Selasa, 20 Oktober 2015

Kewajiban dan Hak Bela Negara

Kewajiban dan Hak Bela Negara

Connie Rahakundini Bakrie  ;  President Indonesia Institute for Maritime Studies
                                                  KORAN SINDO, 15 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Sebagai negara, kita telah tjukup mempunjai pantja indera. Negara ada. Pemerintah ada. Tentara ada. Rakjat ada. Kalau kita sekarang kita tidak mempunjai keinginan untuk terus merdeka, samalah artinja dengan jang tidak mau mendjadi manusia sempurna” (Amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada Anggota Angkatan Perang, 17.08.1948).

Kalimat Jenderal Besar Soedirman di atas menekankan kekuatan ”quadraplehelix” yaitu unsur kekuatan negara, rakyat, pemerintah, dan tentara yang sudah jauh hari beliau amanatkan pada bangsa ini.

Dengan mengacupada teorineo-Weberiandan neo-Marxiantentangteori”state power” di mana jelas peran militer sebagai pendukung kekuatan negara, peranan politik kaum militer di negara dunia berkembang sudah merupakan bagian dari negara yang terintegrasi. Dengan demikian, di negara-negara berkembang keterlibatan militer di luar bidangnya jelas masih dibutuhkan untuk melaksanakan keamanan internal, utamanya dalam menciptakan ”nation building”.

Hiruk-pikuk yang timbul terkait Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) harusnya tidak terjadi jika bangsa ini paham betul bahwa sistem pertahanan negara dari sebuah negara di mana tentaranya lahir secara istimewa karena berasal dari dan untuk rakyat atau lebih dikenal sebagai ”people of liberation army” (hanya empat negara di dunia memiliki model ini: Indonesia, Israel, Aljazair, dan Vietnam).

Sistem pertahanan jenis ini jelaslah bersifat semesta, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, sumber daya nasional, wajib dipersiapkan oleh pemerintah, dan harus diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, serta berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Ancaman Abad Ke-21 yang berkembang bersifat sangat multidimensional akibat dari proses pergeseran kekuatan dunia dari bipolar menjadi multipolar yang menciptakan benturan kepentingan bersifat global, regional, maupun nasional. Dengan begitu, sistem dan strategi pertahanan negara terus-menerus harus disempurnakan untuk mewujudkan sistem bersifat semesta untuk mencapai kemampuan mengatasi ancaman dan memiliki efek penangkalan.

Dalam hal ini jelas diperlukan kekuatan dan kemampuan TNI yang memiliki mobilitas dan daya gempur tinggi, kemampuan deteksi dan cegah dini, efek penangkalan, mampu meniadakan setiap ancaman, mampu modernisasi alat utama sistem senjata, memiliki dukungan anggaran, serta pembangunan dan pembinaan alutsista.

Tetapi, di Indonesia prasyarat di atas sangatlah dipengaruhi oleh masalah klasik anggaran pertahanan selain kekaburan kaum sipil sendiri tentang fungsi, peran, dan makna Sishankamrata. Padahal, keterbatasan alokasi anggaran merupakan persoalan serius, yang apabila hal ini terus dipelihara dapat mengakibatkan dampak berlanjut pada tingkat profesionalisme serta kesiapan postur TNI.

Dengan begitu, suka atau tidak suka, solusi akan perencanaan alokasi sumber daya pertahanan sebagai penyeimbang dari postur inti pertahanan negara (TNI) harus kemudian ”terisi” oleh komponen cadangan (national defense reverse). Sebuah pilihan yang harus diambil untuk memenuhi masalah kesenjangan strategis yang perlu diantisipasi dengan melibatkan kekuatan rakyat atas terwujudnya perencanaan tata ruang wilayah pertahanan yang sesuai dengan karakter wilayah nasional, sifat ancaman, serta konsep perang yang dianut.

Sebagai gambaran, berbasis data World Global Power 2015, seorang prajurit Singapura hanya perlu meng-cover wilayah seluas 9,7m2, sementara satu prajurit TNI diwajibkan mampu mengcover wilayah seluas 4 km2. Jika dilihat dari perbandinganjumlah penduduk terhadap prajurit, satu prajurit Singapura hanya perlu meng-cover 77 penduduk, sementara satu prajurit TNI diwajibkan mampu meng-cover 533 orang penduduk.

Sayangnya, melahirkan komponen cadangan pertahanan negara di negeri initidaklahmudah, UU Kamnas tertatih-tatih diperjuangkan sebagai dasar hukum tersedianya Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung tetap tidak juga selesai. Karena itu, gebrakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait PKBN yang menargetkan 100 juta kader bela negara militan yang akhir 2019 akan mencapai angka 67 juta menjadi salah satu solusi dalam ”menyiasati” kekurangan jumlah prajurit TNI terhadap besaran penduduk dan wilayah NKRI.

PKBN sebenarnya merupakan solusi cepat atas tersendatnya komponen cadangan dan komponen pendukung dengan membangun kader bela negara yang memenuhi tiga aspek yaitu memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme tinggi dalam bernegara, rela berkorban dalam membela negara, serta mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan apa pun.

Nilai-nilai yang ditanamkan dalam PKBN adalah nilai cinta tanah air, kesadaran untuk berbangsa serta bernegara satu, paham dan setia kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Memiliki desain induk jangka panjang dalam target menyongsong Satu Abad Indonesia. Program PKBN terbagi atas lima fase dalam sebuah grand design; 1. Periode Penataan (2015-2019), 2. Periode Penguatan (2020-2024), 3. Periode Pemantapan (2025-2029), 4. Periode Pengembangan (2030-2034), serta 5. Periode Aktualisasi ( 2035-2040).

Program ini bukan saja akan melibatkan Kementerian Pertahanan sebagai poros utama PKBN, tetapi juga melibatkan peranti lunak penyelenggaraan PKBN di kementerian dan lembaga terkait baik di Indonesia maupun di LN. Kaderisasi PKBN versi Menhan Ryamizard ini menjadi menarik karena melibatkan; Pertama, usia lima hingga 16 tahun untuk program Kader Muda Bela Negara dengan masa didik 1-3 hari.

Kedua, usia 17 tahun ke atas untuk Pendidikan Lanjutan dengan masa didik lima hari, serta Ketiga, Kader Pembina Bela Negara dalam masa didik satu bulan. PKBN mengalokasikan kader sesuai dengan populasi jumlah penduduk dan dari usia dini ke usia produktif dengan 10 komponen mencakup kurikulum, peserta pendidikan, tenaga pendidikan, tenaga kependidikan, fasilitas pendidikan; pusdik, pemda, dan TNI; metode pendidikan, paket instruksi, dukungan anggaran, dan evaluasi.

Adapun standardisasi militan yang dimaksudkan menhan adalah pembentukan kader baik melalui Program Reguler (bagi pemula pendidikan bela negara) ataupun Program Khusus (bagi yang pernah dididik di Lemdik TNI dan Polri). Apa yang sedang dilakukan oleh Kementrian Pertahanan kiranya sesuai dengan UUD 45 yaitu mendasarkan pertahanan pada kekuatan bangsa yang sudah dimiliki yaitu kekuatan rakyat.

Dengan semakin terlena kita meninggalkan kemanunggalan TNI dan rakyat justru mengakibatkan kekuatan TNI kehilangan ”roh utama”-nya. ”Samalah artinja dengan jang tidak mau mendjadi manusia sempurna”, demikian kembali terngiang pesan Jenderal Besar Soedirman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar