatlah kosmopolitan. Ia bisa menerobos belantara budaya asing dan bahkan menggantikannya sebagai budaya dominan di banyak tempat tanpa pertumpahan darah. Terlahir di jazirah Arab, Islam menyebar ke seluruh penjuru mata angin dengan cepat: dari Kordoba hingga Asia Tenggara, dari Nil ke Oxus. Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam (1974; volume 2) menyebut peradaban Islam yang demikian ini dengan istilah ”Islamicate”.

Di masa lalu, kota-kota besar tumbuh jadi kota kosmopolitan di bawah patronase imperium Islam. Penerjemahan ilmu pengetahuan dari Yunani, Tiongkok, dan India mengalami puncaknya pada abad XI. Proses asimilasi dan adopsi budaya, dari dan ke Arab-Islam, bukanlah hal asing. Penggunaan astrolabe yang diadopsi dari imperium Byzantium untuk kepentingan shalat lima waktu buktinya.

Keberterimaan dan kepenganutan terhadap Islam di berbagai tempat merupakan bukti kualitas kosmopolitanisme agama ini. Proses konversi yang terjadi di Nusantara juga meneguhkan kenyataan kosmopolitanisme Islam. Pola penetrasi budaya bukanlah penetrasi yang menyakiti, menistakan, dan merendahkan budaya lain, melainkan malah merangkulnya. Terciptanya genre budaya baru sebagai konsekuensi persilangan budaya di antara dua tradisi yang berbeda merupakan realitas tak terbantahkan. Kenyataan demikian tidak untuk diratapi, tetapi dirayakan sebagai buah kreativitas dan kelenturan budaya dalam Islam.

Jalan aksiologis

Memang tersua resistensi ”kecil” di kalangan Muslim puris atas persilangan budaya ini. Mereka menuduh para pelaku asimilasi budaya atas tuduhan ”peniruan” (tashabbuh). Menurut kaum puris, asimilasi budaya dilarang karena dapat menggerus eksistensi ajaran Islam. Namun, menurut al-Biruni, salah seorang filosof Muslim terbesar dari Persia, proses asimilasi budaya yang dapat memperkaya khazanah peradaban Islam bukanlah hal buruk. Secara sarkastik dia menegaskan, ”Bangsa Romawi juga makan. Maka, jangan tiru perilaku mereka!”

Kondisi geopolitik dunia butuh etos kosmopolitan yang diderivasi dari sumber-sumber normatif dan empiris agama. Pesan esoterik ibadah haji adalah bagaimana agar kosmopolitanisme menjadi etos peradaban umat Muslim yang tengah menghadapi ancaman ekspansi ideologi radikal yang membabi buta. Spirit kosmopolitanisme bukanlah sebentuk bidah yang dilarang agama, melainkan jalan aksiologis yang niscaya dalam mengatasi berbagai tekanan sosial-budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar