Kamis, 24 September 2015

Topi dari Amerika

Topi dari Amerika

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
                                                    JAWA POS, 21 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TOPI dari Amerika jadi perkara! Pimpinan KPK menganjurkan agar topi pemberian Donald Trump kepada Setya Novanto dan Fadli Zon dilaporkan ke KPK. Topi itu mungkin gratifikasi. Pelaporan diperlukan agar tak ada sangkaan buruk. Konon, para pejabat di Indonesia dilarang menerima hadiah saat menjalankan tugas. Apakah topi tersebut gratifikasi dan diserahkan ke negara? Adegan Trump memberikan topi sudah terjadi.

Pulang dari Amerika, Fadli mengutus staf untuk membawa topi dan dasi pemberian Trump ke KPK, 18 September 2015. Surat berisi pesan Fadli Zon pun disertakan. Topi dan dasi itu tak usah dikembalikan ke Fadli Zon jika tak terbukti sebagai gratifikasi.

Fadli Zon ”ikhlas” memberikan topi dan dasi tersebut kepada KPK ( Jawa Pos, 19 September 2015). Topi putih dengan tulisan Make America Great Again sudah menghuni KPK. Topi tak bakal dipakai di kepala Fadli Zon. Topi itu ada dalam pusaran polemik bersinggungan dengan kode etik pejabat dan kekuasaan.

Dulu topi juga bercerita tentang kunjungan Soekarno ke Amerika Serikat (1956). Berangkat dari Indonesia, Soekarno memilih mengenakan peci sebagai tutup kepala khas nasionalis. Sejak masa 1920-an, Soekarno mengusahkan peci adalah lambang Indonesia.

Peci mejadi identitas kaum nasionalis saat berhadapan dengan kolonialis. Berpeci dalam gerakan politik kebangsaan mendapat sambutan dari para tokoh. Kita gampang mengingat nama-nama besar dalam gerakan kebangsaan berpeci. Tokohtokoh tentu tak wajib berpeci.

Kita menduga, ada tokoh-tokoh tak berpeci. Barangkali Tan Malaka bakal tampak aneh jika berpeci. Kita sempat melihat Tan Malaka gampang dikenali saat mengenakan topi bundar khas pekerja.

Sejak awal abad XX, kaum intelektual dan pergerakan kebangsaan memiliki pilihan berbeda dalam mengenakan tutup kepala. Tokohtokoh Jawa biasa menggunakan belangkon.

Model pendidikan dan jenis pekerjaan modern perlahan menggoda mereka untuk mengenakan topi Eropa, meniru pilihan tutup kepala orang-orang Belanda. Keputusan berkuliah ke Belanda semakin membuat para tokoh mengakrabi topitopi bercap Eropa. Di Belanda, Hatta tak canggung menaruh topi bundar di kepala. Kita melihat Hatta tampak cakep dan modern.

Sejak ratusan tahun silam, jenis dan bentuk topi membedakan derajat kekuasaan, identitas, kelas sosial, dan tingkat religiusitas. Keberagaman tutup kepala di Indonesia pada abad XX membuktikan ada kesadaran memilih dan mengartikan topi.

Kemunculan topi-topi asal bangsabangsa asing pernah ditandingi tutup kepala tradisional. Soekarno mengajukan peci sebagai pilihan simbolis politik-kultural. Polemik terjadi dengan seribu argumentasi.

Pilihan tutup kepala tak gampang disepakati. Di Indonesia, perbedaan kelas sosial membedakan jenis tutup kepala. Kaum intelektual, buruh, petani, militer, dan ulama sering berbeda dalam pengenaan tutup kepala. Propaganda terus dilancarkan Soekarno sampai orangorang bersedia mengenakan peci dalam pelbagai peristiwa.

Polemik topi tak bermula dari abad XX. Ribuan tahun silam, topi sudah jadi urusan besar dalam lakon kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kita bisa membaca buku berjudul Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit: Pandangan Baru terhadap Fungsi Religius Candi-Candi Periode Jawa Timur Abad Ke-14 dan Ke-15 (2014) garapan L. Kieven.

Penggunaan pelbagai topi menentukan kekuasaan, adab dan identitas, serta religiusitas. Topi di kepala para tokoh secara simbolis menguak ketokohan, peristiwa, tempat, dan waktu.

Di pelbagai relief bercerita, para tokoh mengenakan topi sebagai pembeda. Topi-topi jadi referensi kasatmata, tapi mengandung rimbun makna sesuai konteks masa silam. Sejarah pun bergerak dengan keberadaan topi di kepala para tokoh.
Kita mengingat lagi Soekarno saat berpeci di Amerika Serikat. Di pelbagai acara, peci itu selalu dikenakan Soekarno. Mata jutaan orang Amerika mengarah ke penampilan Soekarno.

Mereka tentu melihat tokoh fenomenal tersebut berpeci. Di mata Amerika, peci mungkin benda aneh dan ”purba”. Di negara besar, Soekarno berpeci menjalani pertemuan dengan para pejabat penting: sipil dan militer. Peci selalu jadi saksi pertemuan meski diam. 

Hal berbeda terjadi saat Soekarno berkenan melepas peci dalam kunjungan ke Grand Canyon. Soekarno tampak mengenakan topi besar khas Amerika. Di lembah indah, Soekarno sejenak mengistirahatkan peci. Kita tak tahu pemberi topi dan maksud Soekarno mengenakan topi bundar-besar. Kejadian itu tak terlalu mengganggu pengenalan publik bahwa Soekarno adalah penguasa berpeci. Kunjungan berlanjut ke Eropa, Soekarno terus berpeci (Winoto Danoeasmoro, Perdjalanan P.J.M. Presiden Ir. Dr. Hadji Achmad Sukarno ke Amerika dan Eropah, 1956). Pulang dari Amerika dan Eropa, Soekarno tak bercerita membawa oleh-oleh topi atau berlagak tampil necis dengan topi cap Amerika. Kita selalu mengenang beliau itu berpeci.

Tahun demi tahun berlalu. Pada masa Orde Baru, Soeharto rajin berpeci ketimbang bertopi modern. Pembangunan sedang bergerak cepat. Kaum pejabat, pengusaha, dan mahasiswa mulai mengenali negara-negara asing. Kunjungan kenegaraan, bisnis, kuliah, atau pelesiran ke Amerika menjadi kelaziman. Mereka pulang ke Indonesia berhak membawa oleholeh berwujud topi. Di Indonesia, kita mulai melihat orang-orang mengenakan topi bertulisan nama universitas kondang, nama klub olahraga, atau bermerek perusahaan khas Amerika.

Topi-topi itu bercerita kesuksesan, keberlimpahan harta, dan pemuja Amerika. Kita masih beruntung Soeharto tak jadi teladan pameran topi sebagai simbol memuja dominasi politik-kultural Amerika.
Kini kita mengingat lagi topi dari Amerika. Kehadiran dua pimpinan DPR dalam acara Donald Trump memicu polemik sengit di Indonesia. Di lokasi acara, mereka tampak tak berpeci.

Pulang dari Amerika, mereka membawa hadiah topi pemberian Trump. Kita bisa menduga topi itu berharga mahal dan keren. Sejarah Indonesia-Amerika masih menempatkan topi sebagai cerita.

Barangkali peristiwa itu tak sengaja jadi sambungan cerita Soekarno berpeci saat di Amerika. Di mata pejabat Amerika, peci di kepala Soekarno mungkin perkara genting saat mereka ingin mengumbar pelbagai janji dan bujukan agar isi kepala Soekarno jadi berpihak ke blok Amerika Serikat.

Peci melindungi Soekarno dari propaganda dan bisikan Amerika. Kita tak usah 
terlalu bernostalgia. Masalah paling terbaru adalah topi dari Amerika. Kita bersabar menunggu keterangan dari KPK agar topi itu tak misterius. Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar