Kamis, 24 September 2015

The Fed, Spekulasi Likuiditas Global dan Volatilitas Rupiah

The Fed,

Spekulasi Likuiditas Global dan Volatilitas Rupiah

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 21 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

THE Fed (Federal Reserve) atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kini tengah bimbang dan terjepit. Melalui ketuanya, Janet Yellen, mereka telah berkali-kali menjanjikan kenaikan suku bunga, yang saat ini Fed Funds Rate (FFR) dipatok 0,25%. Namun, berkali-kali pula mereka seperti `ingkar janji'. Suku bunga tak kunjung naik sehingga menimbulkan gejolak volatilitas mata uang di seluruh dunia, termasuk (terutama) rupiah. Mengapa itu semua terjadi? Bagaimana penjelasannya dan bagaimana hal ini berpengaruh terhadap rupiah?

Cerita bermula dari krisis finansial global (global financial crisis) yang disebabkan jatuhnya harga surat berharga derivatif di sektor perumahan berkualitas kelas dua (subprime mortgage) yang ditandai dengan bangkrutnya lembaga keuangan investasi (investment bank) Lehman Brothers pada pertengahan 2008.

Untuk meredam krisis, The Fed menurunkan suku bunganya hingga level terendah 0,25%. Itu mirip dengan yang sudah terjadi di Jepang sejak 1990-an, yaitu suku bunga amat rendah, nyaris nol (zero interest rate), yang terus bertahan hingga sekarang. Tujuan kebijakan suku bunga rendah ini ialah mendorong perekonomian melalui meningkatnya konsumsi rumah tangga serta investasi. Suku bunga rendah dimaksudkan sebagai upaya merelaksasi likuiditas di pasar uang sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, karena pada saat itu tingkat kepercayaan konsumen (consumer's confidence index) sedang rendah, kebijakan itu tidak terlalu efektif. Karena itu, ketua The Fed saat itu, Ben S Bernanke, beserta wakilnya, Janet Yellen, berinisiatif melakukan pencetakan uang untuk menambah relaksasi likuiditas (quantitative easing atau QE). Uang dari QE itu kemudian dibelikan surat-surat berharga pemerintah AS (T-bills dan T-bonds) agar harganya tidak jatuh selama krisis.

Langkah efektif

Kebijakan QE berlangsung tiga tahap. Tahap pertama dicetak US$1,6 triliun (2009), tahap kedua juga US$1,6 triliun (2011), dan tahap ketiga pada awalnya dicetak US$85 miliar per bulan, kemudian berangsur-angsur menurun (2013). Dari seluruh tiga tahap tersebut, tercetak sekitar US$4,2 triliun. Jumlah itu sangat besar karena ekuivalen dengan lima tahun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebagai perbandingan, PDB AS saat ini US$17,5 triliun.

Kebijakan QE ini tampaknya efektif. Pelan-pelan kurs US$ melemah, yang berarti menguntungkan bagi AS untuk menambah daya saing produkproduknya. Hebatnya, penambahan suplai US$ itu ternyata tidak diikuti dengan inflasi karena mata uang US$ menyebar ke seluruh dunia, bukan cuma di AS. Inflasi di AS terjaga di level 2%, bahkan di bawah itu.

Peredaran US$ mengalir deras ke Indonesia hingga mencapai puncaknya pada Juli 2011. Pada saat itu, cadangan devisa kita mencapai US$124,6 miliar, atau jauh lebih tinggi daripada sekarang US$105 miliar. Besarnya cadangan devisa Indonesia berbanding lurus dengan kekuatan kurs rupiah. Pada saat itu, rupiah mencapai titik tertinggi Rp8.600 per US$.

Pada Mei 2013, tanda-tanda perekonomian AS mulai membaik. Pengangguran mulai terpangkas tajam. Sejak itu, kurs US$ mulai menguat seiring dengan kinerja perekonomian AS yang baik. Sejak itulah rupiah mulai pelan-pelan melemah terhadap USD tanpa pemerintah Indonesia bisa menahannya. Seiring dengan hal itu, The Fed pun mulai merancang kebi jakan yang intinya ingin mengoreksi kebijakan sebelumnya (suku bunga rendah 0,25% plus pencetakan uang). Ke depannya, QE akan dihentikan karena sudah dianggap cukup. Jika QE terus menerus dilakukan, dikhawatirkan jumlah peredaran US$ akan berlebihan (over supply) yang bisa memantik hasrat investor global melakukan tindak spekulasi. Ini sesuai dengan teori Keynes (1936) bahwa motif seseorang untuk `memegang' uang ada tiga, yaitu motif transaksi, berjaga-jaga (precautionary), dan spekulasi.

Orang yang kelebihan duit akan mulai melakukan spekulasi karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi. Ini bahaya dan bisa menimbulkan volatilitas pasar uang dunia. Menurut saya, hal ini sudah terjadi saat ini. Kurs bisa bergejolak setiap hari hanya karena penyebab yang sepele. Hanya mengantisipasi rapat dewan gubernur bank sentral AS saja, sudah menjadi ajang spekulasi. Rupiah tak terkecuali. Gerakan rupiah dari hari ke hari seperti mainan roller coaster, naik-turun semaunya untuk merespons isu-isu yang `remeh-temeh'. Semua berita menyangkut perekonomian AS bisa menyebabkan US$ menguat atau melemah secara gampang sekali.

Yellen takut jika suplai uang US$ di seluruh dunia dipakai menjadi alat berspekulasi. Menurut saya, ketakutan itu pada dasarnya sudah terjadi. Mata uang US$ sudah menjadi favorit bagi para investor global dan dipakai sebagai alat berspekulasi. Negara-negara berkembang (termasuk emerging markets) yang fundamental ekonominya diragukan atau `nanggung' menjadi sasaran empuk bagi permainan spekulasi ini. Celakanya, rupiah termasuk kategori ini!

Untuk meredam spekulasi likuiditas US$ yang sudah berlebih di pasar uang global, Yellen menginginkan kenaikan suku bunga AS. Idealnya US$ yang sudah beredar secara masif ke seluruh dunia akan dipanggil kembali melalui mekanisme transmisi kenaikan suku bunga. Dengan kata lain, US$ akan disterilisasi agar tidak berkembang liar menjadi ajang spekulasi.

Kekhawatiran AS

Namun, apa yang terjadi? Rencana awalnya, suku bunga The Fed akan mulai dinaikkan pada triwulan pertama 2015, lalu berturut-turut akan terus dinaikkan hingga mencapai 1% pada akhir 2015. Rencana ini ternyata tidak berjalan mulus. The Fed harus mempertimbangkan kembali rencananya karena kenaikan suku bunga akan menyebabkan US$ menguat lebih jauh.

Selagi The Fed masih kebingungan, apakah jadi menaikkan suku bunganya atau tidak, tiba-tiba pemerintah Tiongkok melakukan devaluasi yuan. Tindakan ini benar-benar mengejutkan dan tidak terantisipasi sebelumnya. Pemerintah Tiongkok merasa daya saingnya tergerus oleh fenomena kenaikan upah tenaga kerja dan kian mahalnya harga tanah di wilayah industri Tiongkok di bagian timur dan sepanjang pantai timur daratan `Negeri Tirai Bambu' ini. Hal ini menyebabkan daya saing produk-produk mereka terkikis. Devaluasi yuan ialah senjata ampuh untuk mempertahankan daya saing Tiongkok.

Mengapa Tiongkok bisa `seenaknya' menentukan kurs yuan tanpa melalui mekanisme pasar? Jawabnya bisa, mereka memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, US$ 3,8 triliun, sehingga bisa dipakai sebagai penopang kebijakan kurs mereka.

Devaluasi yuan jelas memukul perekonomian AS karena AS ialah mitra dagang terbesar Tiongkok. Selama ini, AS mengalami defisit ratusan miliar US$ terhadap Tiongkok. Devaluasi yuan akan memperpanjang dan memperbesar defisit AS tersebut. Karena itu, kenaikan suku bunga AS hanya akan memperparah keadaan. Jurang kurs antara US$ dan yuan akan kian menganga. Artinya, defisit AS akan berkembang kian memburuk. Inilah alasan The Fed ragu-ragu untuk menaikkan suku bunganya.

Ekonom top AS Joseph Stiglitz sudah memberikan isyarat agar The Fed membatalkan niatnya menaikkan suku bunga. Demi keselamatan perekonomian AS, suku bunga AS harus tetap dipertahankan rendah seperti sekarang 0,25%. Lalu, bagaimana respons The Fed? Di tengah-tengah kebimbangan ini, yang bisa mereka lakukan hanyalah tetap menahan suku bunga, jangan diutak-atik dulu. Mereka masih akan menunggu perkembangan perekonomian AS dan perekonomian global sebelum menentukan nasib suku bunga.

Sampai titik ini, saya melihat bahwa The Fed harus mengikuti saran Stiglitz. Itu saya pikir ialah pilihan terbaik. Namun, bagi perekonomian global, itu memberikan sinyal buruk karena para pemilik modal global masih akan melanjutkan kegiatan spekulasinya. Artinya, mata uang global masih akan melanjutkan tren volatilitasnya, termasuk rupiah.

Bagi Indonesia, tidak akan ada obat mujarab yang bisa mengubah posisi rupiah. Tidak ada quick fix, atau mencari solusi secara instan. Kebijakan deregulasi September 2015 cukup baik untuk memperbaiki iklim dan struktur investasi di masa mendatang, tapi tidak serta-merta bisa membuat rupiah menguat. Volatilitas mata uang dunia masih akan berlanjut karena likuiditas yang berlebihan akibat kebijakan QE di masa sebelumnya masih akan terus `bergentayangan' mencari jenis aset dan lokasi favorit. Bandul itu masih akan berayun-ayun sebelum tenang dan stabil di titik tertentu.

Tugas pemerintah Indonesia ialah membuat kebijakan yang seramah mungkin terhadap investor untuk mengurangi gejolak atau menurunkan volatilitas rupiah. Berikanlah iklim usaha yang sebaik-baiknya sehingga investor kerasan tinggal dan berlama-lama di sini. Hambatan-hambatan birokratis yang tidak perlu harus dipangkas habis. Hanya dengan cara itulah, kita bisa mereduksi volatilitas. Selebihnya, likuiditas global yang mengalir deras ke AS menjadi urusan seluruh negara di dunia dengan AS sebagai pemegang kunci terpentingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar