Minggu, 25 Oktober 2015

Apa Kabar Revolusi Mental?

Apa Kabar Revolusi Mental?

Listiyono Santoso  ;  Staf Pengajar Filsafat dan Etika Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 19 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

REVOLUSI mental merupakan wacana penting awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JokowiJK). Itu menjadi semacam ikon yang melekat kuat dalam image publik terhadap pemerintahan ini.

Revolusi mental sejatinya merupakan ide besar (great idea). Di dalamnya ada sebuah diskursus penting bahwa problem besar yang menghambat kemajuan sebuah bangsa terletak pada mentalitas manusianya.

Meminjam terminologi J.W.M. Bakker, banyak program pembangunan yang sering gagal bukan karena jenis programnya, melainkan karena terhambat pada mentalitas kebudayaan.

Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah ruah tidak menjamin terciptanya kemakmuran masyarakatnya. Berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan tidak juga memberikan jaminan bahwa tertib sosial terus terwujud. Reformasi sistem birokrasi menjadi modern pun tidak juga mampu memutus mata rantai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Muara dari persoalan tersebut: adanya mentalitas kebudayaan yang menghambat setiap program pembangunan. Ada praktik hidup serakah yang membuat negeri ini tak juga mampu memberikan rasa keadilan sosial meski kekayaan alam begitu melimpah.

Lalu, setelah setahun pemerintahan Jokowi-JK berjalan, apa kabarnya revolusi mental? Sayang, gagasan besar tentang revolusi mental yang begitu memukau itu tiba-tiba bak tertelan bumi. Tong kosong nyaring bunyinya. Gempita dalam wacana, sepi dalam praktik.

Tanpa Strategi Kebudayaan

Semula saya adalah bagian warga yang optimistis terhadap gagasan revolusi mental. Optimisme itu dilandasi dengan hadirnya Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Melalui kementerian tersebut, semula saya membayangkan akan disusun suatu strategi kebudayaan dalam rangka merevolusi mentalitas manusia Indonesia. Strategi kebudayaan yang bersifat sistematis dan komprehensif dalam rangka membangun mentalitas manusia Indonesia. Apalagi, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan terdapat sejumlah kementerian yang sesungguhnya bertanggung jawab dalam mewujudkan program revolusi mental. Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Agama; Kementerian Pemuda dan Olahraga; dan sebagainya.

Semula saya membayangkan semua kementerian itu akan bersinergi menciptakan strategi kebudayaan merevolusi mental manusia Indonesia. Meminjam terminologi Van Peursen (1988), apabila kebudayaan dipandang sebagai sekolahnya umat manusia, pendidikan merupakan sarana paling penting mewujudkan keberhasilan strategi pendidikan.

Dalam kebudayaan terdapat strategi untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Pendidikan menjadi ruang bagi strategi kebudayaan itu diselenggarakan.

Berpisahnya pendidikan tinggi (dikti) dari Kemendikbud semula saya bayangkan sebagai kebijakan yang terkait dengan ide besar revolusi mental. Sayangnya, kemendikbud kita masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif, bukan substantif.

Max Weber dalam Moral Education (1961) menyatakan, melalui pendidikan (dasar), kepribadian dan karakter manusia itu dibentuk. Menurut dia, pendidikan dasar tidaklah murni bertujuan pengembangan akademik.

Yang paling utama justru adalah pengembangan kepribadian anak didik. Sejak dini anak dibiasakan dan dididik untuk berorientasi pada nilai-nilai objektif. Misalnya, kepercayaan diri, kejujuran, keadilan, rasa nasionalisme, dan kemandirian.

Karena itu, pembiasaan dan penciptaan perilaku merupakan bagian penting dalam strategi kebudayaan merevolusi mental manusia Indonesia. Bukankah mentalitas itu terbentuk dari proses yang sangat panjang? Ia tercipta dari kebiasaan-kebiasaan positif sejak dini yang akhirnya membentuk karakter masing-masing.

Tanpa strategi kebudayaan, konsep revolusi mental hanya menjadi kegiatan karikatif-administratif belaka. Mentalitas tidaklah bisa diubah dengan sebuah program yang instan, apalagi melalui imbauan moral dalam seminar-seminar dan khotbah-khotbah.

Mentalitas itu dibentuk dari penciptaan kebiasaan. Sebuah proses yang terus-menerus dilakukan dan dibiasakan sehingga menjadi habitus.

Setahun berjalan, diskursus revolusi mental hanya berhenti pada sebuah retorika. Sekali lagi, jika sejak awal serius melakukan revolusi mental, pemerintah Jokowi-JK haruslah menciptakan strategi kebudayaan yang menyeluruh dan tidak sporadis dalam membuat kebijakan.

Sinergi antar kementerian harus mulai ditata kembali. Itu agar tidak ada kesan berjalan sendiri-sendiri dalam mewujudkan keberhasilan revolusi mental.
Saat ini kesan panik dan sporadis tidak terhindarkan. Saat korupsi begitu masif terjadi, negara menyusun pendidikan antikorupsi. Saat rasa nasionalisme ditengarai kian turun, saat ini pun negara sibuk dengan program pendidikan bela negara. Hampir tidak ada strategi kebudayaan yang diciptakan oleh negara dalam rangka merevolusi mentalitas bangsa Indonesia.

Revolusi mental itu gagasan mulia bagi peradaban kebangsaan masa depan. Ia tidak boleh hanya dimaknai sekadar sebagai sebuah ”proyek” dengan nominal anggaran di dalamnya. Tanpa strategi kebudayaan, revolusi mental akan menthal (terpental dalam bahasa Jawa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar